Bicara, mengingatkan kawan agar diam, memainkan kerikil (kalau sekarang mungkin BB, i-Phone dan lainnya) saat khutbah bisa merupakan “laghaa” atau perbuatan yang berakibat ibadah jum’at menjadi sia-sia.
Yang diperbolehkan : khatib mengajak bicara salah satu hadirin, seperti Nabi menanyai sahabat yang belum shalat sunnah dua rakaat saat datang telat dishaf jum’at tersebut. Tetapi tidak berlaku sebaliknya kita yang bukan khatib. Disarankan berpindah tempat duduk untuk mengurangi rasa kantuk.
Diantara tanda pemahaman mendalam seorang khatib adalah memperpendek khutbahnya, memanjangkan shalatnya. Khutbah itu tetap harus mengandung pujian kepada Allah, shalawat atas Nabi, ayat Al Qur’an, wasiat takwa, dan doa untuk muslimin.
Khutbah jum’at bukanlah taklim dan tabligh. Khutbah jum’at seharusnya difokuskan pada wasiat takwa, bukan kajian tematik.  Nabi mencontohkan khutbah seperti panglima perang mengomando pasukan, tidak lembek dan tidak lemah, dan tidak membuat ngantuk.
Atas wasiat takwa khatib dalam khutbah jum’at bisa disampaikan pada yang tidak hadir seperti suami ke istri, ayah ke anak, dan si sehat kepada si sakit.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media