Perkenalan Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad membuat mereka bersahabat dan saling berguru seterusnya.
Saat murid-murid Asy Syafi’i keberatan mengapa beliau mengunjungi Ahmad yang mereka anggap murid beliau, Asy Syafi’i melantunkan syair. “Semua kemuliaan ada pada Ahmad. Jika dia mengunjungiku itu kemurahan hatinya. Jika aku mengunjunginya, itu sebab keutamaannya.”
Suatu hari Yahya bin Ma’in menegur Ahmad yang dianggap merendahkan ilmu yang mulia dengan menuntun kendaraan Asy Syafi’i. “Katakan kepada Yahya,” jawab Ahmad, “aku berada dalam kemuliaan yang jika dia menginginkan keluruhan serupa, marilah kesini akan kutuntun keledai Asy Syafi’i disebelah kiri dan silakan dia menuntunnya dari sisi yang kanan. Itulah jalan kemuliaan.”
“Selama 40 tahun aku berdoa,” ujar Ahmad kelak, “tak pernah alpa kusebut nama Asy Syafi’i bersama smua pinta.” Ditanyakan kenapa?
“Asy Syafi’i adalah mentari bagi siang dan obat bagi penyakit, maka siapakah yang tak menghajatkan keduanya?”
Ahmadpun bersaksi, “Di tiap 100 tahun Allah bangkitkan seorang mujaddid untuk memelihara agama-Nya. Di abad lalu dialah Umar bin Abdul Aziz, dan di abad ini dialah Asy Syafi’i.”
Adapun Asy Syafi’i selalu berkata kepada Ahmad, “kau lebih tahu tentang suatu hadist, maka bawakan padaku yang shahih dari Nabi saw selalu, duhai sahabat kami yang kuat hafalan lagi terpercaya.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media