SEDIH merupakan bagian dari fitrah manusia. Tak satupun manusia bisa lepas dari kesedihan, termasuk para Nabi dan Rasul. Semua hampir bisa dipastikan pernah mengalami yang namanya duka lara.
Nabi Ya’kub sampai kehilangan penglihatan karena menahan amarah kepada saudara Nabi Yusuf dan  sekaligus kesedihan karena kehilangan Nabi Yusuf Alayhissalam.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wasallam pun tak sanggup untuk tidak bermuram durja kala kehilangan istri, Khadijah dan paman tercintanya, Abu Tholib.
Namun demikian kesedihan Nabi dan Rasul tidak melampaui batas, sehingga kepedihan tidak melemahkan iman.
Namun, masih ada sebagian dari umat Islam yang belum memahami batas-batas kesedihan, sehingga sebagian larut dalam kegundahan sampai-sampai ada yang berubah sikap dan karakter.
Biasanya, yang mengalami keadaan seperti itu adalah mereka yang gersang jiwanya, lemah agamanya dan minim pengetahuannya, tetapi besar harapan dan angan-angannya.
Sehingga kala apa yang sangat dicintainya hilang, ia seperti tak punya pegangan. Ada yang menjerit-jerit, stress bahkan gila dan putus asa, hingga bunuh diri.
Semua itu tidak lepas dari kecintaan terhadap diri sendiri, harta dan tahta. Dan orang yang sedih karena hal-hal tersebut tidak sedikit.
Oleh karena itu, penting bagi seorang Muslim mengerti bagaimana terbebas dari rasa cinta yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan kesayuan tak tertahankan, yang jika tidak diwaspadai justru bisa mematikan iman.
Pertama, pelihara dan perkuat iman
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman;

وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 139).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa, bagi orang-orang yang beriman diberikan kesudahan yang baik dan pertolongan dari Allah.
Seperti apa yang Allah berikan kepada Nabi Yusuf Alayhissalam, kala beliau mesti mengalami takdir terpisah dari ayah, keluarga dan kampung halamannya dalam kurun yang begitu lama.
Dengan bekal iman, akhirnya Allah pertemukan Nabi Yusuf kembali dengan ayah dan keluarganya dalam keadaan yang kuat lagi bermartabat, baik di sisi manusia dan di sisi Allah.
Dengan kata lain, iman akan menghindarkan seorang Muslim dari kesedihan yang tidak beralasan. Sehingga hidupnya, meski secara kasat mata tampak tidak bahagia, hakikatnya hatinya teguh, perkasa dan optimis akan pertolongan-Nya.
Kedua, istiqomah

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat [41]: 30).
Ibnu Katsir menjelaskan, ayat tersebut menghendaki agar umat Islam memurnikan amal untuk Allah dan beramal karena taat kepada Allah Ta’ala atas apa yang disyari’atkan-Nya kepada mereka (sepanjang hayat).
Dalam konteks operasionalnya setiap 24 jam, tentu umat Islam mesti konsisten dalam mendirikan sholat 5 waktu, menunaikan zakat, dan beramal sholeh (QS. Al-Baqarah: 277) dalam segala situasi dan kondisi.
Sebab, pada akhirnya, kabar gembira berupa surga akan Allah berikan kepada siapa saja dari umat Islam yang benar-benar istiqomah.
Ketiga, dekat dengan Al-Qur’an

قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS: Al-Baqarah [2]: 38).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat itu memerintahkan agar umat Islam benar-benar dekat dan akrab dengan Al-Qur’an, disertai komitmen meneladani Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam.
Dengan seperti itu, setiap diri dari umat ini akan terbebas dari kesedihan, karena urusan dunia yang luput dari tangannya.
Sungguh tidak mengherankan jika para sahabat dan ulama terdahulu begitu cinta dan bangga membaca, mengkaji dan mengamalkan Al-Qur’an.
Semoga kita dapat mengamalkan hal tersebut untuk membuang kesedihan kita.
 
Sumber : Hidayatullah