Sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. “Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama”. Demikian kata mereka, entah itu mereka penguasa atau pejabat yang tidak mengerti.
Dalam Islam, justru politik itu penting dan mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya:  Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan.
Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual saja. Namun Syariah Islam juga mengatur mu’amalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Islam pun mengatur masalah ‘uqubah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).
Rasulullah saw saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan.
Tampak jelas peran Rasulullah saw sebagai kepala negara, sebagai qadhi (hakim) dan panglima perang. Rasul saw. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.
Menurut Kamus Al Muhith, politik (siyasah) adalah isim masdar dari kata ‘sasa-yasusu’, yang berarti ri’ayatan (pengurusan). Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzur menyebutkan, “As-siyasah bermakna al-qiyamu ‘ala syai’in bima yashluhuhu”, artinya politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya.
Dengan demikian politik Islam berarti pengurusan rakyat dengan aturan Islam. Pengurusan itu pada mulanya adalah tugas para Nabi dan Rasul. Kemudian dilanjutkan menjadi tugas para khalifah, pejabat dan pemimpin masyarakat pasca Nabi.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi, niscaya akan roboh. Dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga, niscaya akan musnah.”
Islam menggariskan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan rakyat sebagaimana sabda Nabi SAW, “Pemimpin yang menangani urusan masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (Muttafaq ‘Alaih)
Sekarang ini politik dalam bentuk politik Islam di Indonesia bermanfaat dalam menciptakan mashlahat umat Islam, diantaranya lahir undang-undang perbankan syariah, asuransi syariah, wakaf, haji, dan hukum Islam yang adil. Demokrasi dan politik hanyalah sebagai alat untuk menegakkan dan membela ajaran Islam. Oleh karenanya Islam tidak bisa dilepaskan dari politik untuk kebaikan masyarakat.
Sebaliknya, politik sekuler berarti pengurusan urusan rakyat dengan hukum-hukum sekuler lepas dari hukum agama termasuk hukum Islam.
Hukum sekuler ini tidak mengindahkan halal dan haram yang ditetapkan syariah. Akibatnya hawa nafsu dan berbagai kepentingan manusialah yang mengatur rakyat.
Apabila politik sekuler diterapkan maka akan menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi, harta yang lebih banyak, atau akses bisnis yang lebih luas. Tidak peduli jika rakyat harus ditindas.
Hal itulah yang membuat pintu kezhaliman penguasa terhadap rakyatnya terbuka lebar. Misal semua pajak dinaikkan seenaknya, dan akan berakibat pada semakin mahalnya kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu penguasa dengan mudahnya ‘menjual’ BUMN dan menyerahkan SDA negeri ini kepada asing. Inilah sebagian kerusakan yang ditimbulkan akibat ditinggalkannya politik Islam dan diterapkannya politik sekuler.
Allah SWT memberitahu kepada manusia, khususnya yang telah beriman untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Firman Allah SWT, dalam Q.S. Al Baqoroh: 208
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Ibnu Taimiyah juga menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/394).

X