Nabi Ibrahim as satu-satunya manusia disebut “Ummah”. Dimulainya dakwah dengan gagah. Sebagai pemuda, dipenggalnya semua patung berhala.
Tetapi dakwah bukan hanya soal mengalahkan argumentasi. Dakwah muda yanv berunsur ‘kekerasan’ dibalas parah berupa dibakar.
Dakwah jika harus debat, pilih orang yang tepat yaitu raja atau pemimpin. Bukan lagi jelata yang suka amuk tanpa logika. Ibrahim as berharap hujjahnya bisa mengajaknya.
Namun dakwah bukan hanya soal memenangkan argumentasi. Raja Namrudz yang takjub pada kecerdasannya, tak turut, dia diusir.
Kita belajar, dakwah lebih pada soal memenangkan hati. Jika jiwa takluk didepan akhlak, akal akan bergerilya sendiri mencari dalil.
Ibrahim tak kenal henti. Dia datangi penyembah benda langit dan mentari. Berbaur dengan mereka, dengan sikap dakwah yang makin dewasa.
Menurut koreksi Al Qurthubi, bahwa pertemuannya dengan para penyembah bintang, bulan, matahari bukanlah kisah Ibrahim mencari Tuhan seperti yang diceritakan saat ini. Di kitab Al-Jami’, Al Qurthubi menjelaskan metode dakwah Ibrahim yang makin lembut namun menyentakkan (softly but deadly).
Berhasil menginsyafkan penyembah bintang, bulan, dan mentari. Lalu Ibrahim yang telah menikah bergerak ke Mesir. Tantangan baru menanti.
Raja Mesir suka ambil wanita sembarangan. Dengan kondisi tersebut, Sarah istri Ibrahim diakuinya sebagai saudari olehnya, agar tak ikut diambil.
Dalam masyarakat Mesir saat itu, istri lebih rendah posisinya. Istri bisa dijual, diperbudak. Bukti lain betapa wanita di Mesir setara budak, adalah dihadiahkan Hajar kepada Ibrahim.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media