Etika Berpendapat

Teringat kita betapa sabarnya Nabi mendengarkan Utbah ibn Rabi’ah utusan quraisy yang ahli berargumen. Padahal yang dia ucapkan adalah caci maki, fitnah, dan umpatan. Di saat Utbah telah berhenti bicara, Nabi masih tersenyum mesra dan bertanya, “Adakah engkau sudah selesai hai Abdul Walid?” Utbah berkata, “Ya”. Beliaupun bersabda, ” Aku telah mendengarkanmu hai Abdul Walid. Kini berkenankah kau simak ucapanku?” Maka terlantunlah kalam suci dan terpesonalah Utbah. Dia mendengarkan, sebab Muhammad sedia mendengarkannya bicara.
Utbah pulang dengan mengubah sikap. “Menurutku kalian tidak perlu memusuhi Muhammad. Kalau bangsa Arab mengalahkannya kalian tak rugi. Tetapi jika Muhammad menang, jadi kemuliaan kalian juga.” Sontak pembesar quraisy tertegun kaget akan perubahan Utbah setelah bertemu Nabi Muhammad. Maka berkuranglah satu tokoh penentang quraisy.
Dengarkanlah siapapun yang berpendapat. Apapun pendapatnya dan bagaimanapun cara dia mengungkapkannya. Adapun cara kita berpendapat adalah dengan hikmah (surah An Nahl : 125)
Ibrahim misalnya di surah Ash Shaaffat ayat 102 bahwa menyembelih putranya adalah perintah Allah, tetapi ia tak langsung menetak leher anaknya, Ismail. Ibrahim mengajarkan seyakin apapun kita bahwa suatu hal adalah perintah Allah, meminta pihak terkait untuk berpendapat adalah sebuah kemuliaan. Penerapan syariat harus melalui pembicaraan dengan siapapun yang terkena dampaknya : masyarakat atau target dakwah.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media

X