0878 8077 4762 [email protected]

Apa itu Hadits Muttafaq ‘Alaih?

 
Hadits didefinisikan adalah segala perkataan, perbuatan dan diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikehidupan kesehariannya.
Hadits juga salah satu yang dijadikan sumber hukum Islam. Dalam sebuah hadits, tak jarang kita menemukan istilah muttafaq ‘alaih. Apa itu hadist muttafaq ‘alaih?
Istilah muttafaq ‘alaih ialah gabungan dari frasa :

  1. “muttafaq” (متفق) yang berarti disepakati, dan
  2. frasa “alaih” (عليه) yang artinya atasnya.

Sehingga jika kita gabungkan kedua frasa ini, muttafaq ‘alaihi artinya sesuatu yang disepakati.
Karena istilah ini digunakan dalam ilmu hadis, sehingga hadits muttafaq ‘alaih artinya : hadis yang telah disepakati ke Shahih an-nya.
Para ulama menyampaikan istilah muttafaq ‘alaih digunakan pada 3 kondisi,
1. Hadits Riwayat Bukhari & Muslim dalam kitab shahihnya
Namun hadits ini juga harus memenuhi beberapa syarat. Riwayat Bukhari – Muslim bisa disebut muttafaq ‘alaih jika memenuhi 3 syarat,

  1. Hadisnya sama, meskipun redaksinya berbeda
  2. Sahabat yang meriwayatkan sama
  3. Disebutkan dalam kitab shahihnya. Jika diriwayat Bukhari di kitabnya yang lain, seperti kitab Adabul Mufrad, kitab Tarikh atau yang lainnya, maka tidak berlaku istilah muttafaq ‘alaih.

Istilah inilah yang banyak digunakan oleh umumnya ulama hadis mutaakhirin.
2. Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam al-Musnad
Ini merupakan istilah yang digunakan Majduddin Abul Barakat Abdus Salam dalam kitabnya Muntaqa al-Akhbar (al-Muntaqa fi al-Ahkam as-Syar’iyah min kalam Khoiril Bariyah).
Kitab ini diberi penjelasan as-Syaukani menjadi kitab tebal berjudul Nailul Authar.
Di mukaddimahnya dinyatakan, “Tanda untuk riwayat Bukhari & Muslim dipakai dengan istilah ‘Akhrajahu’,
Untuk riwayat selain dua orang ini (Bukhari & Muslim), yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dipakai dengan istilah ‘Rawahul Khamsah’.
Dan jika diriwayatkan 7 perawi yaitu Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dipakai dengan istilah ‘Rawahul Jamaah’.
Dan untuk riwayat Ahmad, Bukhari, dan Muslim dipakai dengan istilah muttafaq ‘alaih,” (Nailul Authar, 1/1).
3. Hadits shahih, meski tak diriwayatkan Bukhari, Muslim, maupun Imam Ahmad
Hadits yang sanadnya shahih, perawinya bebas dari cacat dan penilaian negatif dari para ulama, meskipun tidak diriwayatkan Bukhari, Muslim, maupun Imam Ahmad.
Dengan kata lain, hadits yang disepakati shahih menurut para ulama ahli hadits, meskipun tidak diriwayatkan Bukhari & Muslim.
Ulama yang menggunakan istilah muttafaq ‘alaih dengan makna seperti di atas adalah al-Hafidz Abu Nua’im dalam kitabnya Hilyah al-Auliya.
Syarafuddin Ali bin al-Mufadhal memberikan pejelasan penggunaan istilah muttafaq ‘alaih menurut Abu Nuaim,
“Yang dimaksud Abu Nuaim dengan istilah yang beliau sampaikan, ‘Muttafaq ‘alaih’ adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari & Muslim dalam kitab shahihnya.
Namun yang beliau maksud adalah hadist yang perawinya selamat dari celah kekurangan dan tidak ada celaan dengan illah (cacat), menurut yang saya tahu,” (al-Arba’un ‘ala at-Thabaqat, hlm. 457).
Pada penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa yang jelas hadits muttafaq ‘alaih ialah hadits yang shahih.
 
Sumber: konsultasisyariah

Hadist Shahih, Kenapa Harus Bukhari dan Muslim?

Banyaknya hadis palsu yang beredar membuat para ahli hadis menyaringnya. Para ulama sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mempunyai kadar shahih atau kebenaran yang tinggi.
Hal itu dikarenakan kedua imam tersebut telah melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap hadis-hadis yang beredar. Hadist yang diriwayatkan oleh salah satu dari kedua imam itu saja sudah diakui oleh para ulama akan kebenarannya.
Apalagi hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang juga diriwayatkan oleh Muslim, tentu tingkat kebenarannya lebih tinggi. Sehingga para ulama sepakat bahwa Hadis yang diriwayatkan oleh kedua imam itu benar-benar berasal dari perkataan Nabi.
Adalah Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, dua orang ulama ahli hadits yang pertama kali menyusun kitab hadits yang hanya berisikan hadits-hadits shahih sesuai dengan syaratnya.
Metode yang ditempuh dalam penyusunan kitab tersebut adalah dengan memilih periwayat-periwayat yang harus memenuhi persyaratan hadits shahih yaitu

  1. Sanadnya bersambung sampai Rasulullah
  2. Dinukil dari periwayat yang takwa, kuat hafalannya
  3. Tidak mudah lupa
  4. Tidak ganjil (menyelisihi hadits shahih yang lebih kuat)
  5. Dan tidak cacat.

Adapun Al-Imam Al-Bukhari dalam penyusunan kitabnya menentukan persyaratan lagi yang lebih ketat.
Diantaranya periwayat-periwayat (rawi) haruslah sejaman dan mendengar langsung dari rawi yang diambil hadits darinya.
Kelebihan kitab Shahih Al-Bukhari adalah terdapat pengambilan hukum fiqih, perawinya lebih terpercaya dan memuat beberapa hikmah dimana unsur-unsur ini tidak ada pada Shahih Muslim.
 
Sumber : inspiradata