0878 8077 4762 [email protected]

Begini Etika Bekerja dalam Islam

Islam melarang umatnya bermalas-malasan. Islam justru mewajibkan umatnya untuk bekerja dan berkarya untuk kemashlahatan umat manusia.
Allah SWT berfirman: Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105).
Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabiyullah Daud juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri,” (HR. Bukhari)
Karena pentingnya bekerja dalam Islam, maka ada etika atau adab-adab tersendiri dalam bekerja, di antaranya:
1. Bekerja dengan niat ikhlas karena Allah
Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya orang itu tergantung dari apa yang diniatkannya itu…” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Bekerja dengan sebaik-baiknya (Ihsanul Amal)
Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (hewan) maka bunuhlan dengan baik. Jika menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah seseorang diantara kamu menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya” (HR. Muslim).
3. Bekerja dengan profesional (Itqanul Amal)
Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan maka dilakukannya secara Itqan (profesional)” (HR. Thabrani).
4. Bekerja tanpa melanggar prinsip-prinsip syari’ah.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (QS. Muhammad:33).
5. Jujur dan amanah
Pedagang yang jujur lagi terpercaya (amanah) akan bersama pada nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi).
6. Menghindari perkara syubhat.
Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat, barang siapa memelihara diri dari para syubhat, maka ia telah menjaga kehormatan dirinya. Namun, barang siapa terjerumus kepada perkara syubhat, maka ia terjerumus pada perbuatan haram…” (HR. Bukhari)
7. Menjaga etika sebagai seorang Muslim dengan menjaga cara berbicara, berpakaian, bergaul dan lain-lain.
Jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencari nafkah bagi diri sendiri, keluarga, atau orangtua maka niscaya kita termasuk orang-orang yang berjihad fi sabilillaah.
 
Sumber: Islam my way of life

Etika Berpendapat

Teringat kita betapa sabarnya Nabi mendengarkan Utbah ibn Rabi’ah utusan quraisy yang ahli berargumen. Padahal yang dia ucapkan adalah caci maki, fitnah, dan umpatan. Di saat Utbah telah berhenti bicara, Nabi masih tersenyum mesra dan bertanya, “Adakah engkau sudah selesai hai Abdul Walid?” Utbah berkata, “Ya”. Beliaupun bersabda, ” Aku telah mendengarkanmu hai Abdul Walid. Kini berkenankah kau simak ucapanku?” Maka terlantunlah kalam suci dan terpesonalah Utbah. Dia mendengarkan, sebab Muhammad sedia mendengarkannya bicara.
Utbah pulang dengan mengubah sikap. “Menurutku kalian tidak perlu memusuhi Muhammad. Kalau bangsa Arab mengalahkannya kalian tak rugi. Tetapi jika Muhammad menang, jadi kemuliaan kalian juga.” Sontak pembesar quraisy tertegun kaget akan perubahan Utbah setelah bertemu Nabi Muhammad. Maka berkuranglah satu tokoh penentang quraisy.
Dengarkanlah siapapun yang berpendapat. Apapun pendapatnya dan bagaimanapun cara dia mengungkapkannya. Adapun cara kita berpendapat adalah dengan hikmah (surah An Nahl : 125)
Ibrahim misalnya di surah Ash Shaaffat ayat 102 bahwa menyembelih putranya adalah perintah Allah, tetapi ia tak langsung menetak leher anaknya, Ismail. Ibrahim mengajarkan seyakin apapun kita bahwa suatu hal adalah perintah Allah, meminta pihak terkait untuk berpendapat adalah sebuah kemuliaan. Penerapan syariat harus melalui pembicaraan dengan siapapun yang terkena dampaknya : masyarakat atau target dakwah.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media