by Danu Wijaya danuw | May 6, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Islam mengatur masyarakat diatas landasan persaudaraan dan persatuan sesama anggotanya, sehingga tidak ada tempat bagi pertikaian antar ras, agama, strata sosial masyarakat dan mazhab. Seluruh manusia (tanpa terkecuali) adalah bersaudara. Mereka disatukan oleh pengabdian kepada Allah dan garis keturunan yang sama yang berasal dari adam.
“Sesungguhnya Tuhan kalian satu dan ayah kalian satu” (H.R. Ahmad, Hadist marfu berasal dari Abu Nadhrah)
Seperti kita ketahui Islam benar-benar memperhatikan kelompok lemah dimasyarakat baik itu para buruh, petani, pekerja dan pegawai rendah yang kurang mendapat perhatian. Tetapi Rasulullah saw sangat memuliakan mereka dan mengisyaratkan bahwa sesungguhnya mereka adalah penyangga utama produktivitas dalam situasi damai dan faktor utama kemenangan dalam peperangan sebagaimana diterangkan dalam hadist shahih.
“Sesungguhnya kalian diberi rizki dan kemenangan (oleh Allah) karena orang-orang lemah diantara kalian.” (H.R. al Bukhari, al Tirmidzi, dan Abu Dawud dari Abu al Darda)
Islam datang memelihara hak-hak kaum lemah dengan baik, diantaranya pengupahan yang adil serta jaminan keselamatan. Fakir miskin, anak yatim, dan anak jalanan mendapat jatah baik rutin seperti zakat atau lainnya. Dengan demikian solidaritas antar masyarakat bisa terwujud.
“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota, ia adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu.” (Q.S. Al Hasyr : 7).
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Keluarga)
Kekayaan tidak boleh berputar ditangan orang-orang kaya. Akan tetapi mengambilnya lewat perantara amil dari yang kaya untuk di serahkan kepada fakir miskin. Agama Islam mendekatkan antara orang miskin dan orang kaya, sehingga menghilangkan sifat congkak orang kaya sekaligus mengangkat kedudukan orang fakir.
Kemudian kita meyakini sesungguhnya masyarakat yang shalih tidak bisa dibentuk oleh peraturan saja. Karenanya Islam memperhatikan pembinaan keimanan dan akhlak. Manusia shaleh sebagaimana tergambar surat Al Ashr.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, nasehat menasehati supaya menaati kebenaran, serta nasehat menasehati supaya tetap bersabar.”
Karena itu Persatuan Ulama seDunia memandang wajib memberikan perhatian lebih kepada lembaga pendidikan dari tingkat pree-school hingga universitas agar mereka menanamkan keimanan, akhlak, dan ketakwaan. Dengannya akan terbentuk pribadi muslim yang berakhlak Al Qur’an dan meneladani Nabi Muhammad saw.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Selanjutnya perhatian wajib diarahkan ke berbagai media. Karena mereka inilah yang menggiring opini, selera, kecenderungan sekaligus membentuk pandangan publik. Oleh sebab itu, media wajib dibersihkan dari hal yang mendangkalkan akidah, merusak pemikiran, dan menyimpangkan akhlak. Landasan baiknya berupa jujur dalam pemberitaan, proporsional dalam hiburan, dan memegang nilai-nilai moral. Media harus pula memainkan peran untuk tujuan besar Islam melalui program-programnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Apr 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah merupakan pondasi dasar keluarga. Islam menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis dan lainnya. Karenanya Islam mendorong pernikahan dengan memudahkan sarananya dan ekonominya. Islam menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah yang melampaui batas, berlebihan dalam berbagai pakaian dan perhiasan serta berfoya-foya serta hal lain yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab semua itu memperlambat pernikahan untuk mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih suami atau istri.
“Maka pilihlah –calon istri- yang memiliki agama niscaya engkau bahagia” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Keluarga
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami dan istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban dan pergaulan yang baik.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Identitas & Karakteristik Umat Islam)
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Perceraian
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitasnya kadang kala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan perlu dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan untuk tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya mempertahankan kebutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemashlahatan anak.
- Ishlah : Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik. Pihak keluarga masing-masing melakukan ishlah dan menyelesaikan perkaranya
- Rujuk : Suami yang diberi hak untuk mentalak satu istrinya, masih diberi peluang kembali tanpa pernikahan baru selama iddah (3 kali haidh) lewat. Sedangkan istrinya tetap berada dirumah suami tanpa hubungan suami istri sampai rujuk selesai. Apabila tidak rujuk, maka berlanjut menjadi talak bain yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan kembali dengan pernikahan baru
- Khuluk : dalam Islam istri diberi kewenangan untuk menggugat cerai (khuluk) serta memberi syarat kapanpun bisa diceraikan. Serta hak mengadukan kepengadilan kezaliman yang menimpa dirinya.
- Talak Kedua : Apabila sudah rujuk terjadi perselisihan kembali, wajib mengikuti proses seperti talak satu, sampai terjadi talak kedua. Status talak kedua masih raj’i, yaitu suami bisa kembali kepada istrinya dalam iddah atau sesudahnya seperti perceraian pertama.
- Talak Ketiga : Apabila kedua suami istri yang rujuk setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali. Perceraian ketiga ini merupakan talak ketiga atau talak bain kubra, yang artinya mantan suami tidak boleh rujuk sampai istrinya telah pernah menikah dengan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 162 :
“……Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Poligami
Dahulu bangsa-bangsa didunia melakukan poligami tanpa aturan. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan serta hanya bagi yang membutuhkan, mampu, dan yakin akan bertindak adil.
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (kawinilah) seorang saja” (Q.S. An Nisa : 3)
Saat ini propaganda persamaan gender mengemuka dengan berbagai aturan perundangan yang memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi. Sementara hubungan lawan jenis diluar pernikahan sebaliknya.
Terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuat seseorang memiliki lebih dari satu istri. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan layanan kepada suaminya. Sebetulnya suami berhak menceraikan, namun ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Peperangan membuat kondisi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Disinilah poligami menjadi solusi terbaik secara moral dan kemanusiaan. Syariat Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan.
Orang Tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara mnyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, serta etika. Sementara disisi lain, anak wajib berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Diantara bentuk pendidikan adalah kesempatan belajar anak di usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill.
Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Manusia)
Keluarga dalam Islam lebih luas cakupannya, bukan hanya komunitas kecil yang terdiri dari suami istri dan anak-anak, sebab meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.” (Q.S. An Nisa : 56).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Apr 9, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini sesungguhnya Islam memuliakan wanita sebagai manusia. Wanita mendapat beban yang sama seperti pria, ia juga memiliki hak dan kewajiban. Allah swt berfirman
“Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain” (Q.S. Al Imran : 195).
Maksudnya dari sebagian laki-laki dan perempuan di antara mereka. Laki-laki menyempurnakan wanita. Demikian pula sebaliknya, perempuan menyempurnakan laki-laki.
Sesungguhnya Islam telah menetapkan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan dan tanggung jawab secara umum. Sebab “wanita adalah belahan dari pria” (H.R. Ahmad dari Aisyah).
Adapun terkait tugas masing-masing dalam keluarga dan masyarakat, Islam menetapkan sikap proporsional bagi laki-laki dan perempuan terkait dengan hak dan kewajiban mereka. Dan itu merupakan hakikat keadlian.
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Sesungguhnya agama Islam senantiasa menjaga wanita, entah ia sebagai anak perempuan, istri, ibu, atau anggota keluarga dan masyarakat Islam juga memberikan kesempatan yang luas pada wanita untuk ikut serta dalam beribadah, belajar dan bekerja. Khususnya ketika itu menjadi tuntutan diri, keluarga, atau masyarakatnya dengan tetap memperhatikan karakteristiknya sebagai wanita, isteri, dan ibu rumah tangga yang membutuhkan jaminan perlindungan dan pemeliharan diri dari berbagai bentuk tindak penganiayaan.
Termasuk dari sikap suaminya ketika berbuat aniaya, tindakan orangtuanya ketika melampaui batas, dan sikap anaknya yang durhaka dan menyakiti. Selain itu, wanita boleh bekerja dengan syarat tidak berbenturan dengan kewajibannya dalam memberikan perhatian kepada rumah tangga, suami, dan anak.
Tugas membina rumah tangga bagi wanita merupakan tugas yang paling prioritas. Tidak seorangpun yang dapat mengambil alih pekerjaan itu. Namun jika masih memiliki waktu yang cukup maka ia dapat mengisinya dengan melakukan tugas-tugas kemasyarakatan. Ruang lingkup kewajiban tersebut bergantung pada kondisi dan situasi dirinya, masyarakatnya, kebutuhannya, dan kemajuannya.
Wanita dapat melakukan aktivitas di semua aspek termasuk sosial, ekonomi, dan politik bagi sebagai pemilih maupun sebagai pihak yang dipilih , kecuali dalam kepemimpinan tertinggi. Bahkan Islam memposisikan wanita sebagai mitra laki-laki dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, serta dalam memerangi kejahatan dan kerusakan.
“Orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf serta mencegah dari yang mungkar” (Q.S. at Taubah : 71)
Bertolak dari aspek kemanusiaan dan kemuliaan wanita, Islam tidak membenarkan wanita dijadikan sebagai alat pembangkit birahi, permainan dan pemenuh kenikmatan secara murahan. Dalam bertemu dengan pria asing, Islam mewajibkan wanita untuk menjaga rasa malu dan kehormatan, menjaga adab dan wibawa, baik dalam berpakaian, berdandan, berjalan, beraktifitas, berbicara, maupun dalam menatap sehingga tidak ada yang berani mengganggunya.
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu” (Q.S. Al Ahzab : 59)
Islam juga meminta kepada setiap laki-laki agar ketika bertemu dengan wanita menjaga adab yang sama. Islam tidak memposisikan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang serba salah. Islam juga tidak membuat mereka merasa berdosa ketika harus terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hanya saja, Islam mewarnainya dengan adab-adab syar’i sebagaimana berbagai aktivitas lain. Islam meletakkan panduan bagi wanita yang dapat menjaga diri berikut masyarakatnya.
Misalnya menutup aurat, larangan berduaan, pemberian batas-batas ikhtilath, dan hal lain yang terkait dengan keterlibatan wanita dalam aktivitas sosial. Sebagiannya merupakan adab yang bersifat perlindungan. Sebagian lain adalah bentuk antisipasi terhadap hal-hal yang merusak dan diharamkan. Semua itu ditetapkan dalam kerangka mengatur keterlibatan wanita dalam aktivitas sosial, bukan untuk melarangnya. Karenanya tidak aneh bila sejarah Islam dipenuhi oleh para wanita muslimah yang sangat berperan dalam bidang kelimuan, politik, seni atau bahkan dalam jihad Islam.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Apr 1, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang dimuliakan. Ia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkannya. Karena manusia dimuliakan dan diangkat sebagai khalifah, Allah posisikan ia sebagai pimpinan bagi seluruh makhluk serta Dia tundukkan semua untuk melayaninya.
“Dia menundukkan untuk kalian apa yang terdapat dilangit dan dibumi yang seluruhnya berasal dariNya” (Q.S. Al Jatsiyah : 13)
Allah menganugerahkan kepada manusia sejumlah hak yang membantunya untuk menjaga kemuliaannya dan menunaikan perannya. Dia menyuruh manusia untuk memelihara hak tersebut sekaligus menjadikannya sebagai kewajiban utama. Hak yang paling pertama adalah kebebasan manusia dalam meyakini apa yang ia kehendaki. Islam sangat menjaga kebebasan akidah ini dengan menyuruh kaum muslimin berperang guna mempertahankannya serta guna melawan mereka yang mencederai agama.
Diantara hak manusia dalam Islam adalah menjaga akal, memeliharanya, serta mengerahkan semua potensinya dalam mengkaji dan menelaah Islam berupaya membangun rasionalitas ilmiah yang berlandaskan perenungan dan pengamatan terhadap cakrawala dan dirinya sendiri. Siapa yang berpendapat bahwa berpikir merupakan kewajiban Islam tidaklah ditiru. Demikian Al Qur’an menegaskan
“Katakanlah, Aku hendak mengingatkanmu satu hal saja yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) secara berdua atau sendiri. Kemudian cobalah engkau berpikir.” (Q.S. Ali Imran : 191)
Ia juga memerintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan seraya memotivasi untuk melakukan hal tersebut dalam banyak ayat. Islam mengingkari sikap taklid buta dan sikap jumud yang hanya berpegang pada warisan terdahulu atau pada apa yang diperintahkan oleh pimpinan dan para pembesar.
“Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami. Mereka telah menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Q.S. al Ahzab)
Selain itu, Islam menolak sikap mengikuti prasangka dalam kondisi yang didalamnya dituntut adanya keyakinan. Islam juga tidak membolehkan mengikuti hawa nafsu dan emosi yang menyesatkan dari kebenaran.
“Mereka hanya mengikuti prasangka dan hawa nafsu” (Q.S. an Najm : 23)
Islam tidak menerima dakwaan atau pengakuan apapun jika tidak disertai bukti yang menguatkan kebenarannya. Apabila keberadaan bukti menjadi pegangan dalam rasionalitas berpikir, maka penyaksian menjadi pegangan dalam sesuatu yang konkret. Otentifikasi menjadi landasan dalam riwayat, kebenaran wahyu menjadi pegangan dalam hal agama. Karena itu Allah menantang orang-orang yang berbuat syirik
“Apakah kalian mempunyai sedikit pengetahuan sehingga dapat kalian sampaikan kepada kami? Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Dan kalian tidak lain hanyalah berdusta ” (Q.S. al An’am : 148)
Islam mengajak kepada pengetahuan, mengajak untuk unggul di dalamnya, untuk memergunakan sarana terbarunya, serta mengikuti ketentuannya dalam segala bidang. Islam memandang proses berpikir sebagai bentuk ibadah serta upaya mencari ilmu yang dibutuhkan oleh umat sebagai kewajiban.
Islam tidak melihat adanya kontradiksi antara akal yang jelas dan naql yang benar. Dengan akal keberadaan Allah, kenabian secara umum, dan kenabian Muhammad secara khusus menjadi demikian tegas. Kemudian dalam peradaban Islam, tidak ada kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan nash-nash Islam yang qath’i. Agama bagi kita merupakan ilmu
Islam terbuka bagi warisan ilmu dan pemikiran di seluruh dunia. Ia memburu hikmah yang keluar dari tempat manapun dan mengambil manfaat dari berbagai pengalaman umat baik dimasa dulu maupun sekarang selama tidak bertentangan dengan syariat. Berbagai filsafat yang diambil kaum muslimin tidak boleh berkebalikan dengan nash.
Kemudian diantara hak manusia dalam Islam adalah menjaga kesehatan, jasmani, jiwa dan akal
“Tubuhmu memiliki hak yang harus kau penuhi” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Salimah)
Diantara hak tubuh yang harus dipenuhi pemiliknya adalah memberinya makan ketika lapar, memberinya kesempatan beristirahat ketika lelah, membersihkannya ketika kotor, menguatkannya ketika lemah, dan mengobatinya ketika sakit. Sebab Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada obatnya. Ada yang mengetahui ada pula yang tidak mengetahui. Karena itu pula syarat sah shalat adalah kebersihan badan dan tempatnya.
Selanjutnya anjuran kepada manusia adalah menjaga lingkungan dari tindakan pengrusakan, entah pengrusakan karena marah dan murka, perbuatan sia-sia atau karena tidak peduli. Sebab selain berbuat baik kepada manusia, diperintahkan pula berbuat baik kepada binatang, tumbuhan, bumi dan tanah.
“Siapa yang memotong pohon (dengan sia-sia), Allah benamkan kepalanya di neraka.” (H.R. Abu Dawud dari Abdullah ibn Habsyi dan H.R. Baihaqi. Perawinya dapat dipercaya)
Terdapat neraca keseimbangan alam yang diketahui oleh mereka yang berilmu. Ia tidak boleh timpang. Ketimpangan akibat kelalaian, kecerobohan dan kerakusan manusia. Bahaya muncul ketika sumber daya disalah gunakan, baik karena kekeliruan atau berlebihan yang akhirnya bisa mengancam jiwa manusia. Oleh karena itu, Allah menyuruh manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Apr 1, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita berpegang pada konsep moderat yang positif yang tegak diatas keseimbangan dalam memandang berbagai persoalan agama dan dunia, tanpa berlebihan dan mengabaikan. Tidak boleh berlebihan dalam timbangannya dan tidak boleh mengurangi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT.
“Supaya kamu tidak melampaui batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca tersebut.” (Q.S. ar Rahman 8-9).
Kami melihat bahwa Islam sangat memperhatikan sikap moderat dalam segala hal sekaligus menjadikannya sebagai karakteristik yang melekat pada umat.
“Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang moderat(pertengahan).” (Q.S. Al Baqarah : 143).
Sikap moderat yang menjadi pegangan kita menggambarkan keseimbangan positif dalam segala aspek : dalam hal keyakinan dan amal perbuatan, materi dan maknawi, serta individu dan masyarakat. Islam masuk ke dalam kehidupan individu diatas prinsip keseimbangan antara ruh dan materi, antara akal dan kalbu, antara hak dan kewajiban, serta antara dunia dan akhirat.
“Wahai Tuhan, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” (Q.S. al Baqarah : 102).
Di sisi lain, Islam menegakkan timbangan yang adil antara individu dan masyarakat. Karena itu, ia tidak memberikan hak-hak kebebasan kepada masyarakat yang dapat membahayakan kemashlahatan umum sebagaimana yang dilakukan kapitalisme. Sebaliknya, Islam juga tidak memberikan kekuasaan kepada masyarakat yang sifatnya menindas dan menekan individu sehingga mengerdilkan dan mematikan bakat dan potensinya sebagaimana yang dilakukan oleh sosialisme dan komunisme.
Namun, Islam memberikan kepada individu apa yang menjadi haknya secara proporsional tanpa berlebihan dan menguranginya. Hal itu telah diatur oleh hukum-hukum syariat berikut arahannya. Kita memandang sikap berlebihan dalam agama sebagai sesuatu yang bisa mencelakakan individu dan masyarakat.
“Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama. Sebab yang membinasakan generasi sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam beragama” (H.R. Ibn Majah, An Nasai, dan Ahmad dari Ibn Abbas. Para perawi dapat dipercaya).
Sebaliknya berlepas dari tali, nilai, akidah, dan syariat agama juga bisa membinasakan. Karena itu kami membangun pandangan moderat dalam segala aspek. Itulah yang sesuai untuk umat dan membuatnya menjadi baik.
Pandangan Islam adalah sikap pertengahan
- Antara kalangan yang menyerukan fanatisme mazhab secara sempit dan kalangan yang menyerukan sikap untuk tidak berpegang pada mazhab
- Antara pengikut tasawuf meskipun menyimpang dan mengandung bid’ah dan para musuh tasawuf meski komitmen dan mengikuti jalan yang benar
- Antara mereka yang mengagungkan akal meski berlawanan dengan nas yang qath’i dan mereka yang menafikan akal meski dalam rangka memahami nash
- Antara mereka yang mengilhami secara mutlak sehingga tidak mengakui wujud serta pengaruhnya dan mereka yang berlebihan dalam memposisikannya sehingga menjadikannya sebagai sumber hukum syariat
- Antara mereka yang bersikap keras meski dalam urusan cabang dan mereka yang agak longgar meski dalam masalah prinsip
- Antara mereka yang mengagungkan peninggalan generasi terdahulu meski didalamnya mengandung cacat dan mereka yang mencampakkannya meski mengandung petunjuk yang mengagumkan
- Antara filsafat kaum idealis yang nyaris tidak menaruh perhatian terhadap realitas dan filsafat kaum pragmatis yang berpegang pada idealisme
- Antara penyeru filsafat liberalisme yang mendewakan individu serta menafikan masyarakat dan penyeru filsafat kolektivitas marxisme yang mendewakan masyarakat sehingga menafikan individu
- Antara mereka yang tidak menginginkan perubahan meski dalam hal perangkat dan mereka yang menyerukan perkembangan meski dalam hal prinsip dan tujuan
- Antara mereka yang menyerukan pembaharuan dan ijtihad meski dalam hal prinsip agama dan sesuatu yang bersifat qath’i dan mereka yang menyerukan sikap taklid dan menentang ijtihad meski dalam berbagai persoalan masa kini yang tidak pernah terlintas dalam benak generasi terdahulu
- Antara mereka yang mengabaikan nash-nash baku dengan dalih menjaga maksud tujuan syariat dan mereka yang mengabaikan semua tujuan syariat guna menjaga lahiriah nash
- Antara mereka yang menyerukan keterbukaan tanpa patokan yang jelas dan mereka yang menyerukan sikap tertututp tanpa disertai alasan yang benar
- Antara mereka yang berlebihan dalam mengkafirkan sehingga mengkafirkan kaum muslimin yang taat dan mereka yang agak longgar didalamnya meski terhadap mereka yang jelas-jelas murtad, melawan agama, serta menjadi kaki tangan musuh
- Antara mereka yang berlebihan mengharamkan sehingga seolah-olah didunia tidak ada lagi yang namanya halal dan mereka yang berlebihan membolehkan sehingga seolah-olah tidak ada lagi didunia sesuatu yang haram
- Antara mereka yang hanyut dalam masa lalu dan mereka yang mengabaikan masa lalu seolah-olah mereka ingin membuang kata “kemarin” danbentuk kata kerja lampau dari bahasa
Sikap moderat yang seimbang ini disempurnakan oleh kondisi saling melengkapi yang bersifat komprehensif. Pasalnya, perhatian utama Islam tidak tertuju kepada penerapan aspek hukum syariat secara lahiriah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah upaya untuk menegakkan kehidupan Islam yang hakiki, bukan hanya formalitas. Yaitu kehidupan yang berusaha memperbaiki jiwa manusia, sehingga Allah memperbaiki kondisi mereka
Dalam format semacam itulah manusia beriman, keluarga kokoh, masyarakat kuat, dan negara yang adil yang berciri adil dan amanah bisa dibentuk. Itulah kehidupan Islam yang komprehensif yang diarahkan oleh akidah Islam, dikontrol oleh syariat Islam, dibimbing oleh pemahaman Islam, dipagari oleh akhlak Islam, serta diperindah oleh adab-adab Islam.
Ia adalah kehidupan yang saling menopang dan kokoh sepertu satu bangunan yang sisi-sisinya saling menguatkan. Didalamnya tidak boleh ada yang kelaparan, sementara tetangga sebelahnya dalam kondisi kenyang. Didalamnya ilmu yang bermanfaat juga bisa didapat oleh setiap orang, pekerjaan yang sesuai bisa diperoleh oleh setiap penganggur, upah yang adil didapat oleh setiap pekerja, nutrisi yang cukup tersedia bagi setiap orang yang lapar, obat tersedia bagi setiap orang yang sakit,tempat tinggal yang sehat tersedia bagi setiap penduduk, ada kecukupan bagi setiap orang yang membutuhkan, ada perlindungan materi dan sosial bagi setiap yang lemah terutama anak-anak, orang tua, janda dan mereka yang cacat.
Disamping itu didalamnya juga terdapat kekuatan dalam setiap tingkatan, kekuatan pikiran, kekuatan spiritual, kekuatan badan, kekuatan akhlak, kekuatan ekonomi, kekuatan senjata, dan peralatan serta kekuatan persatuan. Tentu saja landasan dari semua itu adalah kekuatan iman.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)