Untukmu Kader Dakwah : At Tho'ah

Oleh : KH Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud dengan at tho’ah disini adalah
Melaksanakan  sekaligus menjalankan perintah tanpa reserve (menunda) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, dalam suka maupun duka

(Hasan Al Bana)

Di negeri yang malang ini, sikap ekstrem terdiri atas ifrath (keras berlebihan) dan tafrith (lunak berlebihan). Ada orang yang meletakkan akal teronggok begitu saja tanpa kerja. Karenanya seringkali kita temui para pemimpin yang ingin mengambil keuntungan besar, harus menyemai benih-benih kebodohan dan menyikapi langkah pencerahan seseorang sebagai hama yang akan menggagalkan panen mereka.
Sementara sudut ekstrem lawannya membayangkan taat dengan dalil “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil Khaliq” (Tidak boleh taat kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al Khaliq). Dengan sarat beban duka, kepedihan dan trauma otoriter mereka gunakan dalil tersebut mereka gunakan untuk menolak keputusan syuro jamaah karena tak sejalan dengan persepsi atau ambisi pribadi. Atau mengecam dengan keras perintah seorang pemimpin yang sah karena kesalahan atau maksiat pribadinya.
Betapa selamat umat, komunitas, atau bangsa yang mau berlapang hati untuk mengorbankan kemauan, pandangan dan persepsi pribadinya saat mereka bertentangan dengan sang pemimpin. Lebih beruntung mereka yang tunduk dalam keputusan syura, bahkan sekedar menjalankan perintah seorang pemimpin.
Bangga dalam Taat
Kalaulah mereka tahu kelezatan sebuah ketaatan, sebagaimana seorang Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Sepanjang karirnya sebagai da’i dan panglima tak satupun perintah atasan ditentangnya baik kepada Rasulullah, khalifah Abu Bakar ataupun Umar. Tak satu kata protes disimpannya di hati apalagi di ungkapkan kepada Rasulullah.  Bahkan ketika Rasul menugaskan Abu Ubaidah membawa pasukan ke medan berat hanya dengan bekal sekantung makanan, yang dihitung-hitung setiap prajurit hanya mendapat sebutir sehari untuk makan pagi, siang dan malam.
Berapa Ibnu Atban memenuhi panggilan jihad ketika dia sedang bersama istrinya. Sampai-sampai Rasulullah mengatakan :”Saya telah membuatmu tergesa-gesa wahai saudaraku”.  Taat sebagai sebuah Wala’ (loyalitas) dalam Tarbiyah yang akan memunculkan thaqatu’t taghyir (kekuatan daya ubah) yang  luar biasa. Salah satu pengakuan Rasulullah atas ketaatan perempuan Madinah ialah sikap mereka spontan menyambar apa saja untuk menutupi aurat karena turunnya ayat hijab. Begitupula ketika para penduduk Madinah menerima informasi larangan tuntas meminum khamar, mereka langsung menumpahkan khamr-khamr.
Banyak orang yang mengira, ketaatan hanya ada kepada Rasulullah SAW dan belum tentu untuk masa para sahabat, tabiin atau pemimpin muslim biasa. Ternyata sampai zaman Umar, seorang Abu Ubaidah tetap setia seperti gelar yang diberikan Rasulullah. Sabda beliau : “Setiap umat punya orang kepercayaan (amiin) dan orang kepercayaan umat ini Abu Ubaidah”. Ali tetap mengutus putera-puteranya untuk menjaga khalifah Ustman dari serangan kaum bughat. Hakim (qadhi) Cordova tetap meminta syarat kepada Sultan bila ia tetap ingin menjadi khatib jumat.
Sultan menangis oleh pesan-pesan yang mendalam, ikhlas, dan berani. “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (Q.S. Asy Syuara : 128-131)
Pemerintahan Abu Bakar yang singkat adalah pembuktian ketaatan Islami, bukan sekedar suatu pergantian kekuasaan menyusul wafatnya sang Rasul SAW. Alangkah sadarnya generasi hari ini untuk seimbang kepada daya kritis yang tidak menafikan ketaatan dan loyalitas yang tetap memelihara kesuburan daya kritis.
Ketaatan dan Daya Sambut (Istijabah)
Hakikat ketaatan ialah kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama orang beriman. Bila ketaatan itu terwujud dalam hubungan antara makhluk berupa rakyat dengan pemimpin, maka keikhlasan adalah hal yang paling dominan sehingga ketaatan itu dapat bernas. Sahabat Saad bin Abi Waqash telah memerankan hal tersebut dengan baik. Kecintaannya kepada ibunya tak membuat imannya luluh sekalipun sang ibu telah mogok makan (dan akhirnya berhasil menyadarkan dan membuatnya beriman kepada Allah).
Sudah sepatutnya doa mustajab Rasulullah menjadi haknya. “ Ya Allah, tetapkanlah bidikannya dan kabulkan doanya”, demikian doa beliau. Sampai-sampai menahan diri dari menyumpahi orang karena fitnah yang dilancarkannya. “Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, maka panjangkanlah umurnya dan panjangkanlah miskinnya”.
Seorang Umar Tilmisani pengacara muda yang necis dan lembut berusaha menjadi murid yang taat dan menyesuaikan diri dengan gurunya Al Bana dalam berkorban, hidup sederhana dan berani. Tak ada kekuatan pemerintahan yang membuatnya takut berkata benar dan tak ada penghinaan yang membuatnya kehilangan kesantunan.
Suatu hari disebuah acara resmi yang disiarkan di media cetak dan elektronik Presiden Anwar Sadat menyerang jamaahnya dengan tuduhan keji dan tak mendasar; separatis dan berbagai tuduhan batil. Dengan tenang syaikh Tilmisani menjawab: “ Hal yang lumrah bila aku dizalimi oleh siapapun untuk mengadukanmu kepada Allah sebagai tempat bernaung kaum tertindas. Sekarang aku mendapatkan kezaliman darimu, karenanya tak ada kemampuan bagiku selain mengadukanmu kepada Allah.”
Spontan Sadat gemetar, ngeri dan mengiba-ngiba agar Syaikh menarik pengaduannya kepada Allah. Dengan tegas, tenang dan kuat Syaikh menjawab: “Aku tak mengadukanmu kepada (penguasa) yang zalim. Aku mengadukanmu hanya kepada Tuhan yang adil yang mengetahui apa yang kukatakan”. Itulah pengalaman dihari-hari terakhir hayatnya. Sadat menyerang seorang pemimpin dan mursyid jamaah, sebelum kematian yang perih membungkamnya.
Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyuburkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi ataupun kelompok? Ataukah para pembangkang dan kaum arogan telah siap menerima limpahan yang akan menenggelamkan mereka karena kerontang ketaatan di hati mereka? Sebagai pewaris nabi, para ulama dan masyaikh tak akan mengutuki pengikutnya.
Referensi:
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Da’watuna, KH Rahmat Abdullah

X