by Danu Wijaya danuw | Feb 22, 2018 | Artikel, Dakwah
Apakah kita lebih sibuk dari Umar bin Abd Aziz, sampai tak ada waktu membaca firmanNya?
Sungguh Umar bin Abd Aziz, jika ia sangat sibuk, maka ia tetap mengambil mushaf Al Qur’an, walau hanya beberapa ayat ia baca.
Adakah kesibukan kita mengungguli kesibukan Ustman bin Affan, dimana ia berkata : “Jika hati ini bersih, maka lisan ini tak mau berkesudahan mendengungkan kalamNya.”
Ibnu Taimiah berkata : Siapa yang tidak membaca Al Quran, maka ia telah meninggalkannya.
Satu hari tidak membaca Al Quran, maka sehari kita meninggalkannya.
Sebulan mata ini acuh akan firmanNya, maka sebulan juga kita meninggalkannya dalam lemari-lemari kita.
Maka saat itu AlQuran hanya menjadi hiasan di almari dan dinding kita
Ketahuilah bukan untuk itu al Quran diturunkan, ia adalah bacaan yang sempurna, bukan pajangan yang sempurna.
Janganlah sampai nama kita masuk daftar yang diadukan Nabi saw kepada Allah, karena cuek dengan Al Quran.
Al Quran itu untuk mereka yang hidup , kenapa baru engkau buka lembar lembarnya, saat ada diantara kita yang wafat ?
Al Quran itu bukan hanya menjadi alat pengusir Jin, kenapa engkau baru sibuk membacanya saat ada yang kerasukan ?
Kau jadikan Al Quran sebagai mahar akad sucimu, tetapi rumah tanggamu hening dari alunannya.
Sesungguhnya hati yang tidak terpaut dengan Al Quran ia akan berkarat.
Sesungguhnya mulut yang tidak terhiasi olehnya seperti rumah rusak
Sesungguhnya malaikat akan menjadi penduduk rumah kita, jika Al Quran menjadi sesuatu yang membasahi lisan penduduknya.
Sumber : Twit @kampungquran
by Danu Wijaya danuw | Feb 7, 2018 | Artikel, Dakwah
Di suatu malam, Khalifah Umar mengajak seorang sahabat bernama Aslam untuk mengunjungi kampung terpencil di sekitar Madinah.
Langkah Khalifah Umar terhenti di dekat sebuah tenda lusuh. Suara tangis seorang gadis kecil mengusik perhatiannya. Khalifah Umar lantas mengajak Aslam mendekati tenda itu dan memastikan apakah penghuninya butuh bantuan.
Setelah mendekat, Khalifah Umar mendapati seorang wanita dewasa tengah duduk di depan perapian. Wanita itu terlihat mengaduk-aduk bejana.
Setelah mengucapkan salam, Khalifah Umar meminta izin untuk mendekat. Usai diperbolehkan oleh wanita itu, Khalifah Umar duduk mendekat dan mulai bertanya tentang apa yang terjadi.
“Siapa yang menangis di dalam itu?” tanya Khalifah Umar.
“Anakku,” jawab wanita itu dengan agak ketus.
“Kenapa anak-anakmu menangis? Apakah dia sakit?” tanya Khalifah selanjutnya.
“Tidak, mereka lapar,” balas wanita itu.
Jawaban itu membuat Khalifah Umar dan Aslam tertegun. Keduanya masih terduduk di tempat semula cukup lama, sementara gadis di dalam tenda masih saja menangis dan ibunya terus saja mengaduk bejana.
Perbuatan wanita itu membuat Khalifah Umar penasaran. “Apa yang kau masak, hai ibu? Mengapa tidak juga matang masakanmu itu?” tanya Khalifah.
“Kau lihatlah sendiri!” jawab wanita itu.
Khalifah Umar dan Aslam segera melihat isi bejana tersebut. Seketika mereka kaget melihat isi bejana itu.
“Apakah kau memasak batu?” tanya Khalifah Umar dengan tercengang.
“Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum,” kata wanita itu.
“Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar dia bangun dan menangis minta makan,” ucap wanita itu.
“Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya,” lanjut wanita itu.
Wanita itu tidak tahu yang ada di hadapannya adalah Khalifah Umar bin Khattab. Aslam sempat hendak menegur wanita itu. Tetapi, Khalifah Umar mencegahnya. Khalifah lantas menitikkan air mata dan segera bangkit dari tempat duduknya.
Segeralah diajaknya Aslam pergi cepat-cepat kembali ke Madinah. Sesampai di Madinah, Khalifah langsung pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum.
Tanpa mempedulikan rasa lelah, Khalifah Umar mengangkat sendiri karung gandum tersebut di punggungnya. Aslam segera mencegah.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu,” kata Aslam.
Kalimat Aslam tidak mampu membuat Umar tenang. Wajahnya merah padam mendengar perkataan Aslam.
“Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?” kata Umar dengan nada tinggi.
Aslam tertunduk mendengar perkataan Khalifah Umar. Sembari terseok-seok, Khalifah Umar mengangkat karung itu dan diantarkan ke tenda tempat tinggal wanita itu.
Sesampai di sana, Khalifah Umar menyuruh Aslam membantunya menyiapkan makanan. Khalifah sendiri memasak makanan yang akan disantap oleh wanita itu dan anak-anaknya.
Khalifah Umar segera mengajak keluarga miskin tersebut makan setelah masakannya matang. Melihat mereka bisa makan, hati Khalifah Umar terasa tenang.
Makanan habis dan Khalifah Umar berpamitan. Dia juga meminta wanita tersebut menemui Khalifah keesokan harinya.
“Berkatalah yang baik-baik. Besok temuilah Amirul Mukminin dan kau bisa temui aku juga di sana. Insya Allah dia akan mencukupimu,” kata Khalifah Umar.
Keesokan harinya, wanita itu pergi menemui Amirul Mukminin. Betapa kagetnya si wanita itu melihat sosok Amirul Mukminin, yang tidak lain adalah orang yang telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya.
“Aku mohon maaf. Aku telah menyumpahi dengan kata-kata dzalim kepada engkau. Aku siap dihukum,” kata wanita itu.
“Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan seorang ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan ini di hadapan Allah? Maafkan aku, ibu,” kata Khalifah Umar.
Sumber : buku Umar bin Khattab sang khalifah Islam
by Danu Wijaya danuw | Oct 19, 2017 | Artikel, Dakwah
SAHABAT Nabi terkenal sebagai orang-orang yang selalu menjaga shalat berjamaah. Dengan begitu mereka berarti selalu shalat tepat di awal waktu.
Pernah pada suatu hari Sayyidina Umar bin Khattab pergi ke kebun kurma miliknya. Namun ketika pulang, ia mendapati sejumlah orang telah rampung menunaikan shalat Ashar.
Sontak mulut Sayyidina Umar berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku ketinggalan shalat berjamaah!”
Khalifah kedua ini kecewa bukan main, lantaran tak sempat menunaikan shalat jamaah bersama mereka. Sebagai pelunasan atas rasa bersalahnya ini, ia pun melontarkan sebuah pengumuman di hadapan mereka.
“Saksikanlah, mulai sekarang aku sedekahkan kebunku untuk orang-orang miskin,” ujar pemimpin berjuluk al-Faruq ini.
Umar merelakan kebun kurma lepas dari kepemilikannya, sebagai kafarat atas keterlambatannya melaksanakan shalat jamaah.
Kisah ini diriwayatkan ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma seperti tertuang dalam kitab Anîsul Mu’minîn karya Shafuk Sa’dullah al-Mukhtar.
Sebenarnya, tak ada kewajiban bagi umat Islam untuk menghibahkan kekayaan sebesar itu ‘hanya’ gara-gara telat shalat berjamaah. Namun Umar melakukan hal itu lantaran kecintaannya yang mendalam terhadap aktivitas ibadah.
Sikap Sayyidina Umar tersebut secara tersirat juga mencerminkan kezuhudan dalam dirinya. Lebih dari sekadar ketertarikan atas pahala berlipat dari sembahyang jamaah.
Keputusan ‘ekstremnya’ itu menjadi penanda bahwa hatinya tak begitu terikat dengan kemewahan harta benda.
Hibah kebun kurma kepada kaum miskin, bagi Sayyidina Umar, adalah setimpal atau bahkan terlalu kecil untuk sebuah ‘keteledoran’ yang membuatnya telat shalat jamaah. Wallahu a‘lam.
by Danu Wijaya danuw | Sep 30, 2017 | Artikel, Dakwah
Semakin banyaknya masyarakat yang masuk Islam pada masa ketiga tahun Umar bin Khaththab menjabat sebagai Khalifah. Masjid Nabawi senantiasa dipenuhi oleh umat Islam untuk beribadah.
Dengan banyaknya umat Islam yang melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi menyebabkan Masjid Nabawi dirasa sempit karena tak kuasa lagi menampung jamaah yang jumlahnya semakin meningkat.
Umar bin Khaththab bermaksud memperluas masjid tersebut. Namun, dia menghadapi kendala dalam pemugaran dan perluasan masjid, karena keberadaan rumah Abbas bin Abdul Muththalib di samping masjid.
Maka, suatu hari, Umar pun menemui paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tersebut. Selepas berbagi sapa beberapa lama dengan Abbas bin Abdul Muththalib, sang khalifah kemudian berucap kepada Abbas,
“Wahai Abbas! Saya pernah mendengar Rasulullah, menjelang wafat, bermaksud akan memperluas masjid Kota Madinah ini. Tapi, rumahmu yang berada di dekat masjid ini menghalangi perluasan tersebut. Karena itu, kini, serahkanlah rumah ini kepada kami, sehingga kami bisa memperluas masjid itu. Kami akan menggantinya dengan lahan yang lebih luas.”
“Tidak, wahai Amirul Mukminin! Saya tidak akan menyerahkannya,” jawab Abbas lugas.
“Kalau begitu, kami terpaksa menggusurnya!” ucap Umar tak kalah lugas.
“Engkau tak berhak melakukan hal itu, wahai Amirul Mukminin!” kata Abbas dengan tegas. “Tetapi, sebaiknya kita tunjuk seseorang yang akan mengadili persoalan kita ini berdasarkan kebenaran.”
“Siapa yang engkau pilih?” tanya sang khalifah.
“Hudzaifah bin Al-Yaman!” jawab Abbas
Mereka berdua kemudian mengundang Hudzaifah bin Al-Yaman yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Agung.
Selepas mendengar penuturan kedua belah pihak, Hudzaifah berucap, “Saya pernah mendengar kisah yang sama dengan ini, suatu saat Daud ‘Alaihi sallam bermaksud akan memperluas Bait Al-Maqdis. Kebetulan dia mendapati sebuah rumah di samping tempat beribadah itu. Rumah itu milik seorang anak yatim. Daud pun meminta izin kepada anak itu untuk menyerahkan rumahnya. Tetapi, anak yatim itu menolak permintaan Daud, hingga Daud bermaksud mengambil rumah itu dengan paksa. Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Sungguh, rumah yang paling layak terhindar dari keaniayaan adalah rumah-Ku.” Mendengar wahyu itu, Daud pun membatalkan rencananya dan membiarkan rumah itu seperti sediakala.”
Selepas mendengar uraian Hudzaifah bin Al-Yaman tersebut, Abbas bin Abdul Muththalib pun memandangi Umar bin Khaththab seraya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau masih bermaksud akan mengambil rumah saya ini demi perluasan Masjid Nabawi?”
“Tidak!” jawab Umar dengan tegas.
“Jika demikian, saya akan menyerahkan rumah saya ini kepadamu untuk memperluas masjid itu,” Ucap Abbas.
Sumber : JalanSirah
by Danu Wijaya danuw | Sep 21, 2017 | Artikel, Dakwah, Sejarah
Masyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalender qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal.
Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu.
Kita kenal ada istilah tahun gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah.
- Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar.
- Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang.
- Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.
Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
Ketika itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
- Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.
- Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.
- Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.
- Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq. Dst.
(Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005)
Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah.
Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah.
Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:
إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:
ضعوا للناس شيئاً يعرفونه
“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”
Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:
Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.”
Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.”
Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).
Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw yang menjadi acuan?
Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة
Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat:
- Tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
- Tahun ketika diutus sebagai rasul,
- Tahun ketika hijrah
- Dan tahun ketika beliau wafat.
Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu.
Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).
Abu Zinad mengatakan:
استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة
“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan kalender hijriah.
Penentuan Awal Bulan : Muharram, serta Alasannya
Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.
Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:
- Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam.
- Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.
- Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.
(simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268)
Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.
Wallahu a’lam
Sumber : Konsultasi Syariah