Cicit Rasulullah saw, bernama Jafar Ash Shadiq ibn Muhammad Al Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain. Beliau ini punya murid yang amat mencintainya. Namanya adalah An Nu’man ibn Tsabit yang mahsyur disebut sebagai Imam Abu Hanifah.
Kecintaannya terhadap ahlu bait (keluarga Rasulullah) amat mendalam. Hingga pada taraf menempuh bahaya dan mengorbankan dirinya untuk melindungi para Ahlu Bait. Yaitu An Nafsuz Zakiyah, Muhammad ibn Hasan dan saudaranya Ibrahim.
Mereka dikejar-kejar pemerintahan Daulah Abbasiyah, Abu Ja’far Al Mansur karena tuduhan makar. Maka cinta Imam Abu Hanifah pada keluarga Rasulullah saw sungguh tak diragukan.
Tapi bagaimana sikap beliau terhadap syiah?
Suatu hari seorang alim Syi’i mendatangi beliau dan berbicara panjang tentang keutamaan Sayyidina Ali dan kebatilan tiga Sahabat (Abu Bakar, Umar, Ustman) yang dituduh merampas hak Ali.
Maka bertanyalah Abu Hanifah, “Menurutmu siapakah yang terbaik diantara ummat Nabi Musa, apakah sahabat-sahabat Musa?” Jawabnya “Ya”.
” Dan apakah insan terbaik dikalangan ummat Nabi Isa alaihissalam adalah sahabat-sahabat Isa?” lanjut Abu Hanifah. “Betul” ujarnya.
“Inilah yang tak kumengerti tentang Syiah”, seru Abu Hanifah. ” Karena menurut mereka orang-orang terburuk dikalangan ummat Muhammad justru adalah sahabat-sahabat terdekat, mertua dan menantunya!”
Maka terperenjatlah tokoh Syiah itu dan seketika menyatakan taubatnya. Maka beliaupun mengutip gurunya, cicit Rasul, Imam Jafar Ash Shadiq, “Teladan kami dalam mencintai Rasulullah dan keluarganya adalah sahabat Nabi Muhammad saw sendiri!”
Demikianlah Imam Abu Hanifah mencontohkan pada kita cinta yang mendalam pada Ahlu Bait Rasulullah sekaligus pelurusan pada penyimpangan. Ada tenggang rasa terhadap penyimpangan yang harus diluruskan.
Dan kita belajar pada Imam Abu Hanifah dalam meluruskan dengan kesediaan diawal mendengar hingga tuntas, kedalaman ilmunya, dan kekuatan dalam berhujjah.
Sumber : Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media