Kemunduran abad IV hijriah dari telaah Al Ghazali diantaranya tersebab saling ejeknya para ahli ilmu, antara ilmu dunia dan ilmu Agama. Saat itu mereka yang belajar ilmu fikih merendahkan pembelajar matematika, astronomi, kedokteran, perdagangan, kimia dan tata negara. Sebutan “budak dunia” dilekatkan. Sebaliknya ahli fikih dihujat “munafik”, karena menjual ilmu agama untuk kepentingan dunia, harta dan kuasa.
Ahli fikih, kata Al Ghazali harus hargai ilmu lain sebab urusan ibadah pun tak bisa lepas dari aneka pengetahuan diluar fikih tersebut. Bagi orang berpenyakit pencernaan misalnya, dokterlah yang akan jadi mufti; apakah dia bisa berpuasa Ramadhan atau tidak. Itu ilmu agamawi.
Demikian juga ilmu tekstil, ia sangat agamawi sebab terkait dengan sah-batalnya ibadah dalam tertutupnya aurat; jenis kain hingga model.
Jadilah jua seorang fakih. Jangan hanya menjadi perbendaharaan ilmu, pahami juga interaksi ilmu realitas. Dalam umpama Imam Syafii, seorang berilmu tak cukup jadi ahli hadis, dia haruslah jua seorang ahli fikih. Analoginya: apoteker-dokter.
Ahli hadis dan apoteker memahami ilmu segala bahan dan racikan. Tetapi otoritas beri ramuan dan dosis pada ‘pasien’ ada di ahli fikih dan dokter. Sebab ahli fikih dan dokter tak hanya berpegang ilmu, bahan dan racikan. Melainkan juga mempertimbangkan kondisi fisik, organ dan metabolisme.
Penempuh jalan ilmu adalah dia yang alim; sedang dan terus berpengetahuan dengan pembelajaran tak kenal henti; mendalamkan dan meluaskan. Sang alim tak mendikotomikan ilmu jadi duniawi-agamawi. Semuanya ilmu Allah selama dikaji dengan asma-Nya dan diguna bagi kemashlahatan.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media