Umar bin Khathab ra saat memegang amanah sebagai khalifah. Ada sebuah kisah dari banyak teladan beliau tentang toleransi, yaitu saat Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M.
Tiada kekerasan, pembunuhan, pembantaian yang terjadi dalam ‘penaklukan’ ini sebagaimana terjadi saat penaklukan Byzantium sebelumnya. Singkat cerita, penguasa Jerusalem saat itu, Uskup Patriarch Sophorinus, menyerahkan kunci kota dengan begitu saja.
Suatu hari, Umar dan Sophorinus menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, beliau ditawar menjadi Sophronius shalat di dalam gereja itu.
Umar menolak seraya berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.”
Beliau kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu itu jatuhlah beliau kemudian shalat. Di tempat Umar shalat kemudian didirikan masjid kecil, tetapi menaranya tinggi melebihi menara gereja sebagai pertanda bahwa Islam lebih unggul dari Kristen.
Untuk menunjukkan toleransi yang tinggi, shalat berjamaah terlarang di masjid tersebut, yang berarti tidak boleh dikumandangkan adzan, karena dikhawatirkan akan mengganggu gereja.
Umar kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristen. Di Gereja lain, Qiyâmah, tempat inilah dibuat perjanjian yang sampai sekarang naskahnya masih bisa dibaca karena terdokumentasi dengan baik.
Yerusalem pada saat itu sudah diganti namanya menjadi Aelia Capitolina (kota Aelia), sehingga perjanjian yang dibuat pun diberi nama Perjanjian Aelia.
Toleransi Umar ini lalu diabadikan dalam sebuah piagam perdamaian yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah yang sama dengan Piagam Madinah. Di bawah kepemimpinan Umar hak dan kewajiban mereka dijamin serta dilindungi.
Naskah perjanjian itu berbunyi: “Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Lagi Maha Pengasih. Ini adalah jaminan keamanan yang hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, telah memberikan kepada orang-orang Yerusalem. Dia telah memberikan mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri untuk rumah-rumah mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat, kota dan untuk semua ritual milik agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan hancur. Baik mereka, maupun tanah mereka, atau salib mereka, atau rumah dan bangunan mereka tidak akan rusak. Mereka tidak akan dipaksa masuk Islam. Tidak akan ada pula orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Yerusalem.
Tidak salah jika kemudian sebagai balas budi, uskup Sophorinus juga menyatakan jaminannya :“Kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru di kota dan pinggiran kota kami. Kami juga akan menerima musafir Muslim ke rumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam. Kami tidak akan mengucapkan ucapan selamat yang digunakan Muslim. Kami tidak akan memasang salib. di jalan-jalan atau pasar-pasar milik umat Islam.” (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar ibn al-Khathab Trans Yohanan Fiedmann, Albay, 1992, p 191).
Sumber : Satuislam, Republika, inilahcom