Umat Islam Nusantara rasanya sudah tuwuk dengan perilaku lemah-lembut, santun, dan tawaduk. Mereka dipinggirkan, ditipu, dikerjain, dijahilin, difitnah, dizalimi, ditindas, dan sebagainya oleh pihak lawan (baik lawan yang terang-terangan maupun lawan dalam selimut).
Namun mereka bersikap tahammul, sejak dahulu hingga kini. Tahammul adalah sikap rela menahan derita. Tahammul derajatnya lebih tinggi lagi daripada sifat sabar.
Jangan tanyakan lagi tahammul mereka. Meski sumber daya alam mereka yang melimpah dirampok, mereka tahammul. Ketika negara mogok, mereka rela berjibaku mendorong, dan setelah kondisi negara normal, mereka ditinggalkan, namun mereka tahammul. Perih hati tiada dirasa.
Situasi dan kondisilah yang menuntut mereka harus tahammul.
- Pertama, tiadanya kepemimpinan Islam.
- Kedua, daya kekuatan internal yang lemah.
- Ketiga, serangan musuh yang masif.
- Keempat, keawaman dan keterjauhan mayoritas umat dari keilmuan. Dll.
Namun, ada saatnya umat Islam Nusantara bangkit (mencampakkan sikap tahammul) dan bergairah melakukan perang.
Pepatah mengatakan:
Barangsiapa dibikin marah, namun enggan marah, maka ia adalah himar.
Akankah segera tiba masa kemarahan itu? Tiap sesuatu ada mukaddimahnya dan mukaddimah saat ini menunjukkan hal itu.
Umat Islam lebih tahu atas dirinya sendiri. Berdamai mereka : ibadah. Perang mereka pun : ibadah. Semua kondisi adalah baik (kebahagiaan) buat mereka.
Pemimpin sikap tahammul sudah melimpah. Kini mereka mendamba hadirnya pemimpin-pemimpin sifat keberanian. Mereka butuh helaan nafas dari kezaliman yang berlangsung terus-menerus.
Jika kezaliman sudah melampaui batas, jawabnya adalah lawan! Atau mereka masih tetap juga mengedepankan sikap tahammul.
Duhai umat muslim Nusantara.
Wallahu A’lam
Penulis:
Ahmad Syarifuddin