Oleh : KH Rahmat Abdullah
Yang dimaksud al fahmu disini adalah bahwa “Fikrah (pandangan) kami adalah fikrah islamiyah yang solid dan tangguh, serta memahami Islam seperti apa yang kami pahami dalam kerangka dua puluh landasan (al ushuul al’isyruun)” ~ Hasan Al Banna.
Bagi Ashabul Kahfi sesudah iman, tambahan nikmat lain berupa Huda (petunjuk) itu yang pada hakikatnya juga ilmu. Bahkan Imam Al Ghazali mengatakan “Lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu tak pernah mau dituntut kecuali karena Allah”.
Tentu saja seseorang tidak harus mengumpulkan ilmu sebagai kolektor tanpa komitmen amal, karena hal seperti ini dapat dilakukan oleh hard disc, pita rekam, ataupun mata pensil. Menurut Ibnu Athaillah kedudukan ilmu dan kemuliaan berupa ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat) termasuk Al Qur’an dan Assunnah.
Pemeliharaan Tradisi Keilmuan
Seorang imam pergi musafir berbulan-bulan hanya untuk mencari satu hadist singkat. Seorang ulama produktif bahkan menulis dipenghujung malam. Tradisi keilmuan juga menyangkut etika pergaulan. Ulama yang arif billah datang kepada raja hanya untuk menasihati dan mengingatkan mereka, bukan menjilat.
Harun Al Rasyid pernah meminta Imam Malik untuk mendatanginya agar anak-anaknya dapat mendengarkan Kitab Al Muwattha. Namun atas jawaban Imam Malik sebaiknya ilmu lah yang harus didatangi dengan aturan duduk seadanya tanpa melangkahi bahu jamaah. Begitupula Imam Syafii, kepiawaiannya dalam diskusi dilandasi keikhlasan dan mengharap kebenaran dari Allah.
Ilmu antara Tahu dan Malu
Apa kabar penghafal sekian banyak ayat, pelahap sekian banyak kitab, dan pembahas sekian banyak qadhaya yang belum beranjak dari tataran tahun untuk menjadi mau?
Alim, jahil, atau sakitkah engkau? Kemana lagi engkau sesudah ini? Seandainya engkau menjumpai planet lain, sadarkah engkau bahwa itu bukan ciptaanmu?
Ilmu dan Kelapangan Wawasan
Berapa banyak pedang diperlukan untuk mengembalikan kaum khawarij yang memecah belah jamaah? Kaum ini sesat bukan karena tidak shalat, shaum, atau jihad. Namun fiqh (kedalaman ilmu dan keleluasaan) tak menggenapi kehidupan intelektual mereka. Oleh karenanya Ibnu Abbas ra. cukup dengan argumentasi untuk mengembalikan 1/3 dari sekian puluh ribu kaum khawarij.
Belum lagi kaum nabi Nuh as membangun tugu-tugu untuk tokoh terhormat mereka; Wada, Suwa, Yauq, Yaguts, dan Nashr. Barulah setelah generasi ini wafat dan ilmu dilupakan orang, maka tugu itupun mulai disembah.
Kemudian mengapa ulama akhirat tak pernah berkelahi dan ulama dunia tak putus-putus bertengkar? Karena akhirat itu luas tak bertepi, sedangkan dunia sangat sempit. Wajar bila ulama saling bertabrakan.
Diantara karunia besar datangnya Rasul penutup adalah mata dunia dibuka, era akal sehat dimulai, bebas dari mitos-mitos dan manipulasi orang picik atas rakyat yang lugu. Inilah tonggak peralihan dari pengabdian manusia kepada sesama manusia, menuju pengabdian hanya kepada Allah semata.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah