Oleh: KH. Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud dengan al ikhlas adalah “Seluruh ucapan, perbuatan, dan perjuangan seorang aktivis muslim selalu ditujukan dan dimaksudkan hanya kepada Allah Ta’ala saja. Tidak mengharapkan imbalan apapun, baik berupa harta, tahta, martabat dan kedudukan tanpa melihat maju mundurnya perkembangan dakwah.” ~ Hasan Al Banna.
Ada orang yang sangat sederhana dalam beramal dengan ketulusan tiada tara. Puji tak membuatnya gairah dan celaan tak menghambatnya dari meningkatkan amal kebajikan. Ia ada ditengah keramaian dan jiwanya sendiri menghadap Khaliqnya tanpa berharap dan peduli terhadap penilaian manusia.
Tiga hal yang tak membuat hati mukmin kering : 1. Ikhlas dalam beramal karena Allah, 2. Tulus terhadap para pemimpin (dengan nasihat non koreksi), 3. Setia kepada jamaah muslim karena doa mereka meliput dari belakang mereka “(H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hasan Al Bashri mencurahkan kebeningan hati di zamannya : “Tak ada lagi yang tersisa dari kenikmatan hidup kecuali tiga hal:

  1. Saudara yang kau selalu dapatkan kebaikannya; bila engkau menyimpang ia akan meluruskanmu
  2. Shalat dalam keterhimpunan (jasad, hati dan pikiran), kau terlindungi dari melupakannya dan kau penuh meliput ganjarannya
  3. Cukuplah kebahagiaan hidup dicapai bila kelak tak seorangpun punya celah menuntutmu di hari kiamat.”

Ketika seseorang berusaha keras untuk beramal tanpa berfikir apa keuntungan yang bakal didapatnya, ia disebut mukhlis, artinya orang yang menyerahkan amalnya kepada Allah dengan sepenuh hati tanpa pamrih duniawi. Kemudian pada saat ia mendapat dorongan beramal tanpa ingat  apapun kecuali ridha Allah ia menjadi mukhlas, artinya orang yang dijadikan mukhlis.
Hati Tanpa Jelaga
Hati bening seorang alim ibarat penaka gelas kristal yang bening dan bersih, akan memancarkan cahaya ilmunya.Sulit untuk mendapatkan hati yang bening dan amal yang ikhlas tanpa kejujuran. Ia adalah kejujuran kepada bisikan nurani san Al Khaliq. Betapa mengerikan kemiskinan hati bila melanda kaum berilmu.
Orang-orang yang Ringkih Jiwa
Bal’am bin Baura, Wakid bin Nughirah, dan Abdullah bin Ubay adalah profil kaum berilmu yang tak berfaham. Yang pertama jelas-jelas bersebrangan dengan Nabi Musa as dan perjuangannya, lalu bermanis-manis dengan kubangan dunia, fir’aun. Adakah perbedaan fir’aunisme kemarin dengan fir’aunisme hari ini, yang membuat Bal’am-bal’am kontemporer membelanya mati-matian?
Adakah kedunguan yang melebihi kedunguan Walid yang di awal-awal laporan ilmiahnya tentang Al Qur’an menutup semua jalan bagi penolakan Al Qur’an sebagai kalam Allah. Gemertak gigi orang awam di Darun Nadwah rupanya lebih mengerikan baginya, sehingga di akhir presentasinya ia mengeluarkan konklusi : “Al Qur’an adalah sihir, lihatlah ia sudah memisahkan anak dari orangtuanya dan budak dari tuannya”.
Abdullah bin Ubay yang menarik penampilannya dan tutur katanya. Kandidat pemimpin tertinggi Madinah pra hijriah ini melihat peluang besar baginya. Penyakit nifaq merasukinya dan loyalitas tak dimilikinya. Yang ada hanya kepentingan dan kedengkian. Jadilah ia orang yang manis di muka dan mengutuk dibelakang, beriman di mulut dan kafir di hati.
Ikhlas dan Shidiq
Ikhlas artinya menjaga diri dari perhatian makhluk. dan shidiq artinya menjaga diri dari perhatian nafsu. Seorang mukhlis tak punya riya dalam dirinya dan seorang shidiq tak punya ijab nafsi (kagum diri), demikian Abu Ali Daqqaq mengurai.
Kaab bin Malik pantas mendapatkan gelar shidiq sebab hukuman yang diterima dengan ikhlas. Tak kurang 50 hari berlalu keterasingan berat akibat alasan absen dari perang tabuk.
Banyak ulama yang tak henti-hentinya mengkritik dan meluruskan pemerintahan, sementara sang Amir tak jemu memenjarakannya. Namun saat sang Amir menggaungkan jihad, para ulama tampil didepan tanpa dendam pribadi. Kritik sudah kulancarkan, demikian paradigma mukhlisin.
Khalid bin Walid tegas menjawab pertanyaan heran orang lain, mengapa kau maui bertempur dibawah komando orang sementara engkau dimakzulkan dari posisi panglima? Ia berjihad karena Allah bukan karena Umar.
Betapa mengerikan keterasingan pengamal yang selalu saja dihantui apa kata orang. Sunyi terdampar di gurun riya, tersungkur dijurang ujub, segala ketakutan ada disana, kecuali takut kepada Allah.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah