Oleh : KH. Rahmat Abdullah
 
Yang dimaksud dengan at tadhiyah (pengorbanan) disini adalah
Pengorbanan jiwa raga, harta, dan waktu serta segala sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Dan tidak ada kata dakwah di dunia ini tanpa adanya rasa pengorbanan. Jangan merasa bahwa pengorbanan akan hilang begitu saja demi meniti jalan fikrah ini. Tapi itu tak lain adalah sebuah ganjaran yang melimpah dan pahala yang besar. Dan barangsiapa yang tak mau berkorban dengan kami, maka ia berdosa. Karena Allah Ta’ala telah menegaskan hal itu dalam banyak ayat Al Qur’an. Dengan memahami ini, maka Anda akan memahami doktrin “Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi”

(Hasan al Bana)

Ajruki ’ala qadri nashabiki (Ganjaranmu tergantung kadar lelahmu) H.R. Muslim dari Aisyah ra.
Kemauan Berkorban dan Sikap Jujur
Kemauan ini yang berani menantang bahaya dan segala hambatan seperti halnya akar sehat yang menembus tanah keras dan bebatuan. Ketika kaum beriman dihadang berulang kali, yang muncul adalah keberanian dalam merespon tantangan. Dua kali mereka berhasil memukul mundur serangan kafir Quraisy di Badar dan Uhud dalam rentang waktu yang amat singkat. Ternyata masih disusul dengan serangan sekutu yang secara kuantitatif tak seimbang (gabungan Yahudi, Quraisy, Ghathafan, dan Munafiqun).
Iman dan amal shalih digemukkan dengan pengorbanan. Ruh pengorbanan semakin besar bila semakin sedikit tubuh mendapat kenikmatan syahwatnya. Kisah Bal’am adalah sejenis makhluk yang mengikuti syahwat dunia. Berapapun ia diberi, tetaplah ia menjulur bagaikan seekor anjing (Q.S. Al Araf :175). Ia rela mengorbankan kehormatannya sebagai orang berilmu demi dunia yang tak memuaskan dahaga.
Jadi Orang Besar dengan Resiko Besar
Apa jadinya bila Nabi Ibrahim gagal berkorban dengan meninggalkan Istrinya dan anaknya Ismail di lembah tak bertanaman didekat Kabah (Q.S. Ibrahim: 37)? Apa jadinya bila Ismail yang telah remaja menghindari bapaknya agar tak terjadi pengorbanan besar itu (Q.S. Shaad : 102)?
Jelas mereka akan menjadi sosok yang tak pernah punya peran di panggung sejarah, karena sejarah tak pernah mau mengabadikan orang-orang biasa yang perjalanannya datar tanpa tantangan.
Belakangan datang generasi yang tak merasakan lelahnya berkorban di zaman awal Islam, saat muhajirin dan anshar bahu membahu. Mereka tak merasakan pergi meninggalkan tanah air atau disita harta dan dibunuhi keluarga mereka. Mereka tak merasakan diblokade tiga tahun di Syi’b, dan memakan daun perdu yang membuat luka kerongkongan.
Suatu hari datanglah Mush’ab bin Umair ke majelis Rasulullah SAW dengan pakaian tambal sambil mengenang masa-masanya dimanjakan orang tuanya dalam jahiliyah. Beliau diingatkan para sahabat agar menunggu masa jaya Islam.
Para sahabat bertanya : “Bukankah saat nanti kami lebih baik, ketika masa kemenangan dan ketenangan, karena sepenuh waktu beribadah dan tercukupi kebutuhan pokok?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, kamu hari ini lebih baik daripada hari itu.”
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah
Ia adalah langkah kembali yang benar dan jalan menghindari eksploitasi pengorbanan manusia bagi kepentingan Fir’aunisme, Hamanisme, Qarunisme, dan Bal’amnisme. Dan target ini sesungguhnya target dakwah itu sendiri yaitu pembebasan.
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah menjadi perlindungan bagi hamba-hamba tak berdaya, membawa uang yang mereka peroleh dengan keringat dan darah bagi monster riba yang kejam dan mati rasa, bagi pemilik modal yang arogan dan sadis, dimangsa para kamera elit yang tak bermalu, pemimpin dengan fanatisme yang dendam dan dusta.
Pengorbanan rakyat yang terus dibodohi oleh para pemimpin berbaju paderi dan kiai, yang memanfaatkan kultus individu dan keyakinan lugu tentang kewalian dan adi kodrati. Padahal sang pemimpin lebih dekat kepada ateisme daripada monotaisme bahkan daripada politeisme sekalipun.
Pengorbanan menjadi shahih bila dapat mengantarkan atau mempersembahkan supremasi tertinggi di tangan Allah dan termuliakannya darah dan nyawa. Karenanya, tertutup semua jalan bagi berjayanya para penipu, pemeras dan kalangan yang memperdayakan mayoritas mengambang.
Kisah pengorbanan umat sebelumnya lebih berat, saat Rasul menceritakan kepada sahabatnya. “Sesungguhnya pada sebelum kamu, ada yang disisir dengan besi yang menancap ke bawah tulang, daging atau syarafnya. Semua itu tak mengalihkan merela dari agama. Sungguh Allah akan sempurnakan urusan ini, sampai seseorang dapat pergi sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut tanpa takut kepada siapapun kecuali Allah” (Al Buthy, Fiqh Sirah 106)
Hanya Untuk-Nya
Dalil apapun tak terbuka bagi pengorbanan individu untuk kepentingan figur bagi dirinya sendiri. Justru yang ada melimpahnya teks larangan kultus, dan celaan bagi orang yang senang berdiri menyambut kedatangannya.
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkunjung ke suatu tempat, rakyat datang dengan sikap merunduk-runduk. Kemudian Ali menasihati “Alangkah ruginya kelelahan yang berujung siksaan. Dan alangkah beruntungnya sikap ringan yang berubah aman bagi mereka”.
Seseorang yang menikmati ketentraman ibadah ritualnya dan melupakan tugas jihad lisan untuk menasihati mencegah kemungkaran di masyarakat ibarat burung unta yang merasa aman karena telah berhasil menyembunyikan kepalanya ke dalam gundukan pasir.
Suatu hari Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk menumpahkan adzab kepada penduduk suatu negeri. “Ya Rabbi, disana ada seorang shalih,” lapor malaikat dan sungguh Allah tahu hal itu. “Justru mulailah dari dia, karena tak pernah wajahnya memerah karena-Ku” (ketersinggungan karena kehormatan Allah dihinakan) H.R. Ahmad
Mahar perjuangan yang mahal tidak hanya menjadi tiket menuju kemenangan generasi ta’sis (perintis), tetapi juga bagi generasi sesudahnya. Dan mereka harus membayar dengan pengorbanan yang sama dalam bentuk, format, dan gaya yang berbeda.
Bagi generasi yang tak terdesak oleh jihad tangan (qital) selalu terbuka pengorbanan dengan berbagai jalan : pengorbanan waktu, perasaan, harta, kesenangan diri, dan lain sebagainya.
Mukmin sejati takkan bergembira karena tertinggal dari kesertaan berkorban, betapapun uzur bagi mereka rukhsah (keringanan), namun “Mereka berpaling dengan mata yang basah menangis karena tak menemukan biaya (untuk biaya angkutan perang).” Q.S. At Taubah : 92.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Dakwatuna, KH Rahmat Abdullah
 
 
 
 

X