Oleh : KH Rahmat Abdullah
Makna at tajarrud bagi kami adalah
Agar anda membersihkan fikrah anda dari segala pengaruh dasar-dasar hidup dan sosok pribadi orang-orang selain fikrahmu, sebab ia paling tinggi dan paling komplit dari yang lainnya.
Firman Allah :
“Celupan Allah dan siapakah yang paling baik celupannya dari Allah?” (Q.S. Al Baqarah : 138)
(Hasan al Bana)
Siapapun yang telah berazam menjadikan jihad dan dakwah sebagai jalan hidupnya lalu berfikir dapat keluar dari kesibukannya untuk sejenak mengambil nafas, maka itu adalah benih penyesalan. Sikap menghindar dari pengorbanan terkadang mengalahkan totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan sikap dakwahnya. Kelezatan berkurban yang seharusnya jadi impian setiap dai seyogyanya dapat diraih langsung dari mujahadah (usaha keras), qanaah (rasa penerimaan) dan ridha menghadapi segala cobaan dijalan dakwah.
Kalau ada sesuatu yang sangat menyita perhatian dan menuntut pengorbanan, itulah cinta. Tak ada bukit yang cukup tinggi, tak ada lautan yang cukup dalam, tak ada luka yang cukup pedih bila cinta kekasih telah memenuhi seluruh relung hati.
Medan Dakwah yang Keras
Dakwah telah dikenal bertabiat “thuulu’t thariq, katsratu’aqabat, wa qillatur rijal” (jalanannya panjang, hambatannya banyak dan tokoh pendukungnya sedikit). Bila da’inya bermental ayam negeri yang tak tahan angin, maka kiamat dakwah sudah terdengar serunainya.
Sedikit diantara mereka yang berjalan di atas permadani, makan dari roti lembut dan tidur nyenyak diatas sutera, namun mampu mengubah dunia dengan perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Pilihan hanya satu yaitu tauhid atau syirik maupun taat atau maksiat.
Ketika pembebasan terjadi, seorang aktifis dakwah hanya punya satu pilihan yaitu dakwah atau tidak sama sekali. Ketinggian adab mereka kepada Allah sampai membuat mereka merasakan malu kepada-Nya untuk berfikir, bertindak atau berkhayal di luar syariah. Mereka orang dengan langkah berderap di bumi sedang jiwa mereka melayang di langit.
Tajarrud dan Fanatisme Buta
Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sekretarian atau fundamentalis. Padahal penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan. Dengan kejernihan mata hati (bashirah), ketajaman argumentasi dan pertanda-pertanda yang tak dapat diragukan seharunya mereka maju karena para pembela kebatilan membelanya dengan yakin, bangga dan penuh percaya diri.
Tajarrud dalam istilah dakwah adalah totalitas memberi ruang seluas-luasnya bagi para da’i untuk berkiprah. Ia harus menjadi orbit dan kutub memimpin lingkungan dalam gerak keabadian ibadah. Inilah yang dilakukan Khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq ra. Dalam surat Ali Imran ayat 44 yang dibacakannya merupakan sesuatu untuk mengingatkan hakikat kehidupan. Betapa Muhammad SAW itu tetaplah seorang manusia yang ada batas hidupnya. Namun lebih dari itu, ayat tersebut bermakna risalah tak boleh berhenti. Aspek pemerintahan, peradilan, dan berbagai tugas yang diperankan Rasulullah SAW tetap harus jalan.
Sang Desertir
Ketika seorang santri, kyai atau da’i mulai menjalani dakwahnya dengan perasaan jenuh, syetan mulai menyusupkan lupa akan tabiat dakwahnya. Selanjutnya akan kehilangan rasa santun, kasih sayang, baik sangka dan empati. Lihatlah kisah Bal’am (dalam Q.S. Al Araf: 175-176) yang kisahnya ia tak beroleh manfaat apapun dari ilmunya yang banyak.
Maka mulialah ahli Madinah, dimana kaum anshar mencintai saudara mereka sendiri kaum Muhajirin sebagai bukti dakwah yang hakiki. Belum lagi sang Rasul berhijrah ke negeri mereka, setiap rumah Madinah sudah rata memiliki banyak penghuni muslim. “Fi kulli duri’i anshar khair” setiap rumah Anshar selalu ada kebajikan, demikian pesan Rasul.
Salman al Farisi tak kehilangan tajarrudnya dengan mengusulkan taktik pertahanan Khandaq. Benteng galian yang biasa dibuat bangsanya di tanah Persia.
Ummu Salamah juga tetap dalam keutuhan tajarrud-nya, ketika menceritakan patung-patung yang dilihatnya di negeri Habasyah dengan cita rasa seninya yang tinggi. Begitupun Rasulullah SAW tak meragukan keimanan Umar bin Khattab yang membawa selembar Taurat dari teman yahudinya.
Sehingga pendidikan tajarrud yang kita dapatkan dari berbagai peristiwa sejarah telah mengantarkan kita betapa aspek ini tak dapat disikapi ringan apalagi main-main.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah