Masalah yang sangat mendasar yang dihadapi umat islam adalah masalah pemikiran. Dimana pemikiran adalah sumber aqidah, keyakinan dan idiologi yang kemudian melandasi semua tindakan.
Lantas muncul pertanyaan yang sangat mendasar, barometer apa yang di gunakan untuk menghukumi bahwa sebuah pemikiran sesuai dan selaras dengan islam. Atau dengan kata lain apakah pemikiran tersebut merupakan khidmah dan solusi untuk umat dan dalam rangka menegakkan kemuliaan islam, atau malah sebaliknya, menghancurkan, menodai dan melecehkan islam? Timbangan apa yang digunakan untuk menghukumi bahwa sebuah pemikiran itu benar atau salah, islami atau tidak?
Karena begitu banyak aliran pemikiran dan keyakinan terus berkembang dari zaman kezaman yang mengatasnamakan islam, dari liberalisme, sekulerisme, islam progressif, islam nusantara dll. Bukankah semua isme dan aliran ini harus di uji kebenarannya supaya bukan hanya slogan dan klaim semata.
Umat islam tidak punya problem sama sekali dengan sumber agamanya, karena sumber agama islam (Alqur’an dan hadist ) telah sempurna dan terjaga kemurniannya sampai hari kiamat. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana memahami tafsir dari kedua sumber tersebut, bagaimana metodologi membuat sumber tersebut berbicara, menjawab dan kemudian memberikan solusi pada problematika dalam semua sisi kehidupan. Bagaimana metodologi yang benar dalam menafsirkan sumber-sumber tersebut, sehingga terjamin dari kesalahan istinbath dan tafsir yang akan membahayakan umat islam dan juga akan menampilkan wajah islam yang bukan sebenarnya.
Awal Kelahiran Ushul Fiqih
Diawal kelahirannya, ushul fiqh, yang kemudian ditulis pertama kali oleh imam Syafi’I adalah sebagai jawaban dari permasalahan manhaj atau metodologi, tuntutan atas metodologi ilmiah yang dihadapi umat islam. Baik permasalahan itu terkait dengan sumber hukum atau kaitannya dengan metodologi tafsir terhadap sumber tersebut. Menurut beliau pengertian Ushul fiqh adalah pengetahuan terhadap dali-dalil fiqh secara umum, bagaimana metodologi isthinbath hukum dengannya dan juga terkait tentang orang-orang yang berusaha dalam isthinbath tersebut (apakah mujtahid atau muqallid)
Ushul fiqh menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal (metodologi berpikir) manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalilnya yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan keadilan, sekaligus alat untuk mengetahui sesuatu itu adil atau tidak, benar atau salah .
Salah satu sisi yang juga tak kalah pentingnya mengapa ilmu ini begitu urgen adalah bahwa ilmu ini memuat metodologi penggabungan beberapa ilmu secara komprehensif di dalamnya: Ilmu Al-Lughah dan turunannya, Ilmu al-Mantiq, Ilmu al-Falsafah, Ilmu al-Kalam, Ulum al-Quran, Ulum al-Hadith, Ilmu al-Fiqh, Ilmu al-Jidal, Ulum al-Insan dan sebagainya.
Dasar dari metodologi penggabungan ini ialah untuk pencapaian produk hukum yang tepat dan benar, holistik (kulli) dan tidak parsial (juz’i). Maka tepat jika dikatakan bahwa ilmu ini adalah induk dari semua ilmu syariah.
Iniilah kemudian mengapa Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah.
Ilmu Ushul Fiqih menurut Ulama
Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.”
Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya.
Ilmu Ushul fiqh menurut jumhur Ulama adalah ilmu hukum Islam yang sering disebut sebagai The Principles of Islamic Jurisprudence. Artinya ushul fiqh bermuatan prinsip-prinsip metodologi dan kaidah yurisprudensi Islam (ilmu hukum Islam), bahkan ushul fiqh itu sebenarnya adalah metodologi yurisprudensi Islam yang bukan saja berupa prinsip-prinsip ilmu hukum Islam.
Ushul fiqh berisi teori-teori hukum Islam, kaidah-kaidah perumusan dan penetapan hukum atau dictum Islam. Ushul fiqh adalah disiplin ilmu syariah yang memberikan landasan dan kerangka epistemologi semua cabang ilmu -ilmu keislaman, sehingga, kajian epistemologi cabang ilmu -ilmu keislaman tidak mungkin bisa melepaskan diri dari disiplin ilmu ushul fiqh.
Dengan perkataan lain ushul fiqh adalah disiplin ilmu yang paling penting sebagai perangkat metodologis yang paling berkompeten guna menyusun, membentuk dan memberi corak bukan saja pada produk fiqh akan tetapi semua cabang ilmu-ilmu keislaman, seperti ilmu dakwah, tarbiyah, aqidah dan lain-lain.
Anggapan bahwa wilayah cakupan ilmu ini terbatas pada wilayah hukum saja, dan seolah-olah disiplin ilmu lain tidak butuh ushul fiqh.
Menurut Minhaji, hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, karena Imam Syafi’I sebagai pendiri ilmu ini di kenal sebagai ahli hukum. Kedua, hukum islam dipandang sebagai salah satu ajaran pokok dalam islam. Ketiga, pada masa pra-modern, hukum islam, terutama terkait permasalahan madzahib di tengarai sebagai penyebab kemunduran umat islam, karena itu para pengkaji islam merasa apriori dan memandang sebelah mata bahkan phobi pada semua hal terkait dengan hukum islam, terutama ushul fiqh.
Wilayah kajian ushul fiqh sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan. Jika kita kembalikan makna fikih secara bahasa yang berarti paham. Maka seharusnya ushul fiqh bermakna ilmu yang membahas metode, dasar-dasar pendekatan untuk memahami segala sesuatu. Selaras dengan semangat syeikh Al-Qardhowi dalam merekonstruksi makna fiqh. Menurut beliau bahwa fiqh adalah sebuah pemahaman yang konprehensip dan utuh terhadap islam.
Saat ini jika kita perhatikan produk pemikiran para akademisi kita dari semua disiplin ilmu, mereka belum menghadirkan ushul fiqh didalamnya. Bahkan kebanyakan masih menganggap bahwa disiplin ilmu mereka tidak ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan ushul fiqh. Hilangnya ushul fiqh dari disiplin ilmu –ilmu ini pada akhirnya akan menghasilkan karya ilmiyah yang cacat dan jauh dari sempurna.
Dengan demikian hadirnya ushul fiqh pada semua disiplin ilmu adalah sebagai sesuatu yang sangat penting dan mendesak yang seharusnya diaplikasikan pada fiqh dakwah, siyasah, ijtihad, fatwa, dan seterusnya. Dimana semua disiplin ilmu-ilmu keislaman ini manhaj dan metodologinya terbentuk serta terukur kadar benar dan salahnya oleh ushul fiqh.
Perangkat Penting Ushul Fiqih
Ada beberapa yang menyebabkan mengapa ushul fiqh sebagai perangkat yang paling esensial dalam dalam mencegah distorsi pemikiran dan sebagai perangkat untuk membentuk sebuah pemikiran yang islami:
- Sebagai benteng pelindung terhadap syariat islam, karena ushul fiqh menjaga dalil-dalil syariat dari penyimpangan dan kesalahan dalam mengambil kesimpulan hukum (isthinbath).
- Metode yang memudahkan dalam istinbath pada masalah-masalah cabang (fiqh) darir sumbernya.
- Menghindarkan seseorang menetapkan hukum menurut hawa nafsunya, karena mengetahui metode dan kaidah isthinbath serta cara berijtihad yang benar. Hal ini karena bermunculan para mujtahid dengan metode ijtihad yang berbeda-beda
- Memberikan standar dan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga ijtihad hanya dilakukan oleh seseorang yang mampu dan tepat. Di samping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat memahami bagaimana para mujtahid menetapkan hukum baik yang disepakati atau yang diperselisihkan dan pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum-hukum tersebut.
- Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada nash-nya; dan belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan hukumnya.
- Memelihara syariat islam dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Melalui ushul fiqh di ketahui mana sumber hukum Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan tempat dan zamannya.
- Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial kontemporer yang terus berkembang.
- Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat pada dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasan.
- Benteng dari perpecahan dan perbedaan pendapat yang lahir dari pemahaman yang salah terhadap nash.
- Sebagai metodologi yang mengakomodir dan menggabungkan antara madrasah ahlil hadist serta atsar dan madrasah ahlurro’yi yang sebelumnya seakan saling bertentangan.
- Menjelaskan nash-nash yang secara dhahir bertentangan dan kemudian Bisa mentarjih dan mengambil kesimpulan hukum ketika terjadi kontradiksi diantara nash-nash tersebut dan membantah pendapat ekstrim dalam hal ini.
- Memelihara fiqh islam dari pendapat yang terlalu longgar dan pendapat yang terlalu kaku dan jumud
- Menyeru pada ittiba’ (mengikuti) dalil, meninggalkan ta’ashub madzhab dan taklid buta. Karena dengannya bisa di timbang dan di ukur sejauh mana sebuah pendapat bisa di terima dan di tolak, atau pendapat mana yang lebih tepat yang bersandar kepada dalil dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh.
Maka tidak mengherankan jika kemudian para ulama kita menjadikan ilmu ini sebagai standarisasi dan sekaligus barometer untuk menilai benar dan salah sebuah kerangka dan metodologi sebuah pemikiran. Ilmu ini bukan saja memberi kemudahan jalan bagi para penuntut ilmu dan para pemikir islam dalam mengisthinbath hukum dan bermuamalah dengan dalil, tapi sekaligus mampu menimbang dan memberikan barometer serta jaminan mutu pada produk isthinbath dan pemikiran yang di hasilkan.
Peran Ulama dan kaum intelektual muslim sebagai pemelihara dan penjaga benteng pemikiran Islam berkewajiban memelihara kemurnian Islam dari berbagai bentuk penyimpangan dan penafsiran yang keliru. Jika tidak demikian, Islam akan berubah menjadi bahan permainan yang ditafsirkan sekehendak hawa nafsu dan syahwat intelektual. Sebagaimana halnya agama-agama samawi lain yang semula murni dan lurus, kemudian menjadi ajang permainan “intelektual” mengatasnamakan modernisasi, pembaruan, kebebasan berpikir, progresifitas dan lain-lain.
Daftar Pustaka
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958
- Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981
- Khalaf, ‘Abdul al-Wahab, ilmu usul al-Fiqh wa tarikh al-Tasyri’ al-islami, ttp: tnp, 1376 H / 1956 M
- Syarifuddin, amir, ushul fiqh, jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999
- Syu’ban, Zakiyy al-Din, ushul al- Fiqh al- islami, kuwait, muasasah ‘Ali al-Sibah, 1998
- Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-islami, beirut:Dar al-Fikr,tt,
- Qardhawi, Yusuf, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi dhau’I nushush al-Syariah wa maqashidiha, Maktabah Wahbah, kairo. 1998
- Qardhawi, Yusuf, Aulawiyat al-ahkam fi al-marhalah al-Qodimah. Muasasah Risalah:Beirut 1997.
- Qardhawi, Yusuf, Al-Ijtihad fi al-Syariah al-Islamiyah Ma’a nadharat tahliliyah fi al-ijtihad al-muashir, kuwait, Dar al-qalam,tt