Oleh: Fauzi Bahreisy
Dalam Alquran terdapat satu fakta dan ketetapan yang sangat jelas. Yaitu bahwa umat ini, umat Islam, telah ditempatkan oleh Allah pada kedudukan yang mulia. Allah SWT berfirman:
“Kalian adalah umat terbaik yang dihadirkan untuk manusia. Kalian menyeru kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran, dan tetap beriman kepada Allah.” (QS Ali imran: 110)
“Begitulah kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan untuk menjadi saksi (penilai) bagi manusia.” (QS al-Baqarah: 143)
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa umat Islam adalah soko guru bagi seluruh umat manusia. Posisi ini bukan pilihan manusia. Akan tetapi ia adalah pilihan Allah. Allah yang memilih umat ini menjadi umat yang mulia dan istimewa.
Karena itu kemuliaan dan keistimewaan tersebut harus terwujud dan terlihat pada identitasnya; pada akidah, ibadah, akhlak, dan tampilan mereka. Allah tidak ingin umat ini menjadi pengekor. Allah berfirman, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir….” (QS Ali Imran: 156).
Bahkan minimal sebanyak tujuh belas kali sehari kita minta kepada Allah agar diantarkan kepada jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi nikmat; bukan jalan mereka yang dimurka dan bukan pula jalan mereka yang tersesat (lihat QS al-Fatihah: 7).
Hal itu, lantaran Islam punya jalan istimewa yang berbeda dengan jalan-jalan lainnya. Misalnya dalam masalah kiblat. Tadinya shalat menghadap Masjidil Alaqsha. Namun kemudian, Allah kabulkan keinginan Nabi SAW dengan merubah kiblat umat Islam sehingga mereka menghadap ke Ka’bah baitullah.
Contoh lain dalam masalah penanda masuknya waktu shalat. Ada sahabat yang mengusulkan penggunaan terompet. Ada yang mengusulkan penggunaan api. Ada pula yang mengusulkan penggunaan lonceng. Tapi semua itu ditolak oleh Rasul SAW lantaran identik dengan umat lain. Lalu dipilihlah lafal adzan seperti yang kita kenal sampai sekarang.
Demikian pula dalam urusan hari raya, puasa, dan banyak urusan lainnya. Nabi SAW mengajari umat ini untuk tampil beda dan istimewa sesuai dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka.
Hanya saja, perjalanan waktu membalilkan kondisi di atas, umat Islam mulai meninggalkan ajarannya. Mulai meninggalkan identitas mereka. Ini persis seperti peringatan Nabi SAW:
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikan mereka masuk ke lubang ‘Dhobb’ (sejenis biawak-red), niscaya kalian akan memasukinya pula”.
Kami bertanya, “Wahai Rasulullah! (mereka itu) maksudnya orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)” (HR al-Bukhari)
Hadits di atas menggambarkan kondisi umat Islam yang demikian jatuh dan merosot. Umat Islam dilukiskan mengikuti sesuatu yang kotor dan tidak masuk akal. Yaitu ikut masuk ke lubang biawak. Mereka mencontoh dan mengikuti kenistaan yang ada, entah dalam hal keyakinan, ibadah, budaya, tampilan, pakaian, pergaulan, dan seterusnya. Akhirnya identitas umat menjadi kabur dan tidak jelas.
Padahal Nabi SAW bersabda, “Siapa yang menyerupai satu kaum, ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR Ahmad).
Karena itu, sudah seharusnya umat ini memperlihatkan identitas aslinya dengan kembali kepada jalan Islam; jalan yang penuh dengan nikmat dan keberkahan.
Ya, kita harus bangga menjadi muslim sebagaimana firman-Nya : “Saksikan bahwa kami adalah muslim.” (QS Ali Imran: 64)
ed : danw