0878 8077 4762 [email protected]

Hadist Nabi saw : Tidak Pilih Pemimpin Curang

Seorang pemimpin akan menjadi salah satu pemandu yang mengantarkan masyarakatnya menuju surga atau neraka.
Namun, ternyata banyak pemimpin yang tidak bisa mengemban amanahnya dengan baik di atas jalan kebenaran yang diperintahkan oleh Allah. Ia tidak memberikan ketenteraman dan keadilan bagi masyarakatnya
Pemimpin seperti inilah yang kelak akan membawa diri dan rakyatnya ke dalam api neraka
Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang mempersulit (menyusahkan) rakyatnya. Oleh karena itu, janganlah sampai kamu tergolong dari mereka,” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Aidz bin Amar).
Rasulullah saw mengingatkan kepada para pemimpin untuk tidak berbuat zalim dan curang dengan menyusahkan kehidupan rakyatnya.
Tidaklah seorang hamba dianugerahi kepemimpinan oleh Allah atas suatu rakyat, lalu ia mati dalam keadaan curang (mengkhianati rakyatnya) melainkan Allah mengharamkan surga baginya,” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Ya’la Ma’qil bin Yasar).
Hadis tentang pemimpin tersebut menyatakan bahwa Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang memimpin masyarakat dengan cara yang curang, yaitu dengan berkhianat.
Jika seorang pemimpin memiliki sifat khianat, dapat dipastikan sebagian rakyatnya pun akan mengikuti jejak yang sama. Apakah kita juga ingin menjadi manusia yang diharamkan untuk memasuki surga hanya karena mengikuti contoh pemimpin seperti itu?
Apabila para pemimpin curang (zalim), langit tidak akan menurunkan keberkahannya. Apabila zina merajalela, kefakiran dan kemiskinan pun akan merajalela” (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Jika pemimpin-pemimpin kita saat ini justru dekat dengan maksiat dan juga mengarahkan rakyatnya untuk ikut bermaksiat, pemimpin seperti inilah yang harus ditolak dan tidak wajib ditaati karena hanya akan membawa kesengsaraan dan kemurkaan Allah.
Pemimpin tersebut berpotensi menjerumuskan kita ke neraka yang tidak ada satu pun manusia sanggup menahan panas percikan apinya.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui cara memilih pemimpin yang dicintai dan mencintai Allah.
Bacalah berbagai referensi, baik ayat Alquran atau hadis tentang pemimpin yang menjadi petunjuk cara memilih pemimpin yang benar.
Jangan memilih seorang pemimpin atas dasar ikut-ikutan karena Allah telah menjelaskan dalam Alquran dan hadis.

Apa itu Sutrah?

Pernahkah Anda mendengar kata sutrah?
Sutrah merupakan batas shalat yang diletakkan di depan tempat sujud yang berfungsi sebagai penghalang, agar tidak dilewati oleh orang atau binatang.
Tujuan dari penggunaan sutrah ini adalah untuk menghormati orang yang sedang shalat.
Berikut adalah beberapa penjelasan sutrah dalam kutipan hadits.
1. “Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah mengerjakan shalat kecuali menghadap sutrah dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia tidak menghiraukan, maka halangilah ia dengan sekuat tenaga, sebab ada teman bersamanya.” [HR. Muslim, No. 26]
2. “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu melakukan shalat, maka shalatlah dengan menghadap ke sutrah, dan mendekatlah kepadanya, dan janganlah membiarkan seseorang lewat di antara dia dan sutrah. Jika seseorang datang melewatinya, maka halangilah dengan sekuat tenaga, sebab dia adalah syaitan.” [HR. Abu Dawud, No. 697]
3. “Diriwayatkan dari Abu Sahl bin Abi Hatsmah r.a., dari Nabi saw: Apabila seseorang di antaramu shalat dengan menghadap kepada sutrah, maka mendekatlah kepadanya, agar syaitan tidak memotong (mengganggu) shalatmu. Dari riwayat lainnya sebagai berikut: Apabila seseorang di antaramu mengerjakan shalat, maka pasanglah sutrah dan mendekatlah kepadanya, sebab syaitan suka lewat di depannya.” [Ditakhrijkan oleh Ahmad: 4/2]
Pendapat para ulama:
As-Safarini berpendapat bahwa penggunaan sutrah dalam shalat adalah sunnah, sebagaimana disepakati para ulama.
Imam Malik berpendapat wajib berdasarkan hadis-hadis di atas.
Abu Ubaidah berpendapat bahwa makmum tidak wajib menggunakan sutrah, karena sutrah dalam shalat jama’ah sudah ditanggung oleh imam. Maka setiap makmum sutrahnya adalah orang yang ada di depannya, tetapi makmum yang berada di shaf paling depan harus mencegah orang lewat di depannya. Pendapat ini berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: Saya datang bersama al-Fadl naik keledai, sedang Rasulullah saw berada di ‘Arafat. Kemudian kami melewati sebagian shaf, lalu kami turun, dan kami tinggalkan keledai itu bersenang-senang (makan rumput). Dan kami bersama Rasulullah saw masuk dalam shalat, beliau tidak mengucapkan kata-kata sedikitpun.” [HR. Muslim, No. 504]
Ibnu Abdil Bar berpendapat: hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas tersebut mentakhshish hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id yang berbunyi: “Apabila seseorang di antaramu shalat, maka janganlah membiarkan seseorang lewat di depannya”
Hadis ini ditakhsish dengan shalat Imam dan shalat munfarid (sendirian). Maka bagi makmum, tidak mengapa apabila ada orang lewat di depannya.
Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa sutrah disunnahkan bagi imam saja dan bagi orang yang shalat munfarid.
Namun pada masa kini, baik bagi imam maupun bagi makmum di masjid-masjid sudah dipasang kain sajadah yang dapat dijadikan sebagai sutrah.
Maka tidak perlu lagi memasang sutrah secara khusus.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Memainkan Handphone di Rumah Allah

Syeikh Nuruddin Albanjari dalam sebuah ceramahnya pernah memberi pertanyaan kepada para jamaahnya.
“Kenapa tidak ada seorang pun pemain sepak bola yang membawa handphone mereka masuk lapangan ketika bertanding?”
Jamaah terdiam, tidak ada satu pun yang menjawab. Kemudian Syeikh melanjutkan.
“Sebab tidak ada kepentingan. Mereka hanya perlu fokus pada permainan mereka.”
Jadi kenapa kita perlu membawa handphone ketika masuk ke rumah Allah atau Masjid? Adakah lapangan bola itu lebih mulia daripada masjid? Adakah bermain bola itu perlu lebih fokus atau khusyuk daripada shalat?
Mulai sekarang, belajarlah. Belajarlah untuk tidak menyibukkan diri dengan handphone, netbook, dan laptop dalam rumah Allah, karena tiada urusan yang lebih penting daripada urusan kita dengan Allah.
“Jaga adab kita dengan Allah.”
Syeikh Abdurrahman Assudais, Imam Mesjidil Haram, di suatu waktu ketika mengimami shalat di depan Ka’bah, beliau mendengar suara alunan musik dari salah satu handphone milik seorang jamaah yang ikut shalat dibelakangnya.
Setelah selesai shalat beliau bangkit sambil menangis, ia berkata kepada jamaah shalat,
“Saya belum pernah mendengar musik di rumah saya, tetapi hari ini saya mendengar musik di rumah Allah”.
 
Sumber : inspiradata

Sembunyikan Amal Ibadah, Hingga Tak Ada yang Tahu

Sering kita melihat status di sosial media yang semisal ini: “Alhamdulillah bangun shalat Tahajud terus sudah sebulan ini”
Atau, “Baru saja transfer 10 juta untuk wakaf, semoga menjadi amal jariyah untuk akhirat kelak”
Memang tidak ada seorang manusia pun yang berhak men-judge seseorang itu berbuat riya hanya dari status facebooknya, karena hanya Allah yang berhak menghakimi, alangkah lebih baik jika kita menyembunyikan amalan yang kita lakukan, sampai-sampai tak ada seorang pun yang tahu.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri,” (HR. Muslim, no. 2965)
Mengasingkan diri yang dimaksud dalam hadits ini adalah mengasingkan amalannya agar tidak terlihat orang lain.
Meskipun ada amalan yang sah-sah saja untuk diperlihatkan pada orang lain, misalnya dalam rangka berfastabiqul khoirot, namun menyembunyikan amalan itu sesungguhnya lebih baik.
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al Baqarah: 271).
Oleh sebab itu, berikut ini beberapa tips yang bisa kita lakukan untuk menyembunyikan amalan:
1. Mendahulukan melakukan berbagai amalan ibadah di rumah
Terutama untuk wanita, shalat terbaik adalah yang dilakukan di kamarnya sendiri.
“Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di pintu-pintu rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya,” (HR. Abu Daud no. 570. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Misalnya ingin tilawah, shalat sunah, jika bisa dilakukan di rumah, lakukanlah di rumah. Jika memang tidak bisa, barulah tak mengapa jika harus dilakukan di mushola atau tempat umum lainnya.
2. Tidak memposting status terkait amalan ibadah diri sendiri
Kecuali jika memang diniatkan untuk memotivasi orang lain, bukan diniatkan untuk pamer  ingat, riya itu masalah hati, hanya diri kita sendiri yang bisa mendeteksi adakah unsur riya’ atau ujub dalam postingan tersebut.
3.Tidak mencantumkan gelar atau julukan dengan niat agar orang lain tahu amalan yang sudah kita lakukan
Misalnya, marah kalau tidak disebut Ustad atau Ustadzah, marah kalau lupa ditulis gelar Haji/Hajjah. Justru lebih baik ketika gelar-gelar seperti ini ditanggalkan dari nama kita, agar terhindar dari ujub/bangga diri dan riya.
 
Sumber: Ummi

Pelajaran Menjauhi Tahdzir dari Ahlus Sunnah di Yaman

Benarkah jika kita berdakwah tauhid dan sunnah pasti mendapatkan pertolongan dan kemenangan ?!
Jawabannya: Iya, pasti, insya Allah. Tapi kita harus ikhlas dan menjaga persatuan serta tidak berpecah belah.
Negeri Yaman adalah negeri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang penuh dengan ulama yang ahli di bidangnya masing-masing. Juga ada kaum Syi’ah Zaidiyyah dan Hutsi.
Pusat dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tersebar di seluruh pelosok negeri dan kaum muslimin Yaman sangat antusias belajar ilmu agama bahkan dari luar negeri banyak berdatangan ke Yaman untuk menuntut ilmu agama.
Diantara markaz dakwah yang paling populer adalah Darul Hadits Dammaj sebagai pusat Sunnah pertama dan terbesar didunia yang diasuh oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah dan kemudian dilanjutkan oleh Syaikh Yahya Al-Hajuri hafidhahullah sepeninggalnya
Darul Hadits Dammaj ini muridnya bukan hanya dari Yaman, akan tetapi dari berbagai negeri di dunia termasuk Indonesia.
Namun, sungguh sangat di sayangkan, semangat belajar dan kebangkitan ilmu agama ini menjadikan para ulama dan penuntut ilmu saling klaim paling benar dan saling menjatuhkan yang lain dengan alasan tahdzir yang syar’i.
Tahdzir-tahdziran ini disertai saling mencari kesalahan dan segudang argumentasi untuk memperkuat tahdzirnya agar semua orang yakin dengan pihaknya dan meninggalkan pihak lainnya.
Terjadilah pecah belah dahsyat luar biasa. Dakwah yang telah dibina dan menjadi besar berubah menjadi kecil karena terpecah. Pecahannya pecah lagi, pecahannya pecah lagi dan pecahannya pecah lagi, demikian seterusnya. Semakin pecah dan semakin kecil sehingga Islam yang luas menjadi seperti kotak yang teramat sangat kecil.
Akibatnya adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah semakin lemah dan Syi’ah semakin kuat.
Akhirnya pusat-pusat dakwah Ahlus Sunnah banyak yang dikuasai dan diambil alih oleh Syi’ah termasuk Darul Hadits Dammaj yang sangat terkenal itu, juga Universitas Al-Iman Shan’a, dll.
Semua ini terjadi melalui pemberontakan kaum Syi’ah Hutsi yang ternyata mereka telah menyusun kekuatan dan bahkan mempunyai berbagai jenis senjata, juga memanfaatkan lemahnya dan pecah belahnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Terus terang kami menangis pada saat menyaksikan saudara-saudara kami diusir dengan hina oleh orang-orang Syi’ah pada saat itu.
Dakwah tauhid dan sunnah harus dibarengi dengan keikhlasan dan menjaga persatuan serta fokus kepada permasalahan yang lebih penting dengan mengedepankan fiqih prioritas.
Allah berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S.Al-Anfal : 46)
Ingat, misi besar syaitan adalah menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kita.
Allah berfirman:

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (Q.S. Al-Isra’ : 53)
Mari berfikir lagi kalau kita tidak ingin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia menjadi seperti di Yaman, jangan sampai terlambat. Sesal dahulu didapat, Sesal kemudian tiada guna.
Semoga bermanfaat.
Malang,
Kamis Malam Jum’at 09 Rajab 1438 / 06 April 2017
Hamba Allah yang selalu berharap petunjuk, ampunan dan kasih sayangNya, juga selalu berdoa dan berharap mati husnul khotimah diatas Islam dan Sunnah
Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami
Ket : Tahdzir adalah fenomena saling mencela atau mencari kesalahan antar sesama ustad/ulama baik itu tujuan positif atau negatif yang akhirnya menjadi terpecah belah bahkan dengan cara yang salah dan tidak sesuai adab menasehati
Sumber : Kajianislam.net

Wahai Umar, Kenapa Engkau Diam Saja ketika Dicaci Pemabuk Itu?

Umar bin khaththab, manusia terbaik setelah Abu Bakar ash-Shiddiq, adalah sahabat Rasulullah yang berhak mewarisi surgaNya Allah.
Alkisah, dalam sebuah inspeksi Umar bin Khaththab bertemu dengan salah satu rakyatnya yang tengah mabuk. Umar pun menangkapnya dan akan memberinya hukuman
Namun, ketika pemabuk itu ditangkap dan akan dihukum, orang itu tidak menerima. Pemabuk itu marah-marah, hingga Umar dijadikannya sebagai sasaran kemarahan.
Lantaran tak sadarkan diri akibat mabuk, keluarlah kalimat sumpah serapah, hinaan, caci maki, umpatan dan kalimat sampah lainnya dari mulut si pemabuk itu kepada Khalifah.
Namun, Umar justru diam ketika dirinya dicaci dan dimaki-maki. Umar bermurah hati, tak menanggapi perkataan pemabuk itu. Tak lama kemudian, Umar segera membebaskannya.
Melihat kejadian yang tak llumrah itu, seorang rakyatnya bertanya kepada Sang Khalifah, “Ya Amirul Mukminin, mengapa setelah dicaci, engkau justru melepaskan orang itu?”
“Aku membiarkannya karena ia telah membuatku marah,” jawab Umar datar
“Andai aku tetap menghukumnya,” lanjutnya kemudian, “berarti amarahku telah mengalahkan jiwaku.”
Umar sengaja melepaskannya, karena ia tak mau mengotori dirinya dengan dendam dan kebencian. Ia telah keluar dari sifat kebinatangan menuju sifat mulia yang tak dimiliki oleh kebanyakan manusia lainnya.
“Aku tak ingin,” lanjut Umar agak berat, “jika aku memukul seorang muslim,” hentinya sejenak, “terdapat nafsuku di dalamnya.”
Sumber : Kisah Hikmah