by Danu Wijaya danuw | Mar 24, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Islam mengupayakan agar kaum muslimin menjadi umat yang terdidik dengan wahyu. Karena itulah, islam mewajibkan umatnya yang laki-laki untuk menghadiri jumatan.
Sehingga sesibuk apapun seorang muslim, minimal sepekan sekali, dia akan mendapatkan siraman rohani dari khutbah jumat.
Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian besar bagi jumatan. Beliau mengajarkan berbagai macam adab, agar para peserta jumatan bisa mendapatkan banyak pelajaran dari khutbah yang disampaikan khatib.
Diantara adab itu, beliau melarang peserta jumatan untuk bicara di tengah mendengarkan khutbah jumat.
Diantara dalil wajibnya diam ketika mendengarkan khutbah, firman Allah swt,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
“Apabila dibacakan Al Quran, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. al-A’raf: 204)
Said bin Jubair menyebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang perintah diam ketika khutbah, baik itu khutbah jumat, idul adha, dan idul fitri. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa perintah diam itu untuk khutbah. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/538)
Kemudian hadist dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ . يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika kamu mengatakan ‘Diam’ kepada temanmu, pada hari jumat, sementara imam sedang berkhutbah, berarti kamu melakukan tindakan lagha.” (HR. Bukhari 943, Muslim 2002, dan yang lainnya)
Arti ‘tindakan lagha’ adalah ucapan yang bathil, yang tertolak, yang tidak selayaknya dilakukan. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 6/138). Jadi berkata diam untuk mengingatkan itu termasuk berbicara ketika khutbah berlangsung, yang membuat pahala jumat sia-sia, termasuk bermain HP.
by Danu Wijaya danuw | Mar 22, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Kadangkala kita lupa membaca do’a sebelum makan. Biasanya hal itu terjadi karena makanan yang kita hadapi adalah hidangan yang lezat atau menarik hati kita. Akhirnya kita pun makan dengan lahap sampai lupa membaca doa.
Tahukah anda, ketika kita lupa membaca doa makan setan sudah mengincar-incar untuk dapat makan bersama orang yang tidak ucapkan doa, seperti dikatakan dari Ibnu Shabh, dari al-Mustsanni bin Abdurrahman al-huza’i, dari pamannya yang bernama Umayyah bin Mukhsyi.
Dia adalah yang selalu menyertai Nabi Muhammad SAW, lalu dia berkata, “Suatu ketika Nabi sedang duduk ada seorang sahabat beliau makan, dan tidak membaca bismillah. Maka setan pun makan bersama dengannya, ketika makannya itu tinggal satu suap, orang itu berdo’a.
“Bissmillahi fii awwalihhi wa fii akhirihi” artinya : Dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhir.”
Kemudian beliau seraya bersabda, “Pada saat ini setan terus-menerus ikut dengan orang itu, namun ketika dia menyebut Nama Allah, maka dia memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam perutnya,” (Al-Hadits)
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang diantara kalian hendak makan hendaklah ia menyebut nama Allah ta’ala. Jika ia lupa menyebut nama Allah ta’ala di awalnya maka hendaklah ia mengucapkan “Bismillah awwalahu wa aakhirahu”. (HR Abu Dawud: 3767, at-Turmudziy: 1858 dan Ahmad: VI/ 143. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih)
Dari Hudzaifah berkata, dan bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya setan menghalalkan makanan yang tidak disebut nama Allah padanya.” (HR Abu Dawud: 3766 dan Muslim: 2017. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih)
Oleh karena itu, perlulah kita ingat untuk berdoa, tahanlah terlebih dahulu hawa nafsu kita untuk makan terburu-buru, jika ingin selamat dan berkah
Sumber: 11 dari 101 Kisah Tawa dan Senyum Nabi Muhammad SAW/Karya: Abu Islam Ahmad/Penerbit: Al-Qalam
by Danu Wijaya danuw | Mar 22, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Sholat adalah kewajiban umat Islam. Dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam. Bagaimana jika terlewat, misal Subuh kesiangan atau Isya kemalaman?
Suatu ketika Rasulullah SAW pernah bersabda: “Aku khawatir kalian tidur nyenyak sehingga melewatkan shalat subuh.”
Kata Bilal: “Saya akan membangunkan kalian.”
Mereka semua akhirnya tidur, sementara Bilal menyandarkan punggungnya pada hewan tunggangannya, namun Bilal akhirnya tertidur juga.
Nabi SAW bangun ketika busur tepian matahari sudah muncul. Kata Nabi SAW: “Hai Bilal! Mana bukti ucapanmu?”
Bilal menjawab: “Saya tidak pernah tidur sepulas malam ini.”
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mengambil nyawamu kapanpun Dia mau dan mengembalikannya kapanpun Dia mau. Hai Bilal! bangunlah dan suarakan azan.”
Rasulullah SAW berwudhu, setelah matahari agak meninggi sedikit dan bersinar putih, Rasulullah SAW berdiri untuk melaksanakan shalat. (Hadits Shahih Imam Bukhari, nomor 595)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwa Nabi s.a.w pernah bersabda: “Siapa yang lupa untuk melaksanakan shalat, maka laksanakanlah ketika ingat, tanpa kaffarah [denda] atas lupanya itu kecuali dengan mengerjakan shalat tersebut.” Kemudian Rasulullah s.a.w membaca ayat (yang artinya): “… dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Al-Qur’an surat Thaahaa, ayat 14). (Hadits Shahih Bukhari, nomor 597)
Selain itu terdapat contoh lain dalam hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. Pada saat perang Khandaq, Umar bin Khattab datang setelah matahari terbenam. Umar mencaci-maki orang-orang kafir Quraisy.
Kata Umar: “Ya Rasulullah! Saya hampir saja tidak melaksanakan shalat Ashar sampai matahari hampir terbenam.”
Nabi SAW bersabda: “Demi Allah! Aku belum melaksanakan shalat Ashar.”
Kata Jabir: “Kami pergi ke Buthhan, kemudian Nabi SAW berwudhu untuk shalat dan kami pun berwudhu, lalu Nabi SAW melaksanakan shalat Asar setelah matahari terbenam, setelah itu beliau melaksanakan shalat Maghrib,” (Hadits Shahih Bukhari, nomor 596).
Itulah tadi yang dilakukan oleh Rasulullah saat beliau telat melaksanakan shalat, langsung mendirikan shalat yang terlewat. Maka kita sebagai hamba yang patuh terhadap rasulullah maka hendaklah kita meniru apa yang di lakukan Rasulullah.
Beliau telat saat melaksanakan shalat, karena Rasulullah juga termasuk manusia biasa yang tak luput dari lupa seperti manusia lainnya. Menurut ulama Rasulullah itu ma’shum (dijaga Allah dari kesalahan agar jadi pelajaran bagi manusia). Wallahu A’lam
by Danu Wijaya danuw | Mar 21, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Terkadang karena merasa telah banyak berbuat baik untuk Islam dan kaum muslimin, kita merasa telah melakukan sesuatu untuk membela Allah, Rasul-Nya dan Al-Qur’an, lalu hati kita menganggap remeh orang yang tak seperti kita. Atau bahkan menganggap mereka lemah dan tak berguna. Secara tak sadar bahwa perasaan seperti ini bisa membatalkan amalnya.
Ibnul Mubaarok rahimahullah berkata :
“Aku tidak mengetahui pada orang-orang yang shalat perkara yang lebih buruk daripada ujub (berbangga diri)” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sy’abul Iman no 8260).
Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan bahwa ujub itu dapat membatalkan amal. Beliau mengatakan, “kelompok yang kedua, yaitu orang-orang yang tidak memiliki tahqiq (kesungguhan) dalam pokok iman kepada takdir. Mereka melakukan ibadah sekadar yang mereka lakukan. Namun mereka sungguh-sungguh dalam ber-isti’anah kepada Allah dan tidak bersabar dalam menjalankan hukum-hukum Allah yang kauni maupun syar’i.
Sehingga dalam beramal mereka pun malas dan lemah, yang terkadang membuat mereka terhalang dari beramal dan menghalangi kesempurnaan amal mereka. Dan membuat mereka ujub dan sombong setelah beramal yang terkadang bisa menjadi sebab amalan mereka hangus dan terhapus” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 4/250).
Perkataan beliau sejurus dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Tiga perkara yang membinasakan, rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri”
(HR at-Thabrani dalam Al-Awshath no 5452 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1802).
Demikian pula sabda Rasulullah saw :
“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub! ujub!”
(HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munaawi bahwasanya isnadnya jayyid (baik) dalam at-Taisiir, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no 5303).
Bila kita merasa telah menjadi orang yang baik saja dianggap ujub, sebagaimana ditanyakan kepada Aisyah radliyallahu anha siapakah orang yang terkena ujub, beliau menjawab: “Bila ia memandang bahwa ia telah menjadi orang yang baik” (Syarah Jami As Shoghier).
Bagaimana bila disertai dengan menganggap remeh orang lain? Inilah kesombongan. Semoga Allah melindungi kita dari ujub dan kesombongan.
sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam, Lc oleh Muslim
by Danu Wijaya danuw | Mar 14, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Doa merupakan salah satu hal yang sering kita lakukan. Melalui doa, seorang Muslim mencurahkan segala keinginannya kepada Sang Khalik agar Dia mau mengabulkan apa yang kita inginkan. Hanya saja, banyak dari kita yang belum terkabulkan doanya. Mengapa demikian?
Selain karena kurangnya keimanan dan ketakwaan, juga banyaknya dosa pada diri kita. Sebab tidak terkabulnya doa itu mungkin diakibatkan, kita yang tidak memperhatikan bagaimana adab yang baik ketika berdoa. Lalu, seperti apa adab yang baik ketika berdoa?
1. Diawal ketika memulai berdoa, hal pertama yang harus dilakukan ialah istighfar dan memohon ampun kepada Allah.
Ya, ini sebagai wujud dari rasa penyesalan kita yang belum mampu menjadi hamba terbaik bagi-Nya. Dan ini juga membuktikan wujud penghambaan kita kepada-Nya dengan memposisikan diri sebagai makhluk dan Allah sebagai Khalik.
2. Mengucapkan pujian kepada Allah swt dan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw
Hanya karena Allah suatu pemberian rahmat dan ampunan diberikan. Dengan memberikan sanjungan dan pengagungan sesuai dengan kedudukan Allah Yang Mahasuci. Kemudian bershawalat kepada Nabi saw atas pengorbanannya dalam menegakkan Islam dan berharap syafaatnya.
Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’
Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat, dia berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a, berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu. (H.R. Tirmidzi no. 3476 dan Abu Dawud 1481, dishahihkan Al Bani)
3. Bersyukurlah kepada Allah
Bersyukur atas segala nikmat yang telah Anda peroleh dari-Nya. Baik itu dalam kesehatan, kemampuan menjalani kehidupan, maupun hal-hal lain yang menjadi kelebihan kita. Ini merupakan wujud terima kasih kita kepada Sang Khalik atas kemurahan yang telah Dia beri.
4. Bersungguh-sungguh dalam berdo’a
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian berdo’a maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata, ‘Ya Allah, apabila Engkau sudi, maka kabulkanlah do’aku ini,’ karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.”
5. Barulah setelah keduanya dilakukan Memohon apa yang Kita inginkan.
Namun kita harus ingat, jangan berdoa dengan kesan perintah. Sebab, kembali lagi kita harus ingat bahwa Allah itu bukan pesuruh kita. Maka, berdoalah secara baik, layaknya seorang hamba yang memohon kepada tuannya.
Wallahu ‘alam.
Diolah dari H. Komarawandana, M.M., Sekolah Tinggi Agama Islam DR KHEZ Muttaqien Purwakarta dan Dosen Universitas Islam Negeri Bandung Sunan Gunung Djati
by Danu Wijaya danuw | Mar 8, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna, memerhatikan aspek-aspek kehidupan secara menyeluruh agar ia mendatangkan kebaikan kepada setiap pengikutnya.
Sudah menjadi fitrah yang manusia cenderung kepada keindahan, ketampanan dan kecantikan. Jika ditinggalkan berarti adanya sesuatu yang tidak normal, baik di sisi manusiawi atau kesalahfahaman terhadap Islam itu sendiri.
Penampilan yang elok, selagi syar’i adalah tuntutan kehidupan. Baik dalam bidang pekerjaan maupun dakwah, penampilan memainkan peranan penting dalam penonjolan imej, penerimaan orang (tsiqah), keselamatan kerja, dan keselamatan daripada siksa api neraka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ اْلجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah Maha Indah, serta menyukai keindahan.” (HR. Muslim)
Ketahuilah bahwa Islam tidaklah anti dengan orang yang berambut panjang, namun Islam benci dengan penampilan yang kacau, sehingga menjadikan wajah yang tampan menjadi mengerikan, atau wajah cantik rupawan menjadi menakutkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa memiliki rambut panjang maka hendaknya ia memuliakan rambutnya (merapikan dan merawatnya dengan baik)” [HR. Abu Dawud 4163 dan lainnya, dishahihkan Al Albani dalamShahih Abi Daud]
Sahabat Jabir radhiallahu anhu mengisahkan, suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkunjung ke rumah kami, lalu beliau melihat seorang lelaki yang rambutnya kusut/ acak acakan, spontan beliau bersabda:
“Tidakkah lelaki ini memiliki sesuatu yang dapat ia gunakan untuk merapikan rambutnya?”
Jabir berkata, beliau juga melihat lelaki yang berpakaian kotor, maka beliau bersabda:
“Tidakkah lelaki ini memiliki sesuatu yang dapat ia gunakan untuk mencuci bajunya?” (HR. Ibnu Hibban 6326, dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah 493)
Dalam hadist yang lain seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.
Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, seseorang ingin agar bajunya bagus dan sandalnya juga bagus,apakah itu termasuk kesombongan?”
Rasulullah saw berkata: “Tidak, sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain.”
Perbaikilah Penampilan Wahai Para Da’i
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31-32)
“Sesungguhnya Allah itu indah dan senang dengan keindahan. Bila seseorang diantara kamu (bermaksud) menemui kawan-kawannya hendaklah dia merapikan dirinya.” (HR. Muslim)
“Apabila kamu memelihara rambut, hendaklah dimuliakan (disisir, dirapikan agar tidak teracak-acak)” (HR. Abu Dawud dan Ath Thahawi)
“Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai kebaikan, bersih dan menyukai kebersihan, murah hati dan suka pada kemurahan hati, dermawan dan suka pada kedermawanan …” (HR Tirmidzi).
“Lima hal yang termasuk fitrah (kesucian): mencukur bulu kemaluan, khitan, menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak & memotong kuku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw bersabda, “Kalian akan mendatangi saudara-saudara kalian. Kerana itu perbaikilah kendaraan kalian, dan pakailah pakaian yang bagus sehingga kalian menjadi seperti tahi lalat di tengah-tengah umat manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai sesuatu yang buruk.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.”
Allah SWT mencintai seorang hamba yang memperindah/menghiasi ucapannya dengan kejujuran, hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal (kepada-Nya), dan anggota badannya dengan ketaatan (kepada-Nya), serta tubuhnya dengan memperlihatkan nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadanya.
Dalam berpakaian (mengikut keperluan) membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, mandi untuk menghilangkan bau dan kotoran, memotong kuku, merapikan rambut dan janggut, menyikat gigi, memakai wangian, dan sebagainya
Maka hamba yang dicintai-Nya adalah hamba yang mengenal-Nya dengan sifat Maha Indah-Nya. Kemudian beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama dan syariat-Nya.
Hal kebersihan tersebut senada dengan Sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim)
Rasulullah saw Memberi Contoh dalam Penampilan
Anas bin Malik ra. menceritakan, “Tidak pernah aku mencium bau wangi atau bau semerbak yang lebih wangi dari bau dan semerbak Nabi saw” (HR. Bukhari)
“Seandainya tak memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan kepada mereka untuk bersiwak setiap kali akan shalat.” (HR. Bukhari & Muslim)
“Dari Abi Rofi’, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam berkeliling mengunjungi beberapa istrinya (untuk menunaian hajatnya), maka beliau mandi setiap keluar dari rumah istri-istrinya. Maka Abu Rofi’ bertanya, ‘Ya, Rasulullah, tidakkah mandi sekali saja?’ Maka jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ini lebih suci dan lebih bersih.’” (HR. Ibnu Majah & Abu Daud)
“Beliau melihat seorang lelaki yang acak-acakan rambutnya. Rasulullah bersabda, ‘Tidakkah orang ini mendapatkan sesuatu untuk merapikan rambutnya?’ Kemudian beliau melihat seorang lelaki yang kotor pakaiannya. Beliau bersabda, ‘Tidakkah orang ini mendapatkan air untuk mencuci pakaiannya?‘”(HR Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Menjauhi Sifat Sombong dan Berlebihan dalam Berpenampilan
Dalam soal kecantikan atau keelokan, Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata,
“Kecantikan itu ada yang disukai oleh Allah dan ada yang dibenci. Sesungguhnya Allah membenci mempercantik diri (lelaki) dengan mengenakan sutera dan emas, membenci berhias dengan pakaian kesombongan.
Untuk membedakan antara kesombongan yang dibenci Allah, bahwasanya kesombongan itu bukanlah keindahan. Dan Rasulullah menjelaskan keindahan yang disukai Allah, Rasulullah mengatakan: “Tidak akan masuk Surga siapa saja yang ada di dalam hatinya sebesar biji dzarrah kesombongan.”