0878 8077 4762 [email protected]

Ketika Ibunda Imam Syafii Menolak Harta Anaknya

Pada saat imam Syafi’i masih kecil dan belajar di Makkah, gurunya berkata kepada Syafi’i kecil, “Anak ku, ilmuku telah habis. Kamu pergi ke Madinah dan teruskan ke Irak, di sana banyak orang-orang Alim yang akan memperkokoh keilmuanmu.”
Kemudian Syafi’i menjawab dengan sopan. Baik guru, namun terlebih dahulu ijinkan kami untuk meminta doa restu kepada ibunda kami.
Setibanya Syafi’i di kediaman ibunya, beliau mengatakan maksud dan tujuannya kepada ibu tercinta.
Ibunya terkejut dan merasa berat hati, karena ia akan berpisah dengan anak tercintanya, namun demi kesuksesan masa depan anak tercinta, Sang ibu merelakan dan berkata; “Berangkatlah anak ku, kita bertemu diakhirat saja”. Allahu Akbar.
Dan akhirnya Syafi’i kecil berangkat ke Madinah kemudian dilanjutkan ke Irak dengan doa dan restu dari ibu tercintanya.
Beberapa tahun kemudian, Imam Syafi’i telah menjadi orang hebat, dan mufti yang tersohor namanya, karena memang Imam Syafi’i memilik kecerdasan yang jarang atau bahkan tidak dimiliki anak seusianya.
Sebab dalam sejarah tercatat; Umur 7 tahun beliau telah hafal al-Quran dengan lancar, dan umur 10 tahun telah hafal kitab hadits karya imam Malik, al-Muwatho’.
Kemudian umur 12 tahun beliau telah disahkan menjadi seorang mufti. Namun meskipun demikian hebatnya, beliau tetap tidak berani pulang, karena ibunya belum memanggilnya pulang.
Ibunda Imam Syafi’i dengan Syekh Makkah (Murid Imam Syafi’i)
Tibalah musim haji, semua orang berkumpul di Makkah untuk melakukan ibadah haji, tanpa terkecuali ibunda imam Syafi’i.
Di dalam Masjidil Haram, sudah menjadi pemandangan lazim para ulama terkemuka mengadakan halaqah pengajian yang diikuti oleh para jamaah dan murid-muridnya.
Ada salah satu halaqah yang sangat besar, yang dipimpin seorang ulama yang terkenal Alim, dan halaqah inipun menjadi pusat perhatian para jamaah haji, tak terkecuali ibunda Imam Syafi’i. Kemudian ibunda Imam Syafi’i mendatangi dan mengikuti pengajian ulama yang terkenal Alim tersebut.
Namun anehnya Syekh itu sering mengatakan; “Qola Muhammad bin Idris As-Syafi’i”. “Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata…”.
Karena penasaran, sang ibunda bertanya kepada Syekh tadi; “Wahai syekh, siapakah Muhammad bin As-Syafi’i yang  sering anda sebutkan, dan seakan menjadi idola anda.
Syekh menjawab; “la adalah orang yang sangat Alim, orang yang sangat hebat, guru yang sangat mulia, keilmuannya tiada tandingannya, dan perlu anda ketahui, beliau aslinya dari Makkah, dan kemudian melanjutkan studinya ke Madinah, dan saat ini beliau telah menjadi mufti termulia di Irak .
Kemudian Ibunda Imam Syafi’i berkata, Ketahuilah wahai Syekh, guru anda yang katanya hebat dan mulia itu adalah anakku.
Aku hanya berpesan sampaikan pada guru anda yang bernama Muhammad bin Idris As Syafi’i itu. Apabila ia mau pulang, maka aku telah mengizinkannya.
Syekh yang alim tersebut terkejut dan kagum kepada ibu tua yang mengaku ibu dari gurunya yang alim tersebut. Ternyata ibunda beliau masih hidup.
Kemudian sang Syekh hanya mampu menundukkan kepala tanda hormat seraya mengucapkan; “Iya akan kami sampaikan kepada guru mulia kami”.
Imam Syafii Mendapat Kabar Ibunya
Sesampainya di kota Irak, murid imam Syafi’i tersebut langsung menyampaikan pesan yang menjadi amanahnya.
Mendengar berita itu, Imam Syafi’i sangat gembira, dan memang berita inilah yang ditunggu-tunggu sejak lama.
Karena beliau selalu ingat pesan sang ibu : “Bahwa beliau berdua bertemu diakhirat saja”. Artinya : sudah tidak ada harapan untuk bertemu di dunia.
Setelah menyelesaikan tugasnya, dan dengan waktu yang telah direncanakan, Imam Syafi’i akan segera berangkat pulang, untuk melepas rindu kepada ibunda tercinta.
Karena waktu itu imam Syafi’i adalah ulama mulia dan tersohor, sontak berita kepulangan imam Syafi’i cepat tersebar keseluruh pelosok tanah Irak.
Pecinta dan pengagum Imam Syafi’i memberi bekal dan oleh-oleh untuk dibawa pulang kerumahnya. Ada yang memberikan beberapa onta, ada juga yang memberikan beberapa dinar emas.
Sehingga dengan sekejap imam Syafi’i menjadi orang kaya, dikisahkan Imam Syafi’i pulang dengan membawa beberatus onta dan beratus-ratus uang dinar.
Mengutus Murid untuk Izin Bertemu Ibundanya
Tibalah waktunya imam Syafi’i pulang ke ibunda tercinta. Sesampainya imam Syafi’i di batas tapal kota Makkah, imam Syafi’i memerintahkan muridnya untuk memberitahu dan meminta izin kepada ibunya untuk memasuki kota Makkah.
Murid mengetuk pintu rumah ibunda tercinta imam Syafi’i dengan mengucapkan salam : “Assalamualaikum,,,
Ibunda : Wa’alaikumsalam,,, siapa anda?
Murid : Saya muridnya imam Syafi’i, putramu. Kami ingin memberitahukan bahwaImam Syafi’i telah sampai di batas kota Makkah, memohon izin untuk masuk.
Ibunda : Syafi’i anak ku membawa apa?
Murid : la membawa banyak harta, berupa onta dan beberatus uang dinar.
Dengan nada marah sang ibunda menjawab : Sampaikan ke Syafi’i, saya menyuruh meninggalkan kota Makkah bukan untuk mencari harta, bilang ke dia, saya tidak butuh hartanya, dan suruh ia kembali lagi ke kotanya.
Menjalankan Perintah Ibunda Demi Ridhanya
Murid Imam Syafi’i terkejut dengan jawaban ibunya. Kemudian ia kembali kepada gurunya, dan menceritakan tentang apa yang telah ia alami.
Kemudian imam Syafi’i mengatakan; ” Wahai muridku kamu salah menjawab pertanyaan ibuku. Sekarang kamu panggil seluruh penduduk kota Makkah, dan bagikan semua harta yang kita bawa ini.
Kemudian sang murid melakukan apa yang telah diperintahkan gurunya, dan membagikan semua harta itu sampai habis tak tersisa.
Nah, sekarang kamu datangi ibunda ku lagi, dan sampaikan bahwa harta Syafi’i telah habis dibagikan, yang tertinggal hanya ilmu dan kitabnya saja.
Kemudian barulah Imam Syafi’i diperkenankan masuk kota Makkah, dan bertemu melepas rindu dengan ibunda tercinta.
Refleksi Hikmah dari para Ulama:

  1. Jika orang tua rela melepas anaknya untuk mencari ilmu, walaupun jauh disana, maka Allah akan mempertemukan mereka di dunia, apalagi di akhirat.
  2. Orang tua jangan menjadikan anaknya ‘sapi perah’ untuk mencari dunia.
  3. Orang yang mencari ilmu bukan bertujuan untuk dunia, namun ikhlas untuk akhirat, maka ia juga akan diberi bonus oleh berupa kekayaan duniawi.
  4. Doa orang tua adalah kunci sukses dalam menuntut ilmu.
  5. Suri tauladan kesabaran orang tua dan anak ketika proses mencari ilmu.

 
Sumber riwayat : Ceramah Buya Yahya, Ulama Cirebon

Jangan Membuang Muka Ketika Berbicara

Membuang muka adalah memalingkan muka atau menghadapkan muka ke lain arah ketika berbicara dengan orang lain.
Membuang muka ketika berbicara dengan orang lain merupakan perilaku yang merendahkan lawan bicara dan cerminan sifat tinggi hati pembicara. Allah telah membahas ini dalam firmannya:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong); dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi tinggi hati.” (QS. [31] ayat 18).
Maksud ayat di atas adalah apabila kita berhadapan dengan orang yang sedang berbicara dengan kita, kita tidak boleh memalingkan muka dari lawan bicara kita. Sebaliknya, hendaklah kita menghadapkan wajah kita kepada lawan bicara kita dan mendengarkannya dengan seksama dan penuh persaudaraan.
Memalingkan atau membuang muka dari siapapun merupakan perilaku yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, karena sikap semacam ini adalah bukti kesombongan dan tinggi hati pelakunya. Bersikap sombong dan tinggi hati adalah perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah swt
Rasulullah SAW pun bersabda:
“Janganlah kamu saling membenci, jangan saling mendengki, dan jangan saling membelakangi; tetapi hendaklah kamu sekalian menjadi hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Anas)
Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap akhlak seseorang dalam menghadapkan muka ketika berdialog dengan lawan bicara. Karena sikap seseorang ketika berbica dengan orang lain mencerminkan tingkat penghormatan kepada lawan bicara. Apa lagi apabila lawan bicara kita adalah ibu bapak sendiri. Sudah tentu haknya untuk diperlakukan dengan penuh rasa hormat lebih besar daripada orang lain sebagai lawan bicara.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang anak-anak membuang muka ketika bertemu dengan orang tuanya; atau ketika disuruh menghadap kedua orang tuanya. Mereka menjawab sambil memalingkan muka ke arah lain. Perilaku semacam ini adalah bukti sikap penghinaan terhadap lawan bicara. Apalagi yang menjadi lawan bicara adalah ibu bapak sendiri.
Maka dari itu, ketika bertemu dengan orang tuanya, hendaknya anak-anak menghadapkan wajahnya kepada mereka. Jika anak dipanggil menghadap orang tuanya, hendaklah mukanya dihadapkan kepada mereka. Menghadapkan muka kepada orang tua ketika berbicara termasuk memperlakukannya secara hormat. Mendapatkan perlakuan hormat dari anak-anak mereka adalah hak orang tua.
Namun, apabila anak telah melakukan kedurhakaan dengan memalingkan mukanya ketika berbicara dengan orang tua, hendaklah ia segera meminta maaf kepada kedua orang tuanya. Ketika seorang anak sudah meminta maaf atas kesalahannya, alangkah lebih bijaknya jika orang tua mampu memaafkan kesalahan anaknya tersebut dan mendidiknya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
 
Sumber : Buku 20 perilaku Durhaka Anak Terhadap Orang Tua
Oleh : Drs. M. Thalib, Penerbit : Irsyad baitus Salam

Ketika Rasulullah dan Para Sahabat Menyambut Ramadhan

Rasulullah menyambut bulan Ramadhan penuh perasaan bahagia dan suka-cita. Beliau ingatkan para sahabat agar menyiapkan diri mereka untuk menyambut dan mengisinya dengan amal. Diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah berceramah di harapan para sahabat di akhir Sya’ban, beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia. Kalian akan dinaungi oleh bulan yang agung nan penuh berkah. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu malam.
Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban dan qiyamnya sebagai perbuatan sunnah. Siapa yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal kebaikan seolah-olah ia telah melakukan kewajiban di bulan lain.
Dan barangsiapa melakukan kewajiban pada bulan itu maka ia seolah telah melakukan tujuh puluh kewajiban di bulan lain.
Ia adalah bulan kesabaran dan kesabaran itu adalah jalan menuju surga. Ia adalah bulan keteladanan dan bulan dimana rezki dimudahkan bagi orang mukmin.
Siapa memberi buka kepada orang yang berpuasa maka ia mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan lehernya diselamatkan dari api neraka. Ia juga mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.”
Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak semua kita bisa memberi buka bagi orang puasa.”
Rasulullah menjawab, “Allah memberi pahala yang sama kepada orang yang memberi buka walau sekadar kurma dan seteguk air atau seteguk air susu. Ia adalah bulan dimana permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan ujungnya diselamatkannya seseorang dari neraka.
Barangsiapa meringankan budaknya Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka.
Perbanyaklah kalian melakukan empat hal: dua hal pertama Allah ridha kepada kalian, yaitu mengucapkan syahadat tiada ilah selain Allah dan meminta ampunan kepada-Nya.
Sedangkan hal berikutnya adalah yang kalian pasti membutuhkannya; yaitu agar kalian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka.
Barangsiapa memberi minum orang berpuasa, maka Allah akan memberinya minum dari telagaku yang tidak akan pernah haus sampai dia masuk ke dalam surga.” (Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Para sahabat dan salafus-shalih pun senantiasa menyambut bulan Ramadhan dengan bahagia dan persiapan mental dan spiritual. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab menyambutnya dengan menyalakan lampu-lampu penerang di masjid-masjid untuk ibadah dan membaca Al-Qur’an. Dan konon, Umar adalah orang pertama yang memberi penerangan di masjid-masjid. Sampai pada zaman Ali bin Abi Thalib. Di malam pertama bulan Ramadhan ia datang ke masjid dan mendapati masjid yang terang itu ia berkata, “Semoga Allah menerangi kuburmu wahai Ibnul Khatthab sebagaimana engkau terangi masjid-masjid Allah dengan Al-Qur’an.”
Diriwayatkan Anas bin Malik bahwa para sahabat Nabi saw jika melihat bulan sabit Sya’ban mereka serta merta meraih mushaf mereka dan membacanya. Kaum Muslimin mengeluarkan zakat harta mereka agar yang lemah menjadi kuat dan orang miskin mampu berpuasa di bulan Ramadhan.
Para gubernur memanggil tawanan, barangsiapa yang meski dihukum, segera mereka dihukum atau dibebaskan. Para pedagang pun bergerak untuk melunasi apa yang menjadi tanggungannya dan meminta apa yang menjadi hak mereka. Sampai ketika mereka melihat bulan sabit Ramadhan segera mereka mandi dan I’tikaf.”
Banyak membaca Al-Qur’an adalah salah satu kegiatan para salafus-shalih dalam menyiapkan diri mereka menyambut Ramadhan. Karena Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan. Bersedekah dan menunaikan semua kewajiban. Juga menunaikan semua tugas dan kewajiban sebelum datang Ramadhan. Sehingga bisa konsentrasi penuh dalam mengisi hari-hari Ramadhan tanpa terganggu oleh hal-hal lain di luar aktivitas ibadah di bulan suci ini.
Bukan dengan kegiatan fisik dan materi yang mereka siapkan, namun hati, jiwa, dan pikiran yang mereka hadapkan kepada Allah. Bukan sibuk dengan pakaian baru dan beragama makanan untuk persiapan lebaran yang mereka siapkan, namun semua makanan rohani dan pakaian takwa hingga mendapatkan janji Ramadhan.
Ibnu Mas’ud Al-Ghifari menceritakan,

“سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ -وَأَهَلّ رَمَضَانَ- فَقَالَ: “لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ تَكُوْنَ السَّنَةُ كُلُّهَا رَمَضَانَ”

“Aku mendengar Rasulullah saw –suatu hari menjelang Ramadhan – bersabda, “Andai para hamba mengetahui apa itu Ramadhan tentu umatku akan berharap agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”
Semoga kita dapat meraih keutamaan bulan suci Ramadhan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
 
Sumber : Dakwatuna

Keistimewaan Pentingnya Menjalin Silaturahim

Silaturahim seperti dijanjikan Rasulullah SAW dapat membuat seorang Muslim dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umurnya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang suka diluaskan rezeki dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Selain itu,  mereka  yang gemar bersilaturahim dijanjikan akan di masukan ke dalam golongan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Dari Abu Hurairah RA,  sesunguhnya Rasulullah saw bersabda,  ”… Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akherat maka lakukanlah silaturahmi…”  (HR Bukhari dan Muslim).
Orang yang gemar silaturahim pun akan selalu berhubungan dengan Allah SWT. Dari Aisyah  RA  berkata, Rasulullah SAW bersabda,
Silaturahmi itu tergantung di `Arsy (Singgasana Allah) seraya berkata: “Barangsiapa yang menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan dengannya, dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya” (HR Bukhari dan Muslim)
Keistimewaan lainnya, Silaturahim dapat menjadi  salah satu sebab penting masuk surga dan dijauhkan dari api neraka.
Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata, ”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau menjawab, “Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahim.”” (Diriwayatkan oleh Jama’ah).
Meski terkesan sepele, silaturahim adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT,  serta tanda takutnya seorang hamba kepada Allah.
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS: Arra’d, 21).
Betapa mulianya menjalin silaturahim, sehingga mendapat keutamaan yang begitu hebat dalam ajaran Islam.
Silaturahim dapat memperkokoh persatuan umat. Karenanya, Rasulullah SAW sangat mewanti-wanti agar umatnya tak sekali-kali memutuskan hubungan silaturahim.
Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang memutuskanku, maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya”  (HR Bukhari dan Muslim).
 
Sumber : Republika

Jaga Iffahmu Dong Ukhti! Apa Itu Iffah?

 
Seorang perempuan harus dapat menjaga iffahnya. Iffah artinya menahan diri dari sesuatu yang buruk dan tidak pantas. Al-Kharazz menyebutkan bahwa iffah adalah meninggalkan segala jenis syahwat dan menjaga kemaluan dari yang tidak pantas.
Namun secara sederhana kita dapat mengartikan iffah sebagai menjaga diri dan kehormatan serta bersopan santun. Cra berbicara, bergaul, berjalan, makan dan lain hal sebagainya merupakan gambaran dari iffah.
Allah swt berfirman mengenai perempuan-perempuan tua yang sudah renta, “Dan beriffah lebih baik bagi mereka…” ( QS An-Nur: 60)
Yang dapat kita ambil dari ayat teebut adalah, bahwa perempuan-perempuan tua saja Allah perintahkan menjaga iffahnya, lantas bagaimana yang masih muda.
Aisyah ra adalah gambaran perempuan yang luar biasa dalam menjaga iffahnya. Dalam suatu riwayat diceritakan, ketika datang seorang yang buta bernama ishaq, Aisyah langsung mengenakan hijabnya.
Kemudian Ishaq pun bertanya kepadanya, “Wahai Aisyah, apa engkau berhijab dariku? Bukankah aku seorang yang buta dan tak dapat melihatmu?”. Aisyah ra pun menjawab “ Walau engkau tidak dapat melihatku, tetapi aku bisa melihatmu.”
Ber-iffah atau bersopan santun bagi muslimah bukan hanya sekedar mengikuti tradisi.Iffah adalah ajaran agama yang harus dilakukan.
Gadis-gadis remaja yang kehilangan malu dan kesopanannya, sungguh cerminan betapa iffah sudah sulit ditemukan dimasyarakat luas.
Banyak remaja yang justru menonjolkan segala keburukannya dan dengan bangga menunjukan hasi-hasil kegiatan buruknya. Untuk itu penjelasan kembali tentang iffah seorang muslimah perlu dijelaskan kembali agar perempuan-perempuan Indonesia tidak kehilangan pijakannya.
 
Sumber : Ruang Muslimah/Karisya Preli
Dari Buku : Cara Nabi Mendidik Anak Perempuan. Misran Jusan dan Armansyah. Pro U media: Yogyakarta. 2016

Hukum Menuduh Orang Berzina Dalam Islam

Sering kita mendengar diantara sesama muslim saling hina menghina, caci-mencaci bahkan saling tuduh-menuduh. Terlebih mereka yang menuduh sesama Muslim berbuat zina tanpa ada saksi dan bukti nyata.
Menuduh hanya untuk menjatuhkan dan menebar fitnah. Tahukah bahwa menuduh orang berbuat zina itu termasuk dosa besar dan mewajibkan hukuman dera.
Orang merdeka didera 80 kali dan hamba (budak) 40 kali dera, dengan beberapa syarat yang akan dibahas berikut ini.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 4 : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Yang dimaksud wanita-wanita baik ialah wanita yang suci, yang taat kepada Allah, dan wanita-wanita shalihah.
Adapun dalil hukuman terhadap hamba (budak) 40 kali dera terdapat dalam qur’an surat An-Nisa ayat 25.
Syarat tuduhan yang mewajibkan dera 40 kali yaitu:

  1. Orang yang menuduh itu sudah baligh, berakal dan bukan orang tua atau nenek dan seterusnya dari yang dituduh.
  2. Orang yang dituduh adalah orang Islam, sudah baligh, berakal, merdeka, dan terpelihara (orang-orang baik).

Gugurnya Hukum Dera
Hukum tuduhan dari yang menuduh akan gugur melalui tiga jalan berikut ini:

  1. Terdapat empat orang saksi, yang dapat menerangkan bahwa yang tertuduh itu benar-benar berzina.
  2. Dimaafkan oleh yang tertuduh.
  3. Orang yang menuduh istrinya berzina dapat terlepas dari hukuman dengan jalan Li’an.

Dalil tentang mengemukakan empat orang saksi, dia terlepas dari hukuman terdapat dalam surat yang telah disebutkan diatas.
Adapun dalil yang kedua, karena hukuman itu adalah hak yang tertuduh, maka dia berhak mengambilnya dan menghilangkannya dengan memberi maaf.
Sedangkan jika suami yang menuduh istrinya berzina, boleh gugur hukum deranya dengan jalan li’an.
Dalam Q.S. An Nur ayat 6 : “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Kemudian dalam Q.S. An Nur ayat 7 : “Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Jadi, hati-hati jangan asal menuduh orang baik-baik berzina. Apalagi yang dituduh seorang wanita yang terjaga kesuciannya. Karena hal itu merupakan perbuatan yang termasuk kedalam dosa besar. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari sikap buruk tersebut.
 
Sumber : CatatanMuslimah