by Danu Wijaya danuw | Aug 25, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pendeta S Supit memiliki alasan yang menarik mengapa mau menghadiri Milad Front Pembela Islam (FPI), karena selama ini ia berhubungan baik dengan FPI termasuk dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Bahkan ia sangat kenal baik Rizieq dan sering berdiskusi.
Habib Rizieq, kata dia, dalam diskusi elalu mengedepankan melawan nilai-nilai kemungkaran atau pun hal-hal yang menjatuhkan kemanusiaan.
Kesan keras yang ada pada Rizieq tidak seperti apa yang dibayangkan banyak orang. “Di luar memang (Rizieq) ada terkesan keras, tetapi kalau saya lihat, saya kenal, ternyata tidak seperti yang diduga itu,” kata Supit di Jakarta Utara, Sabtu, (19/08/2017).
Hubungan antara umat Kristen dengan FPI dan Rizieq, kata dia, sangat baik. Dirinya sering berdiskusi membahas soal kebangsaan dan toleransi.
“Jadi kami tidak ada sekat sama sekali, hubungan kami dengan FPI sangat baik,” tambahnya usai menghadiri milad FPI di Stadion Muara Kamal, Penjaringan.
Supit menceritakan kisah 13 tahun lalu saat umat Kristen melaksanakan paskah nasional pertama kali di Monas, Jakarta.
“Kami melakukan silaturahim kepada Habib Rizieq, beberapa pendeta juga melakukan dialog dengan Habib. Saya bisa akrab bisa berbicara dengan Habib karena mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan,” kata dia seperti dilansir Okezone.
Secara akidah dan iman, kata dia, FPI dan umat Kristen memang berbeda. Tetapi dari hakikat sebagai manusia, semuanya saling menghargai. Habib Rizieq menerima baik pandangan tersebut dan PGI.
Sumber : OkeZone
by Danu Wijaya danuw | Aug 23, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
JAKARTA — Kementerian kesehatan (Kemenkes) menegaskan untuk memproses pengajuan sertifikasi halal vaksin measles rubella (MR) kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, menurut dia, sertifikasi halal terhadap vaksin itu tentu membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kepala Biro Humas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Oscar Primadi mengatakan, bahwa dalam memberikan vaksin Rubella terhadap anak-anak sementara ini pihaknya masih berpegang pada Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 yang membolehkan imunisasi. Untuk pengajuan sertifikasi halal, menurut dia, Kemenkes masih melakukan proses.
“Soal bagaimana sertifikasi tentunya tidak mudah. Kita harus berproses, harus melakukan kajian-kajian. Tentunya apapun bentuknya kita hargai lah pendapat termasuk usulan,” ujarnya saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (22/8).
Beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek sempat berencana mendatangi Kantor MUI untuk membahas terkait sertifikasi halal vaksin Rubella, namun tidak terlaksana.
Menurut Oscar, hal itu merupakan bagian proses untuk melakukan sertifikasi halal. “Itu bagian dari proses yang sedang kita jalankan. Nanti kita lihat hasil akhirnya ya,” ucapnya.
Protes Masyarakat untuk Sertifikasi Halal
Kendati banyak mendapat protes dari masyarakat terkait belum tersertifikasinya vaksin Rubella, Oscar menegaskan, bahwa Kemenkes tidak akan menghentikan program imunisasi yang menggunakan vaksin Rubella.
Seperti diketahui, Kemenkes akan melakukan vaksinasi MR mulai fase pertama di bulan Agustus dan September 2017 untuk seluruh provinsi di Pulau Jawa; sekitar 36.776.100 atau 55 persen dari populasi Indonesia usia 9 bulan sampai dengan 15 tahun.
“Programnya tetap jalan. Tidak ada kita intinya untuk ceritanya menghentikan karena ini program nasional 36 juta. Dan sekarang sudah berjalan bagus lah artinya dalam konteks on the track hampir cakupan 50 persen ke atas sampai hari ini,” ucapnya.
Ia menambahkan, pihaknya akan mendengar usulan-usulan dari masyarakat ataupun dari MUI untuk menjalankan program tersebut, termasuk soal sertifikasi halal vaksin MR. “Ya kita dengar, tentunya kan gak mudah. Itu perlu proses. Yang pasti ini tidak ada ceritanya untuk dihentikan, tetap jalan. Ini tetap harus disukseskan untuk melindungi anak-anak bangsa,” kata Oscar.
Pemerintah Didorong Ajukan Sertifikasi Halal Vaksin Rubella
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF mengatakan, sampai saat ini, pihaknya belum memproses pembuatan fatwa terkait vaksin measles rubella (MR) maupun vaksin campak. Pasalnya, pemerintah belum mengajukan sertfikasi halal untuk vaksin yang menjadi polemik tersebut.
Menurut dia, selama ini pihaknya telah mendorong agar pemerintah mengajukan sertifikasi kepada MUI, sehingga bisa diproses lebih lanjut. Namun, pemerintah belum juga melakukannya.
“Dari dulu kami memang mendorong pemerintah terutama Bio Farma, supaya cepat mengadakan vaksin yang halal. Tapi ya sampai saat ini belum ada,” ujar Hasanuddin saat dikonfirmasi Republika.co.id, Senin (14/8).
Dia menjelaskan, proses pembuatan fatwa vaksin rubella sendiri harus melibatkan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI. Menurutnya, LPPOM akan terlebih dahulu mengaudit bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan vaksin rubella. Setelah itu, baru dibahas ke rapat Komisi Fatwa MUI untuk dikaji.
“Kalau laporan LPPOM diterima dan tidak mengandung lagi unsur haram, lalu Komisi Fatwa memuruskan. Lalu diproses lah sertifikasi halal itu,” ucapnya.
Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim mengatakan, bahwa beberapa waktu lalu MUI hanya mengeluarkan fatwa bahwa pemberian vaksin untuk anak-anak tersebut sangat penting dilakukan. Namun, sampai saat ini, proses pendaftaran sertifikasinya halal untuk vaksin rubella belum dilakukan.
“Fatwa kemarin itu bahwa vaksin itu hanya dianjurkan. Cuma secara proses belum dilakukan. Karena pengajuannya atau pendaftarannya belum masuk. Kalau LPPOM MUI belum terima sih,” katanya saat dikonfirmasi lebih lanjut.
Menurut Lukman, MUI telah mendorong agar pemerintah melakukan proses sertifikasi halal terkait vaksin rubella maupun vaksin campak, sehingga MUI nantinya mengeluarkan fatwa. Karena, menurut dia, Komisi Fatwa MUI bekerja berdasarkan masukan dari LPPOM.
“Tapi yang jelas saat ini, baik dari vaksin rubella maupun vaksin campak belum ada yang diajukan,” ujarnya.
Lukman menambahkan, pemberian vaksin terhadap anak-anak memang penting dilakukan. Namun, menurut dia, sertifikasi halal juga sangat penting dibuat agar masyarakat tidak ragu dalam menerima vaksin.
Sumber : Republika
by Danu Wijaya danuw | Aug 22, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Negara Indonesia menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan agama bagi penganutnya. Hal itu terbukti dari penggunaan cadar oleh santriwati Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) asal Pondok Pesantren Tarekat Al-Idrisiyah, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Ternyata bercadar tak menjadi halangan bagi mereka untuk mengibarkan bendera merah putih.
Tim paskibra Ponpes tersebut menjadi viral di media sosial lantaran santriwatinya tetap menggunakan cadar saat menggelar upacara HUT-RI pada 17 Agustus silam. Republika.co.id, berkesempatan mengungkap kisah paskibra bercadar usai wawancara pada Sabtu, (19/8).
Salah seorang santriwati anggota paskibra, Lulu Lutfia mengatakan, diikutsertaannya di ekstrakurikuler paskibra dimulai sejak sejak SMP, meski belum terlalu aktif. Ketertarikannya pada paskibra dimulai dari hobi saja. Tetapi, dia mulai menekuni paskibra secara serius saat bertekad menjadi tim paskibra saat momen upacara HUT RI 2014 silam.
Ketika itu, Ponpes Al-Idrisiyah mendapat giliran menyediakan paskibra untuk upacara HUT-RI tingkat Kecamatan di Cisayong. Sebab Ponpes Al-Idrisiyah tak setiap tahun menyediakan paskibra lantaran digilir ke lembaga pendidikan lain tiap tahun.
“Waktu 2014 itu cuma lihat saja, terus jadi kepengen jadi tim paskibra saat upacara kemerdekaan, akhirnya saya mulai tekun latihan seperti baris berbaris,” kata dara kelas 12 SMA itu yang pada tahun ini akhirnya mewujudkan mimpinya menjadi tim pengibar bendera kemerdekaan.
Senada dengan itu, anggota paskibra lainnya, Mira Siti Khomariyah merasa bangga menjadi pengibar bendera kemerdekaan. Dia merasa amat bersyukur bahwa cadar yang dikenakannya tak menjadi halangan. Malahan, pihak Ponpes mendukungnya habis-habisan supaya tampil sebagai paskibra bercadar.
“Bangga bisa jadi paskibra bercadar, apalagi mesti seleksi juga di ponpes supaya bisa jadi tim inti,” ujar satu dari delapan santriwati bercadar yang tampil pada upacara kemerdekaan lalu.
Mengenai alasan menggunakan cadar, Lulu dan Mira sepakat karena untuk menjaga diri dari kejahatan. Keduanya pun berharap bahwa langkah terobosan sebagai paskibra bercadar bisa diikuti oleh perempuan bercadar di tempat lain. Mereka menegaskan bahwa cadar tak menjadi halangan untuk mecintai Indonesia.
“Kami jadi paskibra ini sebagai bentuk cinta tanah air, bahwa menggunakan cadar bukan berarti kami tidak nasionalis, saya cinta Indonesia,” tutur Lulu yang disambut anggukan Mira.
Pelatih paskibra di Ponpes Al-Idrisiyah, Asep Rahmat mengatakan tak ada yang berbeda dengann bentuk latihan paskibra bercadar.
Baik santriwati bercadar dan santriwan memperoleh porsi latihan sama dua kali sepekan di hari Senin dan Jumat selama satu jam. Bentuk latihannya berupa pelatihan baris-berbaris dan mengibarkan bendera.
Khusus pada pengibaran kemerdekaan lalu, tim paskibra hanya berlatih intensif selama sepekan. Perbedaan baru terasa bahwa ternyata posisi santriwati dan santriwan dalam formasi paskibra dipisah.
“Pola pelatihannya sama, tapi hanya berbeda yang pria dan perempuan dipisah ada jaraknya, karena sejatinya mereka bukan muhrim, jadi tidak boleh dekat-dekat,” ucapnya.
Sehingga pada pengibaran 17 Agustus lalu, pemandangan berbeda dapat terlihat karena tim paskibra pria dan perempuan tak bercampur dalam satu barisan. Anggota paskibra yang menjadi pembawa baki dan pengerek pun merupakan perempuan, tanpa ada pria yang membantu. Perbedaan ini sempat mengundang pertentangan dari unsur Muspika setempat.
“Mulanya disuruh digabung saja yang pria dan perempuannya jadi satu barisan, tapi kami tolak, kami mending mundur batalin jadi tim paskibranya. Tapi, akhirnya disetujui juga karena waktu sudah mepet,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Public Relation Ponpes Al-Idrisiyah, Sandra Yusuf menyatakan, tak ada pemaksaan penggunaan cadar di lingkungan Ponpes Al-Idrisiyah. Semua santriwati murni mengenakan cadar atas kesadaran sendiri setelah memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi cadar.
Ia menyebut paskibra bercadar sebagai bukti bahwa cadar tak menghalangi aktivitas perempuan. “Santriwati tidak dipaksa pakai cadar tapi dari kesadaran sendiri, ketika sudah siap silahkan pakai. Cadar juga tidak menghambat aktivitas, termasuk di kegiatan ekskul,” tuturnya
Sumber : Republika
by Danu Wijaya danuw | Aug 21, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Belasan anak dengan tekun menirukan bacaan Al Quran. Suara dari mulut-mulut mungil mereka terdengar hingga ke luar mushola. Sesekali, mereka terhenti seraya mengeja huruf dibimbing Zulbakri.
“Abi, ini seperti apa bunyinya,” salah satu anak bertanya. Zulbakri pun dengan sabar menjelaskan dan memberi contoh.
Panggilan abi yang ditujukan pada Zulbakri memperlihatkan kedekatan di antara anak-anak dengan anggota TNI ini. Abi berasal dari bahasa Arab untuk memanggil seseorang yang dianggap seperti bapak atau ayah.
Di sela tugas berat menjaga perbatasan negara, para tentara berbaur dengan masyarakat. Ada yang ikut membangun infrastruktur desa, membantu kegiatan di sekolah, sampai melatih karate dan mengajar ngaji anak-anak setempat. Zulbakri adalah salah satu yang dipercaya untuk mengajar ngaji.
“Dari Batalyon sebelumnya, mereka melihat kondisi di perbatasan ini kurang tenaga guru ngaji. Kalaupun ada tempat mengaji itu bayar. Orangtua murid merasa berat. Batalyon itulah yang pertamakali merintis ada belajar ngaji di sini,” runut anggota TNI berpangkat Praka ini.
Seiring pergantian Batalyon, tugas mengajar ngaji diteruskan ke Batalyon yang bertugas selanjutnya. Jumlah anak yang datang ke mushola di Pos Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) di Entikong, Kalimantan Barat ini juga terus bertambah.
“Awalnya hanya ada tiga anak yang datang mengaji. Sekarang muridnya sudah 30 orang lebih. Ada dua kelas, Iqra dan Al Quran. Mengajinya setiap sore, jam 3 sampai ashar untuk Iqro, dilanjutkan Al Quran sampai jam 5,” paparnya.
Seperti anggota TNI lain yang melakukan berbagai kegiatan sosial, Zulbakri tidak meminta bayaran atas apa yang dia kerjakan di luar pengabdiannya kepada negara.
“Tidak berbayar sama sekali. Ada orangtua yang mau bayar, selalu kami tolak. Kalaupun memaksa bayar, akhirnya kami gunakan untuk pemeliharaan mushola seperti beli kain pel, sapu atau alat kebersihan lainnya,” cerita pria asal Padang, Sumatera Barat tersebut.
Sebagai prajurit, Zulbakri memang sudah siap ditugaskan di mana saja dengan segala risikonya. Namun kesempatan bertugas di Entikong benar-benar disyukurinya.
Menurutnya, perbatasan ini lebih aman dibandingkan Pos Satgas Pamtas lain yang pernah didatanginya. Zulbakri sebelumnya pernah bertugas di Ambon.
“Misalnya di Ambon atau Papua dulu itu masih ada kerusuhan dan gerakan-gerakan separatis. Tingkat kecelakaannya tinggi, seperti ada pembacokan dan sebagainya. Di sini Alhamdulillah tidak ada. Kami pun lebih dekat dengan masyarakat,” kisahnya.
Jauh dari keluarga dan berpindah-pindah wilayah tugas menjadi hal biasa bagi anggota TNI.
Sembilan bulan telah berlalu. Tugas menjaga perbatasan Indonesia-Malaysia berakhir dan digantikan dengan Batalyon lain. Zulbakri mengabarkan bahwa Batalyonnya bersiap kembali ke Padang.
Selama bertugas di Entikong, banyak pengalaman dirasakan Zulbakri. Hal paling berkesan baginya tentu murid-murid mengajinya. Penembak senapan semi otomatis ini mengaku berat berpamitan dengan mereka.
“Pada nangis apalagi yang kecil-kecil itu, gak boleh pulang katanya. Kita pun sedih juga ninggalinnya. Tapi ya bagaimana, namanya tugas,” Zulbakri tertawa bercampur haru.
Di sisi lain, dia tak sabar untuk bisa bertemu lagi dengan istri dan anaknya. Apalagi ini akan menjadi pertama kalinya dia melihat dan menimang langsung si kecil.
Soal anak-anak didiknya, Zulbakri tak khawatir meninggalkan mereka. Pasalnya, tugas mengajar ngaji sudah didelegasikan kepada Satgas penggantinya dari Batalyon Infanteri 642/Kapuas Kalimantan Barat.
“Saya pesan ke anak-anak, rajin-rajin belajar, tetap semangat sampai tercapai cita-cita yang diimpikan,” kenangnya.
Dia akan selalu mengingat momen ketika anak-anak itu mengerubutinya saat jam istirahat, saling berebut ingin duduk dekat sosok yang mereka panggil abi, dan mendengarkan cerita-cerita mereka yang penuh semangat.
“Yang kecil-kecil itu suka ngumpul di dekat saya. Ada saja yang diceritakan. Sampai saya suka bingung cerita mana yang mau didengar. Itu yang bakal bikin kangen,” tutupnya seraya tersenyum.
Sumber : Detik
by Danu Wijaya danuw | Aug 20, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Kementerian Agama akan kembali mengambil tindakan terhadap biro perjalanan umrah yang melakukan pelanggaran. Tindakan itu berupa pencabutan izin.
Sebelumnya, pada 1 Agustus 2017, Kemenag telah mencabut izin penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel.
“Ada beberapa yang sedang kami telusuri, lalu kami akan menentukan sikap terhadap travel itu,” kata Lukman, di Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (18/8/2017).
Kementerian Agama tengah melakukan kajian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang diduga dilakukan oleh biro perjalanan umrah tersebut.
“Selalu kami lakukan kajian. Kan sudah ada beberapa izin biro travel perjalanan yang dicabut. Kenapa First Travel ini besar? Ya karena korbannya sangat besar,” kata Lukman.
“Sebelumnya ada biro-biro travel umrah juga yang dicabut izinnya. Tapi tidak bergejolak di masyarakat karena korbannya itu tidak sebesar First Travel. First Travel ini kan besar sekali dan masif,” tambah dia.
Baca: Tolong Pak, Kalau Bisa Pertemukan Kami dengan Pemilik First Travel
Lukman mengatakan, pengawasan yang dilakukan Kementerian Agama hanya sebatas pada standar minimal pelayanan kepada jemaah yang harus dipenuhi biro perjalanan.
Standar minimal itu, misalnya, terkait hotel, katering, pesawat udara, dan sistem manasik umrah.
“Nah di situlah pemerintah melihat apakah standar minimal pelayanan itu diberikan atau tidak. Kalau tidak terpenuhi maka pemerintah akan memberikan sanksi,” kata Lukman.
Pemerintah, kata Lukman, tidak sampai pada audit penggunaan dana biro perjalanan umrah.
“Itu bukan lagi kewenangan Kemenag. Ibarat pemerintah daerah berikan izin untuk warteg. Kan Pemda yang berikan izin tidak sampai menelusuri dana yang diputar oleh si pemilik warteg itu untuk apa saja,” kata dia.
“Lalu kemudian kalau ada konsumen yang perutnya sakit lantaran mengonsumsi makanan yang disediakan warteg. Kalau itu juga bukan tanggung jawab Pemda yang memberikan izin,” ujar Lukman.
Moh. Nadlir/Kompas
by Danu Wijaya danuw | Aug 17, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons berita bohong atau hoax terkait haramnya pemasangan bendera merah putih di masjid. Hoax tersebut beredar di https://muipusat.wordpress.com.
“Berita tersebut (pemasangan bendera di masjid) palsu dan fitnah,” tegas Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh melalui pesan tertulis, Rabu (16/8/2017).
Pihaknya meminta masyarakat untuk tidak menyebarkan berita tersebut karena berpotensi merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asrorun menyatakan, sikap MUI terkait kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang hubungan agama dan negara, semua sudah tertuang dalam produk fatwa dan kebijakan MUI.
Ia juga meminta masyarakat mewaspadai upaya adu domba, saling menghina dan saling fitnah yang ujungnya pihak tersebut ingin Indonesia jadi negara yang tidak aman.
“Kita minta Kominfo menutup dan mencegah meluasnya hoax tersebut. Kita koordinasi dengan Kominfo dan sudah terdeteksi akun pembuatnya,” jelas Asrorun.
MUI meminta pula penegak hukum mencari dan menindak tegas penyebar hoax tersebut.
Sebelumnya beredar tulisan yang soal fatwa haram MUI tentang pemasangan bendera di masjid dalam sebuah situs di Internet. Dalam tulisan terpampang foto sejumlah pengurus MUI.
Sumber : Liputan6