0878 8077 4762 [email protected]

Rasulullah Bertemu Beberapa Nabi di Setiap Langit dalam Isra' Mi'raj

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al Israa’ 1)
Isra Mi’raj adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam hadits yang shahih dengan berbagai riwayat.
Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra’ wal Mi’raj menyebutkan 16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini.
Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya,  dari sahabat Anas bin Malik :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhubahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh pandangannya).
Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi.
Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar .
Kemudian datang kepadaku Jibril  ‘alaihis salaam dengan membawa bejana berisi  khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.
Di Langit Pertama : Adam as
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab:“Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Nabi Adam As.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Di Langit Kedua : Isa as dan Yahya as
Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam  meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab: “Jibril”.
Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab:“Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa.
Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Di Langit Ketiga : Yusuf as
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab:“Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan (wajah).
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Di Langit Keempat : Idris as
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab: “Muhammad”
Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab: “Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit keempat) dan saya bertemu dengan Idris alaihis salaam.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Di Langit Kelima : Harun as
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab:“Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan  Harun ‘alaihis salaam.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Di Langit Keenam : Musa as
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab: “Muhammad”
Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab:“Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Di Langit Ketujuh : Ibrahim as
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketujuh dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”
Dia menjawab: “Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab, “Muhammad”
Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?”
Dia menjawab, “Dia telah diutus”.
Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim as.
Beliau sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’mur 70.000 malaikat yang tidak kembali lagi.
Kemudian Ibrahim as pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha.
Di Sidratul Muntaha : Allah swt dan Perintah Shalat
Di Sidratul Muntaha ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar.
Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah. Sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam.
Dialog dengan Nabi Musa as untuk Kemudahan Shalat
Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam.
Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”.
Saya menjawab: “50 shalat”.
Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Israil”.
Rasulullah bersabda : “Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”.
Maka dikurangi dariku 5 shalat  (menjadi 45 rakaat)
Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata : “Allah mengurangi untukku 5 shalat”  (menjadi 40 rakaat).
Dia berkata : “Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”.
Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan
Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam. Setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat.”
Kemudian saya turun, sampai saya bertemu dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya.
Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”.
Maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini.
Terdapat pula tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.

Berkah Pemimpin Sholeh

Abdurrahman An-Nashir, adalah salah satu sosok Pemimpin yang dikenal sholeh, alim dan adil di masa kejayaan Andalusia. Dengan kepemimpinannya atas izin Allah SWT, ia membawa Andalusia ke puncak kemakmuran dan kesejahteraannya, sehingga tak sedikit bangsa Eropa yang datang dan belajar kesana.
Dalam masa kepemimpinannya, ia juga mengangkat sosok-sosok yang shalih untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, semisal Munzir ibn Said Al-Baluthi yang diangkat menjadi qadhi kota Andalusia.
Kesholehan seorang pemimpin menjadi berkah tersendiri bagi negri ndan rakyat yang dipimpinnya. Ini terlihat saat suatu ketika wilayah Andalusia mengalami kekeringan akibat hujan yang tak kunjung tiba. Tanah-tanahnya mulai retak, para petani harus menggantung cangkulnya karena tak ada air untuk mengairi sawah dan kebun mereka. Ditengah kemarau yang panjang itu, sang Khalifah berupaya untuk mencari solusi.
Ia memerintahkan rakyatnya untuk melaksanakan shalat Itisqa guna memohon turunnya hujan. Sang Khalifah menunjuk Munzir ibn Said Al-Baluthi untuk menjadi imam dan khatib.
Di hari yang disepakati, rakyat mulai hadir dan memadati dilapangan tampat pelaksanaan shalat isitisqa, namun prosesi shalat belum juga dimulai karena sang khalifah yang ditunggu belum hadir. Salah seorang warga diutus oleh Munzir ibn Said Al-Baluthi menemui Khalifah untuk menyatakan bahwa rakyat telah berkumpul dan siap melaksanakan shalat istisqa.
Tak lama kemudian Ia kembali dan menyampaikan kepada qadhi Munzir ibn Said Al-Baluthi, “Aku melihat Khalifah sedang dalam keadaan sujud yang sangat lama. Belum pernah aku melihat Khalifah berdoa kepada Allah sekhusyu itu”.
Qadhi Munzir ibn Said Al-Baluthi yang sangat mengenal karakter dan kepribadian sang khalifah memerintah salah seorang jamaah untuk mengambilkan payung.
Ia pun berkata dengan penuh keyakinan, “Demi Allah hujan akan segera tiba, kalau pemimpin di muka bumi ini khusyu hatinya, tunduk pada Allah, bukan orang yang angkuh dalam syariat ini, maka pasti Sang penguasa hujan (Allah Swt.) akan menurunkan rahmatNya”.
Tak berselang lama hujanpun turun membasahi tanah Andalusia.
Kita meyakini, dalam membangun sebuah negeri yang makmur dan berkeadilan, tak hanya dibutuhkan seorang pemimpin yang alim dan shalih, tetapi juga dibutuhkan sosok-sosok rakyat yang shalih, dan ringan tangan dalam mengawal kepemimpinan sang khalifah.
Sosok yang tegas diatas kebenaran dan tidak mau mempermainkan syariat. Sejarah mencatat bahwa sosok seperti qadhi Munzir ibn Said Al-Baluthi pernah menyampaikan nasehat dengan tegas sehingga membuat khalifah tersinggung. Namun bagi sang qadhi, ini bukan menjadi persoalan karena Ia berbicara atas dasar al haq.
 
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=5d2hYSfIH-I

Kisah Masjid Dhirar, yang Dibangun Nasrani dan Munafik di Hancurkan Rasulullah

Ibnu Katsir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Urwah, Qatadah, dan lainnya bahwa di Madinah ada seorang pendeta yang bernama Abu Amir dari Khazraj. Dia adalah seorang pemeluk nasrani yang memilki posisi penting di kalangan kaum Khazraj.
Ketika Rasulullah SAW masuk ke Madinah, menghimpun kekuatan islam dan membangun peradaban kaum muslimin disana, pendeta Abu Amir merasa tidak suka dengan keberadaan Rasulullah SAW dan menunjukkan bibit permusuhan. Kemudian dia pergi ke Mekkah untuk mengumpulkan dukungan kaum Kafir Quraisy untuk melawan Rasulullah SAW.
Melihat Dakwah rasulullah yang sudah menyebar luas, semakin kuat dan maju, diapun pergi mencari dukungan kepada Raja Romawi, Heraclius. Heraclius menyambut baik kedatangan pendeta Abu Amir dan menjanjikan apa yang diinginkannya. Pendeta Abu Amir pun tinggal di Negeri Heraclius sembari mengendalikan kaum munafik di Madinah
Pendeta Abu Amir mengirim sebuah surat kepada kaum munafik Madinah. Ia mengabarkan bahwa Heraclius akan memberi apa yang mereka inginkan. Pendeta Abu Amir memerintahkan kaum munafik untuk membuat markas tempat mereka berkumpul untuk merencanakan aksi-aksi jahat mereka kepada kaum muslimin.
Kaum Munafik kemudian membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Dhirar. Masjid tersebut dibangun di dekat masjid Quba’.
Ketika masjid Dhirar telah berdiri, kaum munafik menemui Rasulullah SAW dan meminta beliau untuk Shalat di masjid Dhirar sebagai tanda persetujuan Rasul atas berdirinya masjid tersebut. Mereka berdalih masjid ini didirikan untuk orang-orang yang tidak dapat keluar saat malam sangat dingin.
Pada waktu itu Rasul hendak berangkat ke Tabuk, dan beliau mengatakan kepada kaum munafik, “Kami sekarang mau berangkat, Insya Allah nanti setelah pulang”. Allah swt melindungi Rasul untuk tidak shalat di masjid tersebut.
Beberapa hari sebelum Rasulullah SAW tiba di Madinah, Jibril turun membawa berita tentang masjid Dhirar yang sengaja dibuat untuk memecah belah kaum muslimin.
Rasulullah SAW kemudian mengutus Sahabat untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum Rasul tiba di Madinah.
Berkenaan dengan Masjid ini turunlah Firman Allah SWT : “Dan (diantara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), dan karena kekafirannya, dan untuk memecah belah orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu.
Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan. ‘Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba’) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-taubah : 107-108)
Dari kisah diatas bisa kita simpulkan bahwa Kaum Munafik telah melakukan perbuatan konspirasi kejahatan untuk memerangi dan memecah belah Rasulullah SAW dan kaum muslimin.
Karena itu Rasulullah SAW tidak membiarkan tindakan ini, dan langsung mengambil tindakan tegas dan keras.
Dalam menyikapi makar jahat dan konspirasi kaum munafik yang membahayakan kaum muslimin, kita sebagai umat Islam harus tegas tanpa kompromi dalam menghancurkan setiap perangkat jahat dan tipu daya yang mereka bangun.
Orang-orang munafik senantiasa bersujud di telapak kaki penjajah asing, orang-orang kafir, untuk membantu mereka memerangi umat muslim. Tetapi, ketika bertemu kaum muslimin, mereka bersikap seperti saudara, yang sama-sama mengagungkan agama islam. Namun bila ada kesempatan, mereka akan menusuk kaum muslimin dari belakang.
Selain itu, tindakan Rasulullah SAW terhadap masjid Dhirar menunjukkan perlunya menghancurkan tempat-tempat kemaksiatan, tempat yang tidak diridhai Allah SWT, tempat yang dapat membahayakan kehidupan dan kemashalahatan umat islam, sekalipun tempat tersebut disembunyikan dan disampuli dengan berbagai kebaikan sosial.
 
Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, karya Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

Syuraih, Hakim Adil yang Berani Menetapkan Khalifah Umar "Bersalah"

Siapa yang sangka dibalik sikap tegas dalam memimpin umat Islam, Khalifah Umar bin Al-Kathab ra yang berwatak keras, tertegun melihat keputusan seorang qadhi (hakim) dari kalangan thabi’in yang bernama Syuraih.
Kisah klasik itu bermula ketika Umar tengah melakukan perjalanan ke beberapa dusun di wilayah Madinah. Dalam perjalanan syiar agamanya itu, Umar tertarik dengan seekor kuda yang tengah di pajang di salah satu sudut dusun di Madinah.
Melihat cocok dengan penampakan luar kuda itu, Umar tertarik untuk memilikinya. Usai kesepakatan dengan si penjual, Umar langsung menunggangi kuda itu seraya menuju pulang ke rumahnya yang juga berada di wilayah Madinah.
Namun berjalan belum jauh dengan kuda itu, tiba-tiba kuda itu menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan.
Merasa tertipu, Umar pun membawanya kembali kepada penjual kuda tersebut. Dengan maksud menukar dengan kuda yang baru.
“Aku kembalikan kudamu ini karena dia cacat,” kata Umar kepada si penjual kuda.
Merasa tak ada yang salah dalam barang dagangannya, si penjual itu kekeuh tak mau menukar kudanya yang telah di jual ke Umar.
“Tidak wahai Amirul Mukminin, tadi aku menjualnya dalam keadaan baik,” jawab si penjual kuda.
“Baiklah, kalau begitu kita cari orang yang akan memutuskan permasalahan ini,” ucap Umar.
“Aku setuju, aku ingin Syuraih bin Al Harits al Kindi menjadi qadhi bagi kita berdua,” ujar si penjual kuda menimpali tantangan Umar.
Sudah kepalang tanggung dengan ucapannya, Umar pun mengajak si penjual kuda menemui qadhi (hakim) yang bernama Syuraih.
Dalam pertemuan yang dilakukan di rumah Syuraih, Umar lebih dulu menjelaskan duduk persoalannya.
Kepada Syuraih, Umar menuturkan kekecewaannya lantaran merasa tertipu dengan warga dusun itu.
Giliran si penjual kuda yang menuturkan kejadian salah paham itu. Namun dalam pertemuan ini, keduanya tidak menemui titik terang.
Umar merasa dirinya berhak mengembalikan kuda itu. Sementara penjual kuda itu merasa tak ada yang salah dengan kuda yang dijualnya.
Merasa menghormati Umar sebagai khalifah tetapi demi melihat kondisi untuk menemukan solusi, Syuraih bertanya kepada Khalifah Umar Bin Khattab.
“Wahai amirul Mukminin, apakah engkau mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?” tanya Syuraih kepada Umar.
“Benar,” jawab Umar.
“Ambillah yang telah engkau beli, wahai Amirul Mukminin atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan seperti tatkala engkau membelinya,” terang Syuraih.
Melihat pendapat Syuraih itu Umar terdiam. Umar tak menyangka bakal mendapat keputusan seperti itu. Meski sempat tidak puas dalam hatinya, Umar tetap menerima putusan itu bahwa pendapatnya salah.
“Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat dan hukum yang adil. Berangkatlah ke Kufah Irak, karena aku mengangkatmu menjadi Qadhi (hakim) di sana,” kata Umar kepada Syuraih.
Sejak itulah Syuraih menjadi hakim di Kuffah, Irak. Bagi masyarakat Madinah sosok Syuraih dikenal dengan kecerdasannya.
Ketika menjadi hakim di Irak, dia dikenal dengan keputusannya yang selalu bersikap netral dan terkenal bersih dalam upaya sogokan.

Mengapa tak Satu Pun Penguasa Ottoman Pergi Haji?

Sebagian dari kita mungkin asing dengan kata Ottoman. Bahkan mungkin tidak tahu sama sekali mengenai kerajaan ataupun penguasa Ottoman. Kerajaan Ottoman muncul setelah hancurnya Bani Abbasiyah pada tahun 1258 oleh Hulagu Khan. Kerajaan-kerajaan Islam pada saat itu pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tidak bisa disatukan. Sampai pada akhirnya bangkitlah Kerajaan Ottoman yang mampu mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam dan mampu memperluas kerajaannya sampai ke Eropa dan Asia Kecil.
Sejarah juga mencatat patriotisme, kegigihan, dan komitmen para sultan Ottoman terhadap tegak dan majunya peradaban Islam. Namun, di tengah-tengah kebesaran Ottoman, ada satu fakta menarik yang belakangan menjadi bahan cibiran kalangan orientalis.
Para orientalis menganggap jika para sultan tersebut memiliki komitmen besar terhadap Islam. Tapi anehnya, mengapa tak satupun dari mereka yang menunaikan haji ke tanah suci?
Anggapan bahwa tak seorangpun Sultan Ottoman berhaji memang benar adanya. Belum ada satu referensi kuat yang membuktikan mereka sudah berhaji. Pembahasan ini pun menggerakkan sejumlah sejarawan Turki meneliti kembali apa faktor di balik belum berhajinya para sultan Ottoman?
Di antaranya adalah Prof Muhammad Maqsud Ouglu. Dalam artikel yang diterbitkan situs beyaztarikh.com, dia mengatakan alasan belum hajinya satu pun pemimpin Ottoman karena murni faktor istitha’ah atau kemampuan. Kewajiban berhaji terletak pada faktor ini.
Soal biaya dan kemampuan fisik, tak perlu dipertanyakan. Namun, faktornya adalah waktu dan faktor keamanan. Jangan bayangkan pergi berhaji pada masa itu seperti sekarang. Butuh waktu berbulan-bulan dan kondisinya tak cukup aman.
Negara-negara yang menjadi rute perjalanan haji pada 1517 tengah berkecamuk perang. Portugal dan Spanyol menjadi ancaman yang mengintai negara-negara itu.
Dua negara kuat tersebut ketika itu mencari kesempatan kapanpun Istanbul ditinggalkan oleh pemimpinnya. Jika tetap ditinggalkan untuk berhaji tentu ini akan sangat berbahaya bagi stabilitas dan keamanan negara.
Kendati demikian, persoalan ini tetap manjadi perhatian serius para sultan. Mereka mengirimkan wakil-wakil untuk menjadi badal haji. Ini dengan rujukan fatwa para ulama Ottoman yang membolehkan badal haji bagi orang hidup karena satu dan lain hal.
 
Sumber: Republika

Saat Nabi Pergi

Sakit Rasulullah saw semakin hari semakin keras. Ini detik-detik kritis. Aisyah merebahkan tubuh orang mulia ini kepangkuannya. Ini momen yang sangat penting bagi Aisyah. Ia dapat merawat sendiri Rasulullah saw di rumahnya.
Abdurrahman bin Abu Bakar, kakak Aisyah adalah sahabat lain yang diperkenankan merawat Rasulullah saw. Ia masuk ke dalam sambil memegang siwak.
Melihat itu, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “apakah aku boleh mengambil siwak itu untuk engkau?” Hal ini Aisyah tanyakan kepada Rasulullah saw karena Rasulullah saw sangat suka bersiwak.
Rasulullah saw mengiyakan dengan isyarat kepala. Aisyah pun menggosokan siwak itu ke gigi beliau. Rupanya karena terlalu keras, Aisyah segera menggosokan dengan pelan-pelan sekali. Di dekat tangan Rasulullah saw ada bejana berisi air.
Beliau mencelupkan kedua tangannya lalu mengusap wajahnya. Mulutnya begumam, “ Tiada Ilah selain Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya.”
Usai bersiwak, beliau mengangkat tangan dan mengacungkan jari, mengarahkan pandangan ke langit-langit rumah. Kedua bibirnya bergerak-gerak.
“Bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka dari nabi, shidiqqin, syuhada dan shalihin. Ya Allah ampunilah dosaku dan rahmatilah aku. Pertemukanlah aku dengan kekasih yang Maha Tinggi ya Allah, kekasih yang Maha Tinggi.”
Kalimat ini diulang-ulang hingga tiga kali disusul dengan tangan Rasulullah saw yang melemah. Beliau wafat. Suasana hening. Saat itu waktu Dhuha, udara sudah terasa panas, senin 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Rasulullah saw wafat dalam usia 63 tahun lebih empat hari.
Kabar duka itu segera tersebar. Seluruh pelosok Madinah berubah muram. Walau sudah diduga, tetapi kepergian Rasulullah saw nyata membuat kaum Muslimin terpukul.
Anas menggambarkan, “Aku tidak pernah melihat suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain ketika hari saat Rasulullah saw masuk ke tempat kami. Dan tidak kulihat hari yang lebih buruk dan muram selain ketika Rasulullah saw meninggal dunia.”
Berita itu jelas sampai ke semua orang. Termasuk kepada Umar bin Khatab. Mendengar itu, Umar hanya berdiri mematung. Seperti tidak sadar, dia berkata,
“Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah saw akan meninggal dunia. Rasulullah saw sekali-kali tidak akan meninggal dunia, tetapi pergi kehadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya selama empat puluh hari , lalu kembali lagi kepada mereka setelah beliau dianggap meninggal dunia. Demi Allah, Rasulullah saw akan kembali. Maka tangan dan akal orang-orang yang beranggapan bahwa beliau meninggal dunia, hendaknya dipotong.”
Abu Bakar pun tidak kalah terpukulnya. Setelah mendengar kabar itu, dari tempat tinggalnya di dataran tinggi Mekkah, Abu Bakar memacu kuda, lalu turun dan masuk mesjid tanpa berbicara dengan siapapun.
Dia segera menemui Aisyah, lalu mendekati jasad Rasulullah saw yang diselubungi kain itu lalu menutupnya kembali. Ia memeluk jasad Rasulullah saw sambil menangis.
Dari mulutnya terdengar, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada diri engkau. Kalau memang kematian ini sudah ditetapkan atas engkau, berarti memang engkau sudah meninggal dunia.”
Kemudian Abu Bakar keluar rumah dengan masih sambil tersedu. Saat itu Umar sedang berbicara di hadapan orang-orang. Abu Bakar berkata, “Duduklah, wahai Umar!”
Umar tidak mau duduk. Orang-orang beralih kehadapan Abu Bakar dan meninggalkan Umar.
Abu Bakar berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Tapi barangsiapa diantara kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak meninggal.
Allah berfirman, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kalian berbalik kebelakang-murtad? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’.”
Seusai mendengar ayat ini, semua langsung terdiam. Seakan-akan mereka tidak tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat ini. Semuanya kemudian menghayati ayat ini. Tidak seorangpun dari mereka yang mendengarnya melainkan membacanya.
 
Sumber: Peri Hidup Rasul & Para Sahabat, Kisah-kisah yang Menggetarkan Hati/Saad Saefullah/SPU Purwakarta