by Danu Wijaya danuw | Dec 28, 2017 | Artikel, Dakwah
SEBAGAI seorang muslim, tentu kita pernah mendapati banyak riwayat hadits yang menyebutkan bahwa jika kita membunuh cicak, maka bernilai pahala. Benarkah?
Cicak termasuk hewan fasik. Siapa yang membunuh cicak ternyata bisa raih pahala. Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk dibunuh adalah cicak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik” (HR. Muslim, no. 2238). Imam An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim dengan judul Bab “Dianjurkannya membunuh cicak.”
Dari Ummu Syarik –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata,
عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau bersabda, “Dahulu cicak ikut membantu meniup api (untuk membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.” (HR. Bukhari, no. 3359)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
“Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.” (HR. Muslim, no. 2240)
Kata Imam Nawawi, dalam satu riwayat disebutkan bahwa membunuh cicak akan mendapatkan 100 kebaikan. Dalam riwayat lain disebutkan 70 kebaikan.
Kesimpulan dari Imam Nawawi, semakin besar kebaikan atau pahala dilihat dari niat dan keikhlasan, juga dilihat dari makin sempurna atau kurang keadaannya.
Seratus kebaikan yang disebut adalah jika sempurna, 70 jika niatannya untuk selain Allah. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 14: 210-211).
Sumber : Hijaz[dot]
by Danu Wijaya danuw | Dec 27, 2017 | Artikel, Dakwah
Oleh: Dr. Amir Faishol Fath, MA (Doktor S-3 Tafsir Al Quran, International Islamic University, Pakistan)
Piknik itu jalan-jalan, tamasya, rihlah, biar tahu dunia luar
Piknik kitab? Ya, mirip-mirip gitu juga, yaitu banyak baca referensi, biar tahu dunia luar dan jangan seperi hidup di rumah cermin, semuanya hanya ada dirinya.
Banyak piknik kitab akan membuat seseorang, apalagi bagi para ustadz dan penuntut ilmu, menjadi lapang sudut pandang dan lapang dada.
Biasanya yang jarang piknik merasakan dunia itu sempit, kebenaran itu sempit, hanya pada apa yang dipahaminya saja.
Masalah dzikir dengan biji tasbih, dia kira bid’ah adalah satu-satunya pendapat, padahal faktanya jumhur ulama membolehkan bahkan memandang baik.
Masalah qunut subuh, dia kira bid’ah adalah satu-satunya pendapat, padahal Imam Syafi’i dan Imam Malik mengatakan sunnah, Imam Sufyan Ats Tsauri memandang baik adanya qunut atau tidak.
Masalah berdoa setelah shalat wajib, dia kira itu tidak ada, yang ada adalah hanya dzikir saja. Padahal jumhur fuqaha mengatakan berdoa setelah shalat wajib itu sunnah.
Masalah sisipan diksi “sayyidina” dalam bershalawat, dia kira satu-satunya pendapat adalah itu bid’ah. Padahal faktanya ulama 4 madzhab bertaburan dalam kitab-kitab mereka menggunakan kata “Sayyidina Muhammad”. Bahkan Ibnu Taimiyah menulis Sayyidina Yunus, dan sebagainya. Ada pun dalam sayyidina dalam tasyahud, juga khilaf di antara ulama fiqh.
Masalah ritual nishfu Sya’ban, dia kira satu-satunya pendapat adalah bid’ah. Faktanya sejak zaman ulama generasi tabi’in mereka khilafiyah. Ada yang melakukannya seperti Khalid bin Ma’dan, Ma’khul, juga atba’ut tabi’in, seperti Ishaq bin Rahawaiyh yang menyebutnya bukan bid’ah.
Masalah sampaikah pahala bacaan Al Quran buat mayit, dia kira satu-satunya pendapat di dunia adalah tidak sampai. Padahal Imam Ahlus Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa pahalanya sampai. Begitu pula menurut Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim dan banyak ulama lainnya.
Masalah talqin dikubur, dia kira satu-satunya pendapat adalah itu bid’ah. Padahal itu dilakukan oleh sahabat nabi Abu Umamah Al Bahili. Ini dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah, dan juga pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Masalah demonstrasi mengkritik pemerintah, dia kira satu-satunya pendapat adalah itu haram. Bahkan sampai menudingnya sama dengan bughat (pemberontakan) dan khawarij. Padahal para kibarul ulama dunia dan para Faqihul Islam hari ini membolehkannya seperti Syaikh DR. Wahbah Az Zuhaili, Syaikh DR. Abdullah Al Faqih, Syaikh DR. Yusuf Al Qaradhawi, dan lainnya.
Masalah menasihati pemimpin dengan terang-terangan, dia kira satu-satunya pendapat adalah haram, bahkan juga menyamakannya dengan khawarij dan menuduh pelakunya dengan anjing-anjing neraka. Padahal Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Abdullah Al Qu’ud dari Dewan Fatwa Al Haramain Kerajaan Saudi Arabia membolehkannya, tergantung situasi dan pertimbangan maslahat madharatnya.
Dan masih banyak lainnya.
Pandangan yang berbeda ini masing-masing punya hujjah yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak. Jadi, para ustadz dan penuntut ilmu mestilah piknik kepada kedua belah pihak, agar bisa tahu alasan masing-masing.
Terlepas Anda nantinya ikut yang mana itu adalah masalah lain. Tapi dengan mengetahui adanya perbedaan dalam banyak hal, maka Anda tidak lagi memandang saudara lain dengan mata kebencian dan permusuhan, tapi dengan mata hormat, lapang dada dan persaudaraan.
Selamat piknik. Mari ber-‘tamasya kitab’.
Jangan di rumah saja. Atau satu majelis saja. Apalagi, tempat tersebut hanya berisi cermin saja.
#AMI
#SelamatkanDuniaIslam
#LintasanPikiran
by Danu Wijaya danuw | Nov 27, 2017 | Artikel, Dakwah, Qur'anic Corner
TAHUKAH Anda surat Al Ikhlas itu senilai sepertiga al Qur’an? Hal ini sebagaimana dalam keterangan dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
“Di suatu malam, ada seorang sahabat yang mendengar temannya membaca surat al-Ikhlas dan diulang-ulang. Pagi harinya, sahabat ini melaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan nada sedikit meremehkan amalnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, surat al-Ikhlas itu senilai sepertiga al-Quran.” (HR. Bukhari 5013 dan Ahmad 11612).
Dalam hadis lain, dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Sanggupkah kalian membaca sepertiga al-Quran dalam semalam?”
Mereka bertanya, “Bagaimana caranya kita membaca 1/3 al-Quran?Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Qul huwallahu ahad senilai sepertiga al-Quran.” (HR. Muslim 1922).
Lantas, mengapa membaca surat Al Ikhlas ini sama dengan membaca sepertiga al qur’an?
Dalam al-Quran, ada 3 pembahasan pokok:
- Hukum, seperti ayat perintah, larangan, halal, haram, dan sebagainya.
- Janji dan ancaman, seperti ayat yang mengupas tentang surga, neraka, balasan, termasuk kisah orang soleh dan kebahagiaan yang mereka dapatkan dan kisah orang jahat, berikut kesengsaraan yang mereka dapatkan.
- Berita tentang Allah, yaitu semua penjelasan mengenai nama dan sifat Allah.
Karena surat al-Ikhlas murni membahas masalah tauhid, bercerita tentang siapakah Allah Ta’ala, maka kandungan makna surat ini menyapu sepertiga bagian dari al-Quran.
Kita simak keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar, Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Senilai sepertiga al-Quran” dipahami sebagian ulama sesuai makna dzahirnya. Mereka menyatakan, bahwa surat al-Ikhlas senilai sepertiga dilihat dari kandungan makna al-Quran. Karena isi Quran adalah hukum, berita, dan tauhid. Sementara surat al-Ikhlas mencakup pembahasan tauhid, sehingga dinilai sepertiga berdasarkan tinjauan ini.” (Fathul Bari, 9/61)
Penjelasan kedua, bahwa isi quran secara umum bisa kita bagi menjadi 2:
- Kalimat Insya’ (non-berita): berisi perintah, larangan, halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya.
- Kalimat khabar (berita): dan berita dalam al-Quran ada 2:
a) Berita tentang makhluk: kisah orang masa silam, baik orang soleh maupun orang jahat.
b) Berita tentang khaliq: penjelasan tentang siapakah Allah, berikut semua nama dan sifat-Nya.
Mengingat surat al-Ikhlas hanya berisi berita tentang Allah, maka surat ini menyapu sepertiga makna al-Quran.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Surat al-Ikhlas senilai 1/3 al-Quran, karena isi al-Quran ada 2: khabar dan Insya’. Untuk Insya’ mencakup perintah, larangan, dan perkaran mubah. Sementara khabar, di sana ada khabar tentang kkhaliq dan khabar tentang ciptaan-Nya. Dan surat al-Ikhlas hanya murni membahas khabar tentang Allah.”(Fathul Bari, 9/61)
Pahalanya Senilai Membaca sepertiga al-Quran
Allah dengan rahmat dan kasih sayang-Nya memberikan pahala ibadah kepada hamba-Nya dengan nilai yang beraneka ragam. Ada ibadah yang diberi nilai besar dan ada yang dinilai kecil. Sesuai dengan hikmah Allah. sehingga, umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang usianya relatif pendek, bisa mendapatkan pahala besar tanpa harus melakukan amal yang sangat banyak.
Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi oleh Allah lailatul qadar, yang nilainya lebih baik dari pada 1000 bulan. Ada juga masjidil haram, siapa yang shalat di sana dinilai 100.000 kali shalat. Kemudian surat al-Ikhlas, siapa membacanya sekali, dinilai mendapatkan pahala membaca 1/3 al-Quran. Dan Allah Maha Kaya untuk memberikan balasan apapun kepada hamba-Nya sesuai yang Dia kehendaki.
Senilai dalam Pahala bukan Senilai dalam Amal
Kami ingatkan agar kita membedakan antara al-Jaza’ dengan al-ijza’.
Al-jaza’ (الجزاء) artinya senilai dalam pahala yang dijanjikan
Al-Ijza’ (الإجزاء) artinya senilai dalam amal yang digantikan.
Membaca surat al-Ikhlas mendapat nilai seperti membaca 1/3 al-Quran maknanya adalah senilai dalam pahala (al-Jaza’). Bukan senilai dalam amal (al-Ijza’).
Sehingga, misalnya ada orang yang bernadzar untuk membaca satu al-Quran, maka dia tidak boleh hanya membaca surat al-Ikhlas 3 kali, karena keyakinan senilai dengan satu al-Quran. Semacam ini tidak boleh. Karena dia belum dianggap membaca seluruh al-Quran, meskipun dia mendapat pahala membaca satu al-Quran.
Sebagaimana ketika ada orang yang shalat 2 rakaat shalat wajib di masjidil haram. Bukan berarti setelah itu dia boleh tidak shalat selama 50 puluh tahun karena sudah memiliki pahala 100.000 kali shalat wajib.
Benar dia mendapatkan pahala senilai 100.000 kali shalat, tapi dia belum disebut telah melaksanakan shalat wajib selama puluhan tahun itu.
Berbeda dengan amal yang memenuhi al-Ijza’, seperti jumatan, yang dia menggantikan shalat dzuhur. Sehingga orang yang shalat jumatan tidak perlu shalat dzuhur. Atau orang yang tayammum karena udzur, dia tidak perlu untuk wudhu, karena tayammum senilai dengan amalan wudhu bagi orang yang punya udzur.
Syaikhul Islam mengatakan,” Jika seseorang membaca surat al-Ikhlas, dia mendapat pahala senilai pahala sepertiga al-Quran. Namun bukan berarti pahala yang dia dapatkan sepadan dengan bentuk pahala untuk ayat-ayat Quran yang lainnya. Bahkan bisa jadi dia butuh bentuk pahala dari memahami perintah, larangan, dan kisah al-Quran. Sehingga surat al-Ikhlas tidak bisa menggantikan semua itu.” (Majmu’ al-Fatawa, 17/138).
Allahu a’lam.
Sumber : Konsultasi Syariah
by Danu Wijaya danuw | Nov 18, 2017 | Artikel, Dakwah
Pujian Selalu datang ketika melakukan sesuatu yang berarti bagi orang lain, namun apakah diperbolehkan apabila terlalu senang dengan pujian itu? jadi sikap apa yang kita harus diperbuat ketika orang lain memuji diri kita? Berikut penjelasannya:
Dalam kajian seputar raqaiq (membangun kelembutan hati), kita selalu diajarkan bahwa tidak ada pujian yang berarti selain pujian Allah. dan tidak ada celaan yang berarti, selain celaan dari Allah. karena Dia-lah Dzat yang mengetahui kondisi hamba-Nya lahir bathin.
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Jangan kalian memuji-muji diri kalian sendiri, karena Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertaqwa.” (QS. an-Najm: 32)
Karena itulah, seorang mukmin akan lebih memperhatikan kondisi bathinnya dibandingkan penilaian orang lain. Manusia hanya bisa menilai lahiriyah, sementara kondisi bathin mereka buta.
Kami tidak mengetahui adanya doa khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kita mendengar pujian orang lain. Hanya saja ada riwayat dari sahabat yang membaca doa berikut ketika dia berdoa.
Dari Adi bin Arthah –rahimahullah – (seorang ulama Tabi’in) beliau bercerita,
كان الرجل من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا زُكِّي، قال
“Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan,
اللَّهُمَّ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، واغْفِر لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ واجْعَلْنِي خَيْراً مِمَّا يَظُنُّونَ
“Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.”
Doa ini diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 761) dan sanadnya dishahihkan al-Albani. Juga al-Baihaqi dalam Syua’abul Iman (4/228).
Doa ini menunjukkan bahwa sahabat adalah manusia yang jauh dari karakter bangga dengan pujian manusia. Bahkan mereka mengakui kekurangan yang mereka miliki, yang itu tidak diketahui orang yang memuji.
Dengan ini akan menghalangi kita dari potensi ujub, Dengan ini pula kita akan lebih mudah mengakui kekurangan kita. Wallahu a’lam
by Danu Wijaya danuw | Oct 30, 2017 | Artikel, Dakwah
SALAH satu amalan yang diremehkan umat Islam ini adalah bersalaman. Perbuatan ini, hampir tidak memiliki arti penting di dalam diri seorang muslim. Apa lagi, zaman sekarang banyak muslim yang menyepelekan hal kecil ini. Padahal, jika saja kita mengetahui rahasia dibalik bersalaman, pasti kita berlomba-lomba untuk melakukannya.
Mau tahukah apa rahasia tersebut? Mari kita simak salah satu hadis Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam berikut.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((مامن مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يفترقا))
“Tidak ada dua orang yang bertemu, lalu berjabat tangan melainkan pasti diampuni untuk keduanya sebelum mereka berpisah” [1]
Subhanallah . . . Siapa coba yang membayangkan, bahwa berjabat tangan bisa menjadi salah satu sebab diampuninya dosa kita?
Tidak ada, kecuali kita wahai saudaraku. Maka dari itu, setelah kita mengetahui hadis ini, mari kita mengamalkannya. Tetapi, ingat! Jangan lupa niat kita ketika bersalaman, yaitu mengharap terampuni dosa-dosa kita.
Oleh : Isa Islami
by Danu Wijaya danuw | Oct 19, 2017 | Artikel, Dakwah
SAHABAT Nabi terkenal sebagai orang-orang yang selalu menjaga shalat berjamaah. Dengan begitu mereka berarti selalu shalat tepat di awal waktu.
Pernah pada suatu hari Sayyidina Umar bin Khattab pergi ke kebun kurma miliknya. Namun ketika pulang, ia mendapati sejumlah orang telah rampung menunaikan shalat Ashar.
Sontak mulut Sayyidina Umar berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku ketinggalan shalat berjamaah!”
Khalifah kedua ini kecewa bukan main, lantaran tak sempat menunaikan shalat jamaah bersama mereka. Sebagai pelunasan atas rasa bersalahnya ini, ia pun melontarkan sebuah pengumuman di hadapan mereka.
“Saksikanlah, mulai sekarang aku sedekahkan kebunku untuk orang-orang miskin,” ujar pemimpin berjuluk al-Faruq ini.
Umar merelakan kebun kurma lepas dari kepemilikannya, sebagai kafarat atas keterlambatannya melaksanakan shalat jamaah.
Kisah ini diriwayatkan ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma seperti tertuang dalam kitab Anîsul Mu’minîn karya Shafuk Sa’dullah al-Mukhtar.
Sebenarnya, tak ada kewajiban bagi umat Islam untuk menghibahkan kekayaan sebesar itu ‘hanya’ gara-gara telat shalat berjamaah. Namun Umar melakukan hal itu lantaran kecintaannya yang mendalam terhadap aktivitas ibadah.
Sikap Sayyidina Umar tersebut secara tersirat juga mencerminkan kezuhudan dalam dirinya. Lebih dari sekadar ketertarikan atas pahala berlipat dari sembahyang jamaah.
Keputusan ‘ekstremnya’ itu menjadi penanda bahwa hatinya tak begitu terikat dengan kemewahan harta benda.
Hibah kebun kurma kepada kaum miskin, bagi Sayyidina Umar, adalah setimpal atau bahkan terlalu kecil untuk sebuah ‘keteledoran’ yang membuatnya telat shalat jamaah. Wallahu a‘lam.