Oleh : Sayyid Sabiq
 
Pensyariatan I’tikaf
Ijma’ ulama menyebutkan bahwa i’tikaf disyariatkan dalam agama. “Nabi saw beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, sedangkan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf hingga dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Para sahabat dan para istri Rasulullah juga melakukan i’tikaf bersama Nabi, dan tetap melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. Hanya saja, walaupun i’tikaf itu merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah, tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menyatakan keutamaannya.
Abu Daud berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad ra., ‘Apakah ada keterangan tentang keutamaan i’tikaf yang engkau ketahui?’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali keterangan yang lemah.'”
Macam-Macam I’tikaf
I’tikaf itu ada dua macam, yaitu sunah dan wajib.

  • I’tikaf sunah dilakukan oleh seseorang secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala dari-Nya, dan mengikuti sunah Rasulullah saw, terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
  • Sedangkan i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang dilakukan oleh seseorang karena dia mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf, bisa disebabkan oleh nazar umum, seperti perkataannya, “Aku bernazar akan melakukan i’tikaf.” Atau dengan nazar khusus, seperti “Jika aku sembuh, aku akan i’tikaf.”

Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,
Barangsiapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya.”
Bukhari juga meriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Ya Rasulullah, aku telah bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram satu malam. Nabi saw. bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Waktu I’tikaf
I’tikaf wajib hendaknya dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinazarkan. Jika ia bernazar akan beri’tikaf satu hari atau lebih, hendaknya ia melaksanakan seperti yang telah dinazarkannya.
Sedangkan i’tikaf sunah, tidak ada batas waktu tertentu. Nazarnya sudah terpenuhi jika ia berdiam di masjid dengan niat i’tikaf, lama atau sebentar, dan ia akan mendapat pahala selama berada di masjid. Jika ia keluar dari masjid kemudian ingin kembali i’tikaf, maka ia harus memperbarui niat i’tikaf.
Ya’la bin Umaiyah berkata, “Aku berdiam di masjid selama satu jam untuk i’tikaf.”
Atha’ berkata, “Sudah disebut i’tikaf seseorang yang berdiam di masjid. Jika seseorang duduk di masjid karena mengharap pahala, maka ia dikatakan beri’tikaf. Jika tidak, maka tidaklah disebut beri’tikaf.
Seseorang yang sedang melakukan i’tikaf sunah, boleh menghentikan i’tikafnya kapan saja meskipun belum sesuai yang diniatkannya.
Aisyah meriwayatkan,
Jika ingin beri’tikaf, Nabi shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf. Suatu kali, beliau ingin beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau menyuruh dibuatkan tempat i’tikaf. Lalu tempat itu pun dibuatkan.
Aisyah berkata, ‘Melihat hal itu, aku juga menyuruh dibuatkan untukku. Lalu aku juga dibuatkan. Kemudian istri-istri Nabi yang lain juga minta dibuatkan. Lalu dibuatkan. Ketika Nabi akan shalat subuh, beliau melihat tempat-tempat i’tikaf itu, beliau berkata ‘Apa ini? Apakah kalian menginginkan kebaikan?
‘Aisyah berkata, ‘Lalu Nabi saw. menyuruh membongkar tempat i’tikafnya dan tempat i’tikaf para istrinya. Kemudian beliau menunda i’tikaf di sepuluh hari pertama (bulan Syawwal).”
Perintah Nabi saw kepada para istri beliau untuk membongkar tempat i’tikaf dan menghentikan i’tikaf mereka padahal mereka sudah berniat melakukan i’tikaf adalah bukti bolehnya menghentikan i’tikaf sekalipun sudah dimulai.
Hadits ini juga merupakan dalil diperbolehkannya suami melarang istrinya beri’tikaf sampai ia memberi izin. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Para ulama berbeda pendapat mengenai; jika suami sudah memberi izin, apakah setelah itu boleh melarangnya?
Menurut Syafi’i, Ahmad, dan Daud, suami boleh menghentikan i’tikaf sunah yang sebelumnya dilakukan istrinya meskipun sebelumnya sudah mendapat izin.
Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf harus seorang muslim, mumayyiz, suci dari junub, haid, dan nifas. Dengan demikian, i’tikaf tidak sah jika dilakukan orang kafir, anak kecil yang belum mumayyiz, orang junub, perempuan yang sedang haid atau nifas.
Rukun-Rukun I’tikaf
Hakikat I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jika salah satu dari dua hal ini; diam di masjid dan niat ibadah, tidak terpenuhi maka tidak bisa disebut i’tikaf.
Mengenai wajibnya niat dapat dirujuk pada firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga merujuk ke sabda Rasulullah saw., “Segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.”
Dalil keharusan i’tikaf di masjid adalah firman Allah, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka (para istri kalian) saat kalian sedang i’tikaf di masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Artinya, seandainya i’tikaf itu sah dilakukan di luar masjid, tentu larangan bersenggama tidak khusus untuk i’tikaf di masjid karena senggama bertentangan dengan i’tikaf. Jadi, maksud ayat itu adalah menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid.
Pendapat Para Ulama Fiqih tentang Masjid yang Sah Digunakan I’tikaf
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf.

  • Abu Hanifah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dipergunakan shalat jamaah lima waktu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Setiap masjid yang mempunyai muazin dan imam, bisa dijadikan tempat i’tikaf.” (H.R. Daruquthni). Akan tetapi, hadits ini mursal dan dha’if, tidak bisa dijadikan dalil.
  • Imam Malik, Syafi’i, dan Daud berpendapat bahwa i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, karena tidak ada satu hadits shahih pun yang memberikan batasan dalam masalah ini.
  • Para ulama Syafi’iyah berpendapat, i’tikaf lebih utama jika dilakukan di masjid jami’ karena Rasulullah sendiri i’tikaf di masjid jami’. Selain itu, jumlah jamaah yang shalat di masjid jauh lebih banyak. Dan sebaiknya tidak i’tikaf diselain masjid jami’, jika masa i’tikafnya mengenai shalat Jum’at, agar tidak memutus i’tikafnya.

Orang yang sedang beri’tikaf boleh sebagai muazin, meskipun tempat azan berada di menara masjid, masalah pintu menara berada di dalam masjid atau di serambi, karena semua itu masih termasuk masjid. Jika pintu menara berada di luar masjid, maka i’tikafnya batal jika hal itu disengaja.
Mengenai serambi masjid, maka menurut para ulama Hanafiyah, para ulama Syafi’iyah dan Ahmad (dalam satu riwayatnya), termasuk masjid.
Sedangkan menurut Malik dan Ahmad (dalam satu riwayat yang lain), tidak termasuk masjid. Karena itu, orang yang sedang beri’tikaf tidak boleh ke serambi masjid.
Jumhur ulama berpendapat, tidak sah bagi seorang wanita untuk beri’tikaf di masjid rumah sendiri, karena masjid di rumah itu tidak dikatakan masjid, dan semua ulama sepakat, bahwa itu boleh dijual. Dan ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa para istri Nabi saw. melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Puasa Orang yang Sedang I’tikaf
Berpuasa saat i’tikaf adalah perbuatan yang baik dan jika tidak puasa, tidak mengapa.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, pada masa Jahiliah aku telah bernazar akan beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.” Nabi bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Perintah Nabi agar Umar ra memenuhi nazarnya itu adalah dalil bahwa berpuasa bukan merupakan syarat i’tikaf, karena puasa tidak sah di malam hari.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Abu Sahl bercerita, “Seorang wanita dari keluargaku punya tanggungan i’tikaf. Maka aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia menjawab, ‘Ia tidak harus berpuasa kecuali jika ia sendiri yang bernazar hendak melakukannya.’ Maka Zuhri berkata, ‘I’tikaf tidak sah kecuali disertai puasa.’ Umar bertanya, ‘Apakah itu dari Nabi saw.?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Dari Umar?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Abu Sahl berkata, ‘Kalau tidak salah, Umar berkata, “Dari Utsman?”‘ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Lalu aku meninggalkannya dan pergi menemui Atha’ dan Thawus untuk menanyakan hal itu. Thawus berkata, ‘Wanita itu tidak wajib puasa kecuali jika ia bernazar akan puasa.’ Atha’ juga mengatakan demikian.”
* bersambung
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat