by Sharia Consulting Center scc | Jul 7, 2018 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sharia Consulting Center
Abu Ayyub Al-Anshari Ra meriwayatkan, Nabi Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمّ أتْبَعَهُ سِتَا مِنْ شَوّالَ كان كصيام الدّهْرَ
“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan, lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Filosofi pahala puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa setahun, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat. Di antaranya :
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib.
Ia berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan. Sebab, pada hari kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Saw di berbagai riwayat.
Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Maka, hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan.
Sebab, apabila Allah Ta’ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya.
Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.”
Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan, kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya. Jika seseorang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan yang buruk, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lalu.
Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari raya ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
5. Di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini selama ia masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh, dan lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa. Padahal, orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa. Ia tidak merasa bosan dan berat apalagi benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan, tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: “Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar, kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun.”
Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutang. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal. Dengan demikian, ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.
Perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada bulan Ramadhan adalah disyari’atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat. Di antaranya, ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, sebagai sebab dihapusnya dosa, dilipatgandakannya pahala kebaikan, dan ditinggikannya kedudukan.
Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi Saw, segenap keluarga, dan sahabatnya.
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Danu Wijaya danuw | May 21, 2018 | Artikel, Ramadhan
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada bulan ramadhan, agar kita meraih keistimewaan lailatul qadar. Sebab kita tak bisa memprediksi kapan malam lailatul qadar Allah swt hadirkan. Maka beberapa masjid menggunakan doa ini disela-sela shalat tarawih.
Doa ini sangat dianjurkan oleh suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Yaitu, jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti ku ucapkan?
Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdoalah: Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni “
Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku.
(HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850, hadist hasan – shahih)
Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Sedangkan Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”.
Hadits di atas disebutkan pula oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom pada hadits no. 706.
Semoga kita dapat melafalkan doa tersebut hingga mendapat maghfirah dan keutamaan malam Lailatul Qadar.
Disadur : Rumasyo
by Danu Wijaya danuw | May 21, 2018 | Artikel, Ramadhan
BULAN ramadhan merupakan bulan suci yang mulia. Diharapkan, manusia mencapai derajat takwa. Namun, tetap saja di bulan ini ada beberapa kelompok manusia yang tidak sesuai dengan tujuan puasa. Setidaknya ada tiga kelompok manusia di bulan Ramadhan, sebagai berikut :
1. Kelompok Dzholim
Mereka ini adalah orang-orang yang sangat kurang sekali perhatiannya terhadap ramadhan, bagi mereka kedatangan bulan ramadhan tidak ada yang terlalu spesial, biasa-biasa saja, atau bahkan bagi mereka kedatangan bulan ramadhan itu malah mebawa beban baru.
Sehingga tidak jarang karena biasa-biasa saja akhirnya mereka juga menyamakan bulan ramadhan ini dengan bulan-bulan yang lainnya : makan dan minum disiang hari tetap berlanjut, tetap makan siang dikantor atau dirumah.
Atau terkadang ada juga yang makan dan minumnya di warteg yang ditutupi hordeng, mungkin karena masih punya rasa malu untuk makan di rumah karena dilihat anak-anak, mereka berbuka karena memang mereka malas untuk berpuasa, bukan karena alasan lainnya.
Parahnya lagi jika mereka berpuasa namun mereka meninggalkan kewajiban shalat, karena terlalu banyak tidur ,dengan alasan lemas.
Ini adalah kezholiman untuk diri masing-masing. Tidak ada ruginya bagi Allah swt, jika ada hambaNya yang tidak berpuasa atau meninggalkan shalat.
Namun di dunia hidupnya tidak akan tenang, dan diakhirat nasibnya akan menyedihkan. Walaupun kita semua tetap berharap ampunan dan kasih sayang Allah swt agar memasukkan ke syurga.
Orang-orang seperti ini harus diingatkan dan diajak dengan baik, agar menyadari bahwa yang demikian bukanlah hal yang harus dibanggakan. Pendidikan agama sejak dini menjadi solusi terbaik untuk mengobati periaku zholim terhadap diri sendiri ini.
2. Kelompok Muqtashid (Pertengahan/sedang)
Mereka adalah orang-orang yang bergembira menyambut hadirnya bulan ramadhan, rasa gembira itu semakin menjadi-jadi karena setelah itu bakal ada libur panjang dan bisa mudik ke kampung halaman bertemu keluarga dan sanak kerabat.
Selain dari kegembiraan karena kesadaran beragama, bahwa di bulan ramadhan ini waktunya untuk menghapus dosa dan mengambil banyak pahala untuk bekal diakhirat kelak. Terlebih didalam bulan ramadhan ada satu malam yang nilai kebaikannya melebihi seribu bulan.
Namun padatnya aktivitas bekerja di bulan ramadhan ini terkadang membuat sebagian mereka lalai untuk memperbanyak ibadah lewat perkara-perkara sunnah.
Terkadang beberapa kali baik disengaja atau tidak meninggalkan ibadah shalat tarawih dan witir, atau hanya melaksanakan shalat-shalat fardu saja tanpa diikuti dengan shalat rawatib; qabliyah dan ba’diyah, mungkin juga dalam satu hari itu ada rasa malas untuk membaca Al-Quran, sehingga target bacaan Al-Quran kadang tidak tercapai.
Mereka full berpuasa, namun ada diantara mereka yang aktivitas puasanya full tidur, waktu tidurnya mengikuti waktu shalat lima waktu, tidur setelah subuh, setelah zuhur, setelah ashar, serta setelah maghrib dan isya.
Dan mungkin juga ada yang tidak sempat atau malas untuk beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir. Padahal i’tikaf bisa menggandakan nilai ibadah yang maksimal pada malam-malam lailatul qadar.
Inilah model berpuasanya kelompok muqtashid (sedang). Mungkin sebagaian besar diantara kita masuk dalam katagori ini. Insya Allah, mampu untuk berpuasa full dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melalukan perkara yang haram.
Namun sayangnya terkadang lalai untuk beberapa perkara sunnah, padahal sama-sama dijanjikan pahala yang berlipat ganda, terlebih di dalam bulan ramadhan.
3. Kelompok Sabiqun bil Khairat (Berprestasi)
Mereka adalah orang-orang yang berusaha meninggalkan perkara yang haram dan makruh. Bahkan terkadang meninggalkan sebagian perkara mubah demi kesempurnaan ibadah puasa yang dijalankan.
Mereka ini sebenarnya bukan hanya berprestasi di bulan ramadhan saja, namun diluar bulan ramadhan mereka juga orang-orang yang berprestasi.
Hasil didikan ramadhannya sangat berbekas dan terlihat pada 11 bulan lainnya.
Mereka ini adalah golongan yang sangat memburu pahala. Bahkan mereka berharap bahwa seluruh bulan yang ada ini adalah bulan ramadhan. Kerinduan mereka kepada ramadhan, membuat mereka selalu berdoa sepanjang bulan kepada Allah swt agar mereka dipertemukan dengan bulan ramadhan.
Mereka adalah orang-orang yang menangis ketika berpisah dengan ramadhan. Karena bulan mulia yang Allah swt janjikan jutaan pahala kebaikan akan berlalu, sedang mereka merasa belum banyak meraih kebaikan didalamnya.
Mereka adalah orang yang oleh Al-Quran disifati dengan:
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ، وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Didunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)
Kebersamaan mereka dengan Al-Quran sangat luar biasa sekali di bulan ini:
- Salafus saleh kita terdahulu ada yang menghatamkan Al-Quran per dua hari
- Ada yang menyelesaikanya per tiga hari
- Ada yang mengkhatamkannya dengan dijadikan bacaan pada shalat malam
- Bahkan dalam sebagian riwayat ada yang mengkhatamkan Al-Quran bahkan hingga 60 kali selama ramadhan.
Kualitas ibadah shalat malam mereka juga jangan ditanya, bahkan ada sebagian salafus saleh kita yang shalat subuhnya masih memakai wudhu shalat isya nya.
Bukan seperti kita di sini, yang sengaja mencari-cari masjid yang shalatnya “cepet”, sehingga sekali waktu ada masjid yang shalatnya lama, maka malam besoknya akan pindah ke masjid yang lainnya.
Kebaikan sosial mereka juga sangat kuat, sebagaimana Rasulullah saw adalah tauladan dalam hal ini, yang aslinya memang dermawan. Namun kedermawanan beliau saw lebih lagi di bulan ramadhan.
Maka ada diantara sahabat beliau :
- Ada yang bahkan tidak pernah berbuka puasa, kecuali bersama orang-orang miskin
- Ada yang setiap harinya memberikan buka puasa untuk 500 orang, dan disaat yang sama mereka sangat sedikit sekali makan sahur dan berbuka
- Ada yang hanya berbukanya dengan 2 suap makanan, padahal aslinya mereka ada makanan yang lebih, namun itu tidak untuk dimakan sendiri saja.
Seluruh anggota badan mereka juga berpuasa, mata berpuasa dari melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah swt, pun begitu dengan telinga, lidah, bibir, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh lainnya dari maksiat kepada Allah swt.
Mereka inilah yang oleh Rasulullah saw disifati:
”Siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab, telah diampuni dosanya yang telah lalu. Dan siapa yang bangun malam Qadar dengan iman dan ihtisab, telah diampuni dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari Muslim).
Bersihnya dosa mereka bahkan seperti bayi baru yang baru terlahir dari rahim ibunya.
Akhirnya semoga Allah swt merahmati bulan ramadhan kali ini, dan semoga Allah swt mengampuni segala dosa-dosa kita yang telah lalu. Aamiin.
Sumber: Dikutip dari penjelasan Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, pengasuh rubrik Fikrah dalam Rumah Fiqih Indonesia
by Sharia Consulting Center scc | Jun 30, 2017 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sharia Consulting Center
Shalat bagi Musafir
Arti Safar
Safar secara bahasa berarti melakukan perjalanan. Ia lawan dari iqomah (menetap). Sedangkan secara istilah, safar adalah: seseorang keluar dari daerahnya dengan maksud ke tempat lain yang ditempuh dalam jarak tertentu.
Jadi, seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: niat, keluar dari daerahnya, dan memenuhi jarak tertentu.
Rukhsah (Kemudahan) Shalat Bagi Musafir
Seorang musafir mendapatkan rukhsah berupa keringanan dari Allah SWT dalam pelaksanaan shalat.
Rukhsah tersebut adalah:
- Mengqashar shalat yang bilangannya empat rakaat menjadi dua
- Menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya
- Shalat di atas kendaraan
- Tayammum dengan debu/tanah pengganti wudhu dalam kondisi tidak mendapatkan air, dan lain-lain.
Shalat Qashar
Mengqashar shalat adalah mengurangi shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat, yaitu pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya.
Dalil Shalat Qashar
Allah Swt berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا(101)
Artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS an-Nisaa’ 101).
Jarak Qashar
Seorang musafir dapat mengambil rukhsah shalat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Rasulullah Saw bersabda:
عن يحيى بن يزيد الهنائي؛ قال: سألت أنس بن مالك عن قصر الصلاة؟ فقال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج، مسيرة ثلاثة أميال أو ثلاثة فراسخ صلى ركعتين
Artinya: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? Anas menjawab: ”Adalah Rasulullah Saw jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يا أهل مكة لا تقصروا الصلاة في أدنى من أربعة برد من مكة إلى عسفان”.
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: ”Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf).
Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat, yaitu
- 4 burd atau 16 farsakh
- Satu farsakh = 5541 meter
- Sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Setelah diukur ternyata jaraknya adalah 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km.
Pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam asy-SyafiI, dan Imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
Sedangkan hadits Yahya bin Yazid yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, para ulama mengomentarinya bahwa jarak 3 mil atau tiga farsakh bukan menunjukkan jarak minimal dibolehkannya safar, tetapi pada jarak itu Rasulullah Saw baru melaksanakan shalat qashar. Sedangkan jarak yang akan ditempuh Rasulullah Saw. masih jauh lagi.
Kesimpulan: Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama shalat, menurut jumhur ulama, yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
Syarat Shalat Qashar:
- Niat Safar
- Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km)
- Keluar dari kota tempat tinggalnya
- Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
Lama Waktu Qashar
Jika seorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal di sana, maka dia dapat melakukan qashar dan jama shalat.
Menurut pendapat Imam Malik dan Asy-Syafii adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari, ia harus melakukan shalat yang sempurna. Adapun musafir yang tidak akan menetap, maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Berkata Ibnul Qoyyim: Rasulullah Saw tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat.
Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: Rasulullah Saw melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna.
Shalat Jama’
Jama’ antara dua shalat, pada waktu safar dibolehkan. Shalat yang boleh dijama adalah shalat Dzuhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya.
Rasulullah Saw bersabda:
عن مُعَاذِ بنِ جَبَلٍ: “أَنّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ في غَزْوَةِ تَبُوكٍ إذا زَاغَتِ الشّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشّمْسُ أَخّرَ الظّهْرَ حتى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ، وَفي المَغْرِبِ مِثْلَ ذَلِكَ إِنْ غَابَتِ الشّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَإِن يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشّمْسُ أَخّرَ المَغْرِبَ حتى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُم جَمَعَ بَيْنَهُمَا”
Artinya, dari Muadz bin Jabal: Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat, maka menjama’ shalat antara Dzuhur dan Ashar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan shalat Dzuhur sampai berhenti untuk shalat Ashar. Dan pada waktu shalat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ antara Maghrib dan Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari tenggelam, maka mengakhirkan waktu shalat Maghrib sampai berhenti untuk shalat Isya, kemudian menjamak keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Shalat jama’ terdiri dari dua macam, yaitu jama’ taqdim dan jama takhir’.
Jama’ taqdim adalah menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Ashar yang dilakukan pada waktu Zhuhur, dan shalat Maghrib dan Isya yang dilakukan pada waktu Maghrib.
Sedangkan jama’ takhir adalah menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Ashar yang dilakukan pada waktu Ashar, dan shalat Maghrib dan Isya yang dilakukan pada waktu Isya.
Shalat Jamaah bagi Musafir yang Melakukan Qashar dan Jama Shalat
Seorang musafir yang melakukan qashar dan jama shalat, maka shalat jamaah yang dilakukan sebagai berikut:
- Niat untuk melakukan shalat jama dan qashar secara berjamaah.
- Disunnahkan membaca iqamah pada setiap shalat (misalnya iqamah untuk shalat Zhuhur dan iqamah untuk shalat Ashar).
- Berimam pada orang yang sama-sama melakukan qashar dan jama’.
- Shalat jama’ dilakukan secara langsung, tanpa diselingi dengan shalat sunnah atau doa atau lainnya.
Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat, baik dalam keadaan muqim maupun musafir sebagaimana firman Allah:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya: ”Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS Al Baqarah 144).
Maka jika seorang musafir berada dalam kendaraan; baik itu mobil, kereta api, kapal laut, atau pesawat udara dan mampu menghadap kiblat, maka ia harus menghadap kiblat.
Sedangkan bagi musafir yang naik kendaraan, sedang ia tidak tahu arah kiblat atau tidak mampu menghadap kiblat, maka ia harus shalat menghadap arah mana saja yang ia yakini dan shalat sesuai kondisi di kendaraan. Allah Swt berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(115)
Artinya: ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah 115).
Tata Cara Shalat Di Atas Kendaraan
- Jika dimungkinkan maka shalat seperti biasa, yaitu shalat berjamaah, menghadap kiblat, berdiri, ruku dan sujud seperti biasa.
- Jika tidak dapat berdiri maka shalat sambil duduk dengan gerakan shalat dalam kondisi duduk. Ruku dan sujud dengan membungkukkan punggung, dan saat sujud punggung lebih menurun dari ruku.
- Apabila tidak mendapatkan air, maka dapat bertayammum. Cara tayammum yaitu menepuk tanah atau debu pada dinding kendaraan dengan dua telapak tangan, lalu diusapkan ke seluruh wajah. Kemudian tangan yang satu mengusap yang lain sampai pergelangan tangan.
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Danu Wijaya danuw | Jun 29, 2017 | Artikel, Ramadhan
Jika ada anggota keluarga kita yang akan pergi meninggalkan rumah untuk bekerja atau pergi ke suatu tempat, biasanya kita akan dengan refleks mengucapkan : selamat jalan, goodbye, dadah, sampai jumpa, dan lain-lain.
Ternyata dalam Bahasa Arab, ada kata yang sebanding bahkan jauh lebih baik dibandingkan selamat jalan, yaitu fii amanillah.
Mengapa kita sebaiknya mengatakan fii amanillah daripada hati-hati pada orang yang akan bepergian? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Islam menawarkan pengganti yang lebih baik bagi kita saat mengucapkan ketika akan berpisah yaitu fii amanillah yang artinya “(Semoga engkau) dalam lindungan Allah”.
Hal ini yang menunjukkan rasa peduli kita saat saudara atau anggota keluarga kita akan pergi dengan mengucapkan fii amanillah, artinya kita juga sedang mendoakannya, agar ketika dalam perjalanan ia selalu dilindungi Allah Swt.
Perlindungan yang Allah berikan pada hamba-Nya berupa perlindungan dari musibah, dari sakit, dari hal buruk, dan lainnya.
Budaya Islam yang baik
Islam menunjukkan budaya yang saling mencintai sesama muslim, berdoa bagi keselamatan orang yang kita sayangi, tentu lebih tinggi nilainya dibandingkan hanya mengatakan dadah, selamat jalan, sampai jumpa, dan lainnya.
Perkataan fii amanillah ini, bukan sekedar perkataan ikut-ikutan, yang ingin terlihat arab-araban. Tapi kita melakukannya atas dasar kepahaman, atas dasar keagungan Allah Swt Yang Maha Melindungi hamba-Nya.
Karena makna yang terkandung di dalamnya bukan hanya sekedar ucapan untuk mengakhiri pertemuan, tapi juga mendoakan saudara kita agar diberikan perlindungan oleh Allah.
Islam mengajarkan kita untuk selalu berdoa, ketika akan melakukan sesuatu, mohon pada Allah, kebaikan bagi yang memberi doa, perlindungan bagi saudara yang berpergian, kedamaian, keselamatan, dan berkah untuk saudara muslim yang dijumpai.
Doa yang kita panjatkan adalah bukti cinta kita pada saudara kita.
Mari kita budayakan kata-kata dan juga doa-doa terbaik untuk saudara kita.
Semoga bermanfaat.
by Danu Wijaya danuw | Jun 23, 2017 | Artikel, Berita, Ramadhan
Berbeda dengan Djarot dan Polisi yang melarang takbiran keliling, kali ini MUI justru menghimbau umat Islam Indonesia untuk merayakan hari kemenangan hari raya Idul Fitri dengan takbiran sebagai syiar agama yang perlu dihidupkan agar mengingat ibadah shalat Id yang akan diadakan esok harinya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am menjelaskan hukum melakukan takbir pada malam menjelang Idul Fitri adalah sunah.
Masyarakat dapat melakukannya baik sendiri maupun bersama-sama di mana saja, baik di rumah, maupun di jalan, atau membuka panggung takbiran.
“Takbir di malam Idul Fitri hukumnya sunah bagi setiap muslim. Takbir dapat dilaksanakan dengan sendiri maupun berjamaah. Dapat dilaksanakan di rumah, di masjid, di mushala, maupun di jalan. Bisa dilaksanakan dengan duduk berdiam diri, berjalan, maupun berkendara,” ujar Asrorun dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Kamis (22/6/2017).  
“Diimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghidupkan malam Idul Fitri dengan syiar kumandang takbir, tahmid, dan tahlil, di mana pun berada dengan semarak syiar takbir, memuji asma Allah,” lanjutnya.
Dalam maklumat Komisi Fatwa juga disebutkan bahwa aparat keamanan perlu menjamin keamanan dan situasi kondusif selama perayaan Idul Fitri.
Berikut isi lengkap maklumat MUI soal takbir keliling:
1. Jelang idul fitri, masyarakat bertanya apa hukum takbir keliling. Takbir di malam idul fitri hukumnya sunnah bagi setiap muslim. Takbir dapat dilaksanakan dengan sendiri maupun berjamaah, dapat dilaksanakan di rumah, di masjid, di mushalla maupun di jalan. Bisa dilaksanakan dengan duduk berdiam diri, jalan, maupun berkendara.
Untuk itu, dihimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghidupkan malam idul fitri dengan syiar kumandang takbir, tahmid dan tahlil, di manapun berada. Semarakkan masjid, mushalla, rumah, jalanan, lingkungan, dan seluruh negeri kita dengan semarak syiar takbir, memuji Asma Allah.

Festival takbiran sebagai syiar agama Islam
Syiar takbir yang menggema di seluruh negeri diharapkan dapat menjadi penyebab diturunkannya rahmat Allah, sehingga negeri ini dikaruniai kedamaian, keamanan dan kesejahteraan.
2. Bagi umat Islam yang melaksanakan takbir keliling, perlu menjaga ketertiban umum. Koordinasi dengan pengurus masjid, pengurus lingkungan, dinas lalu lintas dan aparat keamanan.
Aparat keamanan perlu menjamin keamanan pelaksanaan ibadah, termasuk kegiatan umat Islam yang menghidupkan malam idul fitri dengan takbir keliling.
Tidak boleh ada yang menghalangi kegiatan syiar idul fitri, dengan dalih apapun.
3. Menjadikan momentum idul fitri ini untuk meneguhkan tali silaturrahmi. Kuatkan silaturrahmi, mulai dari keluarga dekat, keluarga jauh, tetangga hingga sesama anak bangsa.
Idul fitri perlu dijadikan sarana untuk meneguhkan kohesi nasional, dan semangat rekonsiliasi untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Yaitu mewujudkan Persatuan Indonesia dalam bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa.