0878 8077 4762 [email protected]

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Mulai dan Berakhirnya I’tikaf
Telah dijelaskan bahwa i’tikaf sunnah tidak terbatas waktunya. Apabila seseorang masuk masjid dan berniat untuk taqarrub kepada Allah dengan berdiam di dalamnya, berarti ia beri’tikaf hingga ia keluar dari masjid itu. Dan jika seseorang berniat hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hendaknya ia mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang hendak beri’tikaf bersamaku, hendaknya ia beri’tikaf di sepuluh hari terakhir.” Maksudnya adalah sepuluh malam terakhir. Jadi, dimulai malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh.
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa jika Nabi hendak beri’tikaf, beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i’tikafnya, adalah bermakna bahwa beliau masuk ke tempat i’tikaf pribadinya di masjid, bukan awal masuknya beliau ke masjid. Masuknya beliau ke masjid adalah sejak sorenya.
Mengenai waktu keluar masjid bagi orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah setelah matahari terbenam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i.
Sedangkan Malik dan Ahmad, berpendapat, “Boleh keluar setelah matahari terbenam. Tetapi lebih baik lagi jika ia keluar dari masjid saat hendak pergi untuk shalat Id.”
Atsram meriwayatkan dengan sanadnya, dari Abu Ayub dari Abu Qalabah, “Pada malam Hari Raya Fitri, dia (Abu Qalabah) bermalam di masjid dan esok paginya dia berangkat untuk shalat Id. Saat beri’tikaf, ia tidak menggelar tikar atau sajadah apa pun untuk tempat duduknya. Ia duduk seperti jamaah yang lain. Pada hari Raya Fitri itu aku mendatanginya. Aku melihat seorang anak perempuan dengan dandanan rapi. Aku kira dia adalah anak perempuannya. Ternyata dia adalah budak wanitanya yang setelah itu dimerdekakan. Lalu dia pergi untuk shalat Id.”
Ibrahim berkata, “Mereka suka jika orang yang beri’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan menghabiskan malam Hari Raya Idul Fitri di masjid. Kemudian esok paginya berangkat untuk shalat Id.”
Orang yang bernazar melakukan i’tikaf sehari atau beberapa hari, atau ingin melakukannya secara sukarela, hendaknya ia masuk masjid sebelum terbit fajar kemudian keluar dari masjid setelah matahari benar-benar terbenam, baik untuk i’tikaf di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Sedangkan orang yang bernazar hendak beri’tikaf satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ingin melakukannya secara sukarela, hendaknya ia masuk masjid sebelum terbenamnya matahari dan kemudian keluar dari masjid setelah terbitnya fajar.
Ibnu Hazm berkata, “Sebabnya karena permulaan malam adalah setelah matahari terbenam, dan berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut apa yang telah dijanjikan atau diniatkannya.
Jika seseorang bernazar akan beri’tikaf selama satu bulan, atau hendak melakukannya selama itu secara sukarela, maka permulaannya adalah malam pertamanya. Ia masuk masjid sebelum matahari terbenam, kemudian keluar masjid (saat i’tikafnya berakhir di akhir bulan) ketika matahari benar-benar terbenam, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya.”
Amal Sunah dan Makruh bagi Orang yang Beri’tikaf
Orang yang sedang beri’tikaf disunahkan memperbanyak ibadah-ibadah sunah dan menyibukkan diri dengan shalat, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, berdoa, membaca shalawat Nabi saw, dan aktivitas lain yang mendekatkan kita kepada Allah dan menghubungkan manusia dengan Penciptanya yang Maha Agung. Termasuk juga, mempelajari suatu ilmu, menelaah kitab-kitab tafsir, menelaah buku-buku hadits, membaca sejarah para nabi dan orang-orang shalih, serta buku-buku fiqih dan keagamaan. Orang yang beri’tikaf disunahkan mendirikan kemah di ruangan masjid, mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi saw.
Orang yang beri’tikaf dimakruhkan melakukan perbuatan dan ucapan yang tidak perlu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Bashrah bahwa Nabi saw bersabda, “Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” Makruh baginya sengaja tidak berbicara karena meyakini hal itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bukhari, Abu Daud, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika Nabi saw berkhutbah, ada seorang laki-laki berdiri. Nabi bertanya tentang orang itu. Lalu para sahabat menjawab, ‘Dia adalah Abu Israel. Ia bernazar untuk tidak duduk, tidak bernaung, tidak berkata-kata, dan selalu berpuasa.”
Nabi bersabda, “Suruhlah ia berbicara, bernaung, duduk, dan meneruskan puasanya.”
Abu Daud meriwayatkan dari Ali ra bahwa Nabi saw bersabda, “Tidak lagi disebut yatim orang yang telah akil balig, dan seseorang tidak boleh membisu sehari penuh sampai malam.”
Yang Dibolehkan bagi Orang yang Sedang I’tikaf
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar keluarga
Shafiyyah berkata, “Saat itu, Rasulullah saw sedang beri’tikaf. Aku datang menjenguknya di waktu malam. Aku bercakap-cakap dengannya, kemudian aku berdiri dan hendak pulang. Ternyata Rasulullah juga berdiri dan mengantarkan aku pulang.”
Shafiyyah tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Saat itu, ada dua orang Anshar sedang lewat. Ketika melihat Nabi, keduanya mempercepat jalan mereka. Maka Nabi saw bersabda, ‘Janganlah kalian terburu-buru. Ia adalah Syafiyyah binti Huyay.’ Mereka berkata, ‘Subhanallah, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Maka aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu ke dalam hati kalian.’ (atau Nabi bersabda, ‘membisikkan keburukan’). (h.r. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
2. Menyisir rambut, memotong rambut, memotong kuku, membersihkan badan dari debu dan daki, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.
3. Keluar masjid untuk keperluan yang tidak bisa dielakkan.
Aisyah bercerita, “Ketika sedang i’tikaf, Rasulullah menjulurkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisirnya. Dan beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk buang hajat.” (h.r. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang beri’tikaf boleh keluar dari tempatnya beri’tikaf untuk buang air besar atau kecil karena hal itu merupakan keperluan yang tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dilakukan di masjid. Begitu juga keperluan makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkannya ke masjid.
Jika akan muntah, ia juga boleh keluar masjid. Intinya, semua keperluan yang tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dikerjakan di masjid, ia boleh keluar masjid untuk keperluan tersebut, dan tidak membatalkan i’tikafnya, asalkan ia keluar masjid tidak terlalu lama. Begitu juga dengan keperluan mandi dan mencuci pakaian.”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika seorang beri’tikaf, hendaknya ia turut menghadiri shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, menjenguk orang sakit, dan menemui istrinya untuk mengatur keperluannya yang dibutuhkan selama beri’tikaf. Dia (Ali ra) pernah memberi keponakannya tujuh ratus dirham dari hasil gajinya untuk keperluan membeli seorang budak untuk membantu pekerjaannya. Keponakannya itu berkata, ‘Aku sedang beri’tikaf.’ Ali berkata, ‘Apa salahnya jika kamu pergi ke pasar lalu membelinya?'”
Qatadah juga membolehkan orang yang beri’tikaf merawat dan mengantar jenazah dan menjenguk orang sakit, dan tidak perlu duduk.
Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Mereka lebih menyukai jika orang yang i’tikaf mensyaratkan hal-hal berikut. Meskipun tanpa mensyaratkan pun hal-hal ini sudah menjadi haknya: menjenguk orang sakit, tidak memasuki bangunan yang beratap, mengerjakan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan buang hajat.” Selanjutnya ia berkata, “Dan tidak masuk ke dalam bangunan yang beratap, kecuali untuk suatu keperluan.”
Khatthabi berkata, “Sejumlah ulama mengatakan bahwa orang yang sedang beri’tikaf boleh menghadiri shalat Jum’at, menjenguk orang sakit, dan mengantarkan jenazah. Hal ini diriwayatkan dari Ali ra. Juga merupakan pendapat Said bin Jubair, Hasan Bashri, dan An-Nakhai.”
Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah, “Nabi saw biasa lewat pada orang yang sakit saat beliau beri’tikaf. Ia lewat dan menyapa orang yang sakit itu, tanpa berhenti.
Mengenai keterangan yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa menurut sunah orang yang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang yang sakit, maka maksudnya adalah agar ia tidak meninggalkan tempat i’tikaf dengan tujuan hanya untuk menjenguknya. Tetapi tidak mengapa jika ia sekadar lewat, lalu menyapa dan menanyainya tanpa berhenti di tempat itu.”
4. Ia boleh makan, minum, dan tidur di masjid dengan syarat tetap menjaga kebersihannya. Ia juga dibolehkan melakukan akad nikah di dalam masjid. Juga melakukan transaksi jual-beli dan lainnya di dalam masjid.
Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf
1. Sengaja keluar masjid tanpa ada suatu keperluan walau hanya sebentar. Dengan begitu, “diam di masjid” yang merupakan rukun sudah tidak terpenuhi.
2. Murtad, karena bertentangan dengan ibadah. Juga berdasarkan firman Allah, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), maka niscaya hapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65)
3. Kehilangan akal sehat karena gila atau mabuk, karena hilangnya sifat mumayyiz yang merupakan syarat sahnya i’tikaf.
4. Haid
5. Nifas karena bertentangan dengan suci dari haid dan nifas yang menjadi syarat sahnya i’tikaf.
6. Bersenggama
Allah berfirman, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka ketika kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian langgar.” (Al-Baqarah: 187)
Menyentuh tanpa syahwat tidak membatalkan i’tikaf. Satu dari istri Nabi saw menyisir rambut beliau pada saat beliau beri’tikaf. Adapun mencium atau menyentuh disertai nafsu, maka menurut Abu Hanifah dan Ahmad, orang itu telah melakukan kesalahan karena telah berbuat yang dilarang baginya. Tetapi i’tikafnya tidak batal selama tidak sampai keluar mani.
Imam Malik berpendapat, i’tikafnya batal karena merupakan persentuhan yang diharamkan, sama seperti jika keluar mani.
Sedangkan Imam Syafi’i punya dua pendapat. Pendapat yang satu dengan dengan pendapat yang pertama dan yang lain sama dengan pendapat yang kedua.
Ibnu Rusyd berkata, “Adapun yang menjadi sebab perbedaan pendapat ini adalah apakah ayat di atas mengandung kata mustarak, antara makna hakiki dan makna majazi, bermakna umum atau tidak. Kelompok yang mengatakannya bermakna umum, berpendapat bahwa ayat di atas menyebutkan larangan senggama dna permulaan senggama. Sedangkan kelompok yang mengatakannya tidak bermakna umum (inilah pendapat yang populer dan dianut kebanyakan ulama), mengatakan bahwa yang dilarang dalam ayat itu bisa senggama dan bisa permulaan senggama. Jika bermakna senggama, secara ‘ijma, maka tentu tidak bisa dimaknai selaing senggama, karena satu kata tidak mungkin punya makna hakiki dan majazi secara bersamaan. Kelompok yang menghukumi keluarnya mani sama dengan senggama, karena keluarnya mani semakna dengan senggama. Dan, kelompok yang menganggapnya berbeda adalah karena pada hakikatnya keluarnya mani berbeda dengan sanggama.”
Mengqadha I’tikaf
Barangsiapa yang sudah mulai melakukan i’tikaf secara sukarela, kemudian menghentikannya, maka ia disunahkan untuk mengqadha’. Ada juga yang mewajibkannya. Tirmidzi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang menghentikan i’tikaf sebelum menyelesaikan masa yang ia niatkan.”
Imam Malik berpendapat, jika waktu i’tikaf itu telah berlalu, ia wajib mengqadha. Alasannya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw. menghentikan i’tikafnya, lalu beliau melakukannya di sepuluh hari bulan Syawwal.
Imam Syafi’i berpendapat, jika ia tidak menazarkan i’tikafnya, atau mewajibkan sesuatu terhadap dirinya, tetapi melakukannya secara sukarela, lalu ia hentikan di tengah jalan, maka ia tidak wajib mengqadha, kecuali jika ia sendiri yang ingin mengqadha.
Imam Syafi’i berkata, “Suatu amal yang bisa tidak engkau lakukan, lalu kau lakukan, kemudian kau hentikan di tengah jalan, maka kau tidak wajib mengqadhanya kecuali haji dan umrah.”
Adapun orang yang bernazar i’tikaf selama satu atau beberapa hari, lalu memulainya tetapi kemudian menghentikannya sebelum selesai, maka menurut kesepakatan ulama, ia wajib mengqadha bila sanggup. Seandainya ia meninggal dunia sebelum mengqadha, maka ia tidak perlu qadha’. Tetapi menurut Ahmad, walinya wajib mengqadha sebagai gantinya.
Abdur-Razap meriwayatkan bahwa Abdul Karim bin Umayyah berkata, “Aku pernah mendengar Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah mengatakan, ‘Ibu kami meninggal dunia, padahal ia memiliki kewajiban beri’tikaf.’ Maka aku tanyakan kepada Ibnu Abbda, lalu ia berkata, ‘Beri’tikaflah sebagai gantinya, dan berpuasalah.'”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Aisyah beri’tikaf sebagai ganti i’tikaf saudara lelakinya yang telah meninggal dunia.
Orang yang Beri’tikaf berdiam diri di bagian Masjid dan Mendirikan Tenda
1. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Nafi’ berkata, “Abdullah bin Umar memperlihatkan kepadaku tempat i’tikaf Rasulullah saw.”
2. Ibnu Umar ra juga mriwayatkan, “Jika Rasulullah saw beri’tikaf, beliau menggelar kasur atau meletakkan tempat tidur di belakang tiang At-Taubah.”
3. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi saw beri’tikaf di kemah model Turki yang di pintunya diletakkan selembar tikar.
Bernazar untuk I’tikaf di Masjid Tertentu
Seseorang yang bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi atau di Masjid Aqsa, maka ia wajib memenuhi nazarnya di masjid yang telah ditetapkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Kendaraan tidak perlu dipersiapkan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil-Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjidku ini.”
Adapun bernazar i’tikaf di masjid selain tiga masjid ini, maka ia tidak wajib beri’tikaf di masjid tersebut. Ia boleh beri’tikaf di masjid yang dikehendakinya, karena Allah tidak menetapkan satu tempat tertentu untuk beribadah kepada-Nya. Juga karena masjid yang satu tidak lebih mulia dibandingkan masjid yang lain, kecuali tiga masjid yang telah disebutkan itu.
Nabi bersabda dalam sebuah hadits shahih, “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu rakaat shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali Masjidil-Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada shalat di masjidku sebanyak seratus kali.”
Jika seseorang telah menazarkan i’tikaf di Masjid Nabawi, ia boleh memenuhi nazarnya dengan beri’tikaf di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama daripada Masjid Nabawi.
 
Sumber :
Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq. Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat