Oleh Rahmadiyanti Rusdi
Pada tahun 1502, Ahmad ibn Abi Jum’ah, seorang mufti di Oran, yang di masa kini termasuk ke dalam wilayah Aljazair, mengeluarkan fatwa: memperbolehkan umat Muslim melakukan wudhu tanpa air dengan menyentuh dinding yang bersih/tayammum, shalat hanya di malam hari—alih-alih lima kali sehari, dan minum khamr/menyantap daging babi bila terpaksa.
Fatwa ini berlaku untuk muslim yang tinggal di Spanyol. Mengapa fatwa tersebut dikeluarkan?
Mari kita mundur 10 tahun sebelumnya, yakni 1 Januari 1492. Pagi itu Muhammad XII atau dikenal juga dengan Boabdil, sang emir Granada, menyerahkan kunci kota Granada dan Alhambra kepada Ferdinand dan Isabella.
Saat penduduk Granada terbangun, mereka melihat bendera bertuliskan “Dan tidak ada pemenang selain Allah” yang biasa berkibar di atas Alhambra, telah diturunkan. Boabdil diasingkan dan menurut legenda dalam perjalanan ke luar dari Granada, ia memandangi kota untuk terakhir kali sambil menangis. Sang ibu menegurnya dan mengucapkan kalimat fenomenal, “Jangan menangis seperti wanita atas apa yang gagal kaupertahankan sebagai seorang lelaki”.
Hari itu adalah akhir dari sebuah bab panjang dan penting dalam sejarah Islam.
Namun itu bukan akhir dari populasi Muslim Spanyol. Masih ada 500.000-600.000 Muslim (dari total 7-8 juta jiwa) di seluruh Semenanjung Iberia yang sebagian besar tinggal di Granada.
Mustahil bagi Monarki Katholik mengusir seluruh Muslim dengan segera.
Mereka masih mengandalkan populasi Muslim untuk menjalankan perekonomian setempat. Selain itu mereka juga tidak memiliki cukup SDM untuk mengisi kota yang kehilangan populasinya.
Ferdinand dan Isabella awalnya mengadopsi pendekatan toleran terhadap minoritas Muslim tersisa. Setiap Muslim yang secara sukarela memilih untuk berpindah keyakinan akan dihujani hadiah, emas, kuda, dan barang berharga lainnya. Memang, terjadi konversi besar-besaran, tapi sebagian orang yang “berpindah” keyakinan ditemukan tetap beribadah di dalam masjid dan membaca Al-Qur’an.
Gereja Katholik pun memutuskan pendekatan lebih keras. Fransisco Jimenez de Cisneros, Uskup Agung Katholik yang diangkat pada tahun 1499 untuk mempercepat konversi membuat aturan baru; menjatuhkan hukuman dan penganiayaan bagi Muslim Andalusia yang tidak berpindah keyakinan. Dalam kata-katanya sendiri ia menyatakan, “Jika orang-orang kafir tidak dapat dibujuk agar mengikuti jalan keselamatan, mereka harus diseret ke arahnya”.
Muslim pun memberontak. Pemberontakan tersebut memberi Monarki Katholik alasan untuk lebih keras memperingatkan Muslim Andalusia: hukuman mati atau konversi menjadi kristiani. Gelombang besar pembaptisan terjadi. Pemberontakan masih terjadi di daerah pedalaman, tapi bisa diredam.
Pada 1502 pemberontakan berakhir dan Monarki Katholik melarang Islam sepenuhnya di Spanyol. Kenyataannya, sebagian “mantan Muslim” masih beribadah secara Islam dengan diam-diam. Mereka adalah MORISCO, yang pergi ke gereja pada hari Minggu, beribadah menurut ritual Katholik, tapi saat di rumah mereka shalat dan membaca Qur’an. Untuk itulah, Mufti Oran mengeluarkan fatwa.
Otoritas Kristen mencium “ketidaktulusan” Morisco. Mereka pun membuat sejumlah undang-undang, sebagai bagian dari Lembaga Inkuisisi, untuk benar-benar membersihkan Morisco dari “masa lalu Islam” mereka.
Pada tahun 1511 mereka melarang penyembelihan hewan menurut hukum Islam.
Pada 1513 wanita Muslim dilarang menutupi wajah mereka.
Pada 1523 pakaian Muslim pada umumnya, dilarang. Orang-orang Morisco juga dilarang menggunakan pemandian dan menutup pintu rumah pada hari Jum’at untuk memastikan bahwa tidak ada yang diam-diam mendirikan shalat.
Pernikahan juga harus dihadiri otoritas Kristen setempat untuk memastikan mereka tidak mempraktikkan pernikahan Islam.
Pada 1526 bahasa Arab dilarang dan orang-orang Morisco dipaksa menggunakan bahasa Kastilia setiap waktu.
Namun… hingga seratus tahun setelah penaklukan Spanyol, orang-orang Morisco masih banyak yang mempraktikkan Islam. Banyak dari mereka ditangkap pasukan Inkuisisi.
Dan pada April 1609, Raja Philip III memutuskan mengusir semua orang Morisco yang tersisa di Spanyol. Warga dipaksa pergi ke pantai di mana kapal-kapal menunggu untuk membawa mereka ke Afrika Utara. Monarki menyita properti mereka. Anak-anak di bawah usia 4 tahun dibebaskan dari pengusiran, tapi diambil untuk dibesarkan sebagai umat kristiani.
Di selatan Spanyol, pemberontakan bangkit sekali lagi. Sebagian kecil orang Morisco mengumandangkan azan untuk pertama kali sejak lebih 100 tahun. Azan berkumandang di lembah-lembah dan bukit-bukit. Masyarakat melakukan shalat jamaah terbuka, yang tidak pernah terlihat sejak kejatuhan Granada. Pemberontakan ini—sekali lagi, dapat dipadamkan otoritas Spanyol.
Pada 1614, Islam benar-benar lenyap dari jazirah Iberia.
Ada laporan, sejumlah kecil Morisco entah bagaimana berhasil tetap tinggal di negeri tersebut. Mempraktikkan Islam secara rahasia selama berabad-abad….
Sumber : ngelmu.com
— Disarikan dari Bab Andalusia, buku Lost Islamic History: Sejarah Islam yang Hilang (Firas Al Khateeb), Bentang Pustaka, 2016