Hari ini, tanggal 2 Mei adalah hari pendidikan nasional (Hardiknas). Hari di mana lahir seorang tokoh nasional bernama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau umum dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia lahir pada 2 Mei 1889.
Sudah sepantasnya pemerintah memperingati tanggal 2 Mei menjadi hari pendidikan nasional. Karena kiprah dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara bagi bangsa ini.
Ia berjuang lewat pendidikan, dengan mendirikan perguruan Taman Siswa. Sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh kaum pribumi di saat pemerintah kolonial Belanda masih bercokol di negeri ini.
Perkembangan Taman Siswa
Dalam buku “Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang” dikatakan bahwa perkembangan Taman Siswa dinilai sebagai keberhasilan pergerakan nasional dalam membuat pemerintah kolonial mundur secara lebih jauh dan menyeluruh.
MC Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”, menjelaskan bahwa Taman Siswa dengan cepat tersebar ke luar Yogyakarta.
Bahkan pada tahun 1932, Perguruan Nasional Taman Siswa ini telah mempunyai 166 sekolah dan 11.000 murid.
Keberhasilan Ki Hajar Dewantara dalam pergerakan pendidikan ini mengantarkannya menjadi tokoh pendidikan nasional. Dan saat Indonesia Merdeka, Dialah Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang pertama.
Kisah Santri Ki Hajar Dewantara
Tapi sayang, sejarah Ki Hajar Dewantara masa kecilnya ada yang luput dari catatan sejarah. Bahkan sedikit orang yang tahu. Karena memang sisi lain kehidupannya yang satu ini mungkin sengaja ditutupi. Bahwa ternyata beliau adalah seorang santri.
Berikut petikan ceramah KH Achmad Chalwani Purworejo mengenai Ki Hajar Dewantara:
Maka bisa dilihat yang jadi santri-santrinya Kyai, menjadi penggerak di Indonesia ini. Coba dilihat, di Jogja ada seorang Kyai namanya Kyai Sulaiman Zainuddin, berada di Kalasan Prambanan.
Mempunyai putra santri banyak, salah satunya beliau mempunyai santri namanya Suwardi Suryaningrat.
Santri yang bernama Suwardi Suryaningrat tadi akhirnya menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara itu dulu belajar Al-Qur’an, dia seorang santri. Tapi sayang sejarahnya Ki Hajar Dewantara dulu belajar Al-Qur’an tidak pernah diterangkan oleh guru-guru di sekolah.
Ki Hajar Dewantara itu ngaji Al-Qur’an dan yang mengajar adalah Kyai Sulaiman Zainuddin. Ayo kita buka sejarah Taman Siswa, anak didik supaya tahu utuh, sejarah jangan dipotong-potong, kalau anda memotong sejarah pada saatnya nanti sejarah Anda akan dipotong oleh Allah SWT.
Yang mengatakan Kyai Sulaiman Zainuddin mempunyai murid Suwardi Suryaningrat mengaji di sana itu, saya baca di Sejarah Taman Siswa.
Inilah sudut kecil sejarah Ki Hajar Dewantara yang sedikit orang tahu. Padahal dari sinilah karakter beliu terbentuk.
Di bawah bimbingan Kyai Sulaiman Zainuddin, Ki Hajar Dewantara memperdalam Al-Qur’an. Menelusuri seluk beluk mendalam firman-firman Allah, hingga kemudian menggerakkan beliau berjuang untuk bangsa lewat dunia pendidikan. Dengan perguruan Taman Siswanya.
Tiga Semboyan
Ki Hadjar Dewantara memiliki semboyan yang selalu ia terapkan dalam sistem pendidikan. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi :
- Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik)
- Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide)
- Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan),
Hingga kini, semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersebut sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia dan terus digunakan dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.
Tulisan Ki Hajar Dewantara yang Membuat Belanda Marah
Tahun 1913 itu pemerintah kolonial hendak merayakan hari kemerdekaan Belanda dengan besar-besaran. Tahun itu adalah tepat seabad Belanda lepas dari penjajahan Perancis-nya Napoleon.
Tak hanya oleh kalangan kolonialis, pemerintah berharap perayaan itu juga diikuti oleh seluruh warga Hindia Belanda maksudnya Rakyat Indonesia karena belum ada Indonesia. Namun Ki Hajar Dewantara menulis kritikan di kabar harian De Express
“…Seandainya aku orang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu… Tapi aku bukan bangsa Belanda. Aku hanya putra bangsa kulit coklat warga negara jajahan Belanda. Karenanya, aku tidak protes…
Sudah sebagai kewajibanku sebagai penduduk tanah jajahan Belanda untuk memperingati dengan sepenuhnya hari kemerdekaan Negeri Belanda, negara yang kami pertuan. Aku akan minta pada segenap kawan sebangsa dan sependuduk jajahan kerajaan Belanda untuk ikut merayakannya…
Dengan demikian, kami akan mengadakan ‘demonstrasi kesetiaan’. Alangkah besar hati dan gembiraku… Syukur alhamdulillah bahwa aku bukan orang Belanda…”
Reaksi Belanda atas tulisan itu pun tak kalah galaknya. Bersama dua rekannya, dr Cipto Mangunkusumo dan Deuwes Dekker, pada 13 September 1913, Ki Hajar Dewantoro dibuang ke Negeri Belanda selama hampir enam tahun.
Source: Komunitas Penikmat Buku/Fiqh Menjawab