Alim agung itu adalah Raja’ bin Hajwah. Betapa gigih upayanya memasukkan nama Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Konspirasinya agar Bani Umayyah mau menerima dan siasatnya agar Umar bin Abdul Aziz bersedia.
Akhirnya pada masa Umar bin Abdul Aziz keadilan kemudian tergelar, kemakmuran hingga tak seorangpun bersedia menerima zakat, ketentraman sampai serigala pun enggan memangsa domba, kezaliman dan bid’ah sesat terhapus.
Kita belajar dari Raja’ untuk mengamalkan kaidah ushul, “Maa laa tudraku kulluhu fa laa tutraku kulluh, Apa-apa yang tidak bisa kita raih sepenuhnya, jangan ditinggalkan sepenuhnya.”
Raja’ tidak mengutuk sistem mulk monarki dinasti umayyah yang seringkali berbuat zalim sebagai kekufuran warisan Romawi dan Persia. Dia mendekati khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dan berikhtiar menghadirkan kebaikan didalamnya.
Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz mengeluh penguasa zalim pada masanya dalam doa, “Al Hajjaj di Irak, Al Walid bin Abdul Malik di Syam, Qurrah bin Syirk di Mesir, Ustman bin Hayyan di Madinah, Khalid bin Abdullah Al Qashari di Mekkah. Ya Allah, sepenuh bumi ini telah penuh dengan angkara murka. Maka selamatkanlah umat ini.” Doa yang terekam oleh Ibnu Al Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh 4/132
Allah menjawab doa Umar bin Abdul Aziz itu dengan dirinya. Menakdirkan dua tahun kekuasaannya yang singkat menjadi buah bibir sepanjang sejarah. Dua tahun yang lahir dari Raja’, seorang alim yang tak berputus asa ditengah sistem monarki yang bobrok.
Raja’ dan Umar bin Abdul Aziz sendiri memang tak kuasa mengubah sistem itu. Setelah Umar wafat kembalilah Baitul Maal melayani penguasa, foya-foya istana berjaya, dan kezaliman merebak dimana-mana. Mari bersama Raja’ bin Haiwah melakukan sesuatu didalamnya, bukan hanya mengutuk gelap dan sistem yang tak sreg di hati ini.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media