Sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua ini mempunyai peranan penting mendakwahkan Islam di Indonesia bagian timur, khususnya kota Palu. Di wilayah ini beliau mendedikasikan diri merubah perilaku masyarakat agar lebih baik dan mendirikan lembaga Islam, Al Khairat yang kini telah besar.
Lembaga pendidikan Islam Al Khairat yang terkenal di Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Al Khairaat ia dirikan di Palu, Sulawesi Tengah, kala usianya menginjak 41 tahun. Dan, ketika ia wafat pada usia 77 tahun, lembaga pendidikan Al Khairat telah menyebar di kawasan timur Indonesia.
Kala Guru Tua menutup mata, Al Khairat sudah memiliki 425 madrasah, sekolah, hingga perguruan tinggi. Kini, Alkhairaat telah menyebar ke 11 provinsi di kawasan timur Indonesia.
Dari sebaran itu, tercatat ada sekitar 2.000 madrasah dan sekolah Al Khairaat yang kini eksis.
“Antara Habib Idrus Al Jufri dan Al Khairat ibarat sekeping mata uang yang permukaannya berbeda, tapi memiliki nilai yang sama,” kata salah satu cucunya, Alwi bin Saggaf bin Muhammad Aljufri, dalam pidato haul ke-44 Habib Idrus Al Jufri di Palu, beberapa waktu lalu.
Biografi Idrus Al Jufri
Meski mengabdi di Indonesia, sosok ulama Palu, Idrus Al Jufri tidak lahir di negeri ini. Ia lahir pada 14 Sya’ban 1309 Hijriah atau 1889 M di Kota Taris, Provinsi Hadramaut, Yaman Selatan.
Meski lahir di “seberang”, tetapi di dalam darahnya masih mengalir garis keturunan Indonesia. Ibunya, Syarifah Nur, masih memiliki ikatan famili dengan Aru Matoa, raja di Wajo Sengkang, Sulawesi Selatan.
Artinya, ulama Idrus Al Jufri tetaplah seorang Indonesia. Semasa kecil, Idrus bin Salim Al Jufri telah memperlihatkan kecerdasan yang mumpuni, juga bakat memimpin.
Pada usia 12 tahun, misalnya, ia sudah hafal Alquran. Selain ilmu agama, ia juga menguasai ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu falak dan aljabar.
Lalu, ketika usianya menapak 19 tahun, ia mendapat amanah untuk menduduki jabatan yudikatif sebagai Mufti di tanah kelahirannya Yaman. Jabatan itu membuatnya tercatat dalam sejarah sebagai Mufti termuda.
Walau jabatan sudah di tangan, Idrus Al Jufri muda tak pernah silau dengan keduniawian. Ia tetap kritis terhadap lingkungan sosial di negerinya.
Bahkan, ia rela melepas jabatan Mufti ketika memilih jalan menentang imperialisme Inggris. Sikap itu pula yang kemudian membawanya datang untuk kali kedua ke Indonesia.
Hal itu bermula ketika Habib Idrus Al Jufri bersama Habib Abdur Rahman bin Ubaidillah Assagaf mengadakan perjalanan ke luar tanah kelahirannya untuk menggalang opini dunia internasional atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan pihak Inggris, di Yaman Selatan.
Sayang, rencana itu kandas. Ia tertangkap di Pelabuhan Aden dengan barang bukti sejumlah dokumen yang hendak dibawanya ke luar negeri.
Saat itu, pihak penguasa memberinya dua pilihan, kembali ke Hadramaut atau mengubah rute perjalanan ke Asia Tenggara.
Pilihan kedualah yang dipilih Habib Idrus Al Jufri. Sedangkan, sahabatnya memilih kembali ke Hadramaut.
Ulama Idrus Al Jufri Tiba di Indonesia
Sejarah mencatat, Habib Idrus Al Jufri tiba di Pulau Jawa pada 1926. Sekitar dua tahun ia berada di Jawa.
Di tanah Jawa ini ia sempat menjalin keakraban dengan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim adalah pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Sebelum memutuskan hijrah ke Palu, Habib Idrus Al Jufri sempat mendirikan Madrasah Ar-Rabitha di Solo.
Tetapi, ikhtiarnya untuk berdakwah bukanlah di Jawa.
Sempat menimbang pilihan ke Maluku dan Manado, akhirnya ia memutuskan untuk mengarungi lautan ke Palu. Di tempat baru ini ia menemukan lingkungan yang sangat berbeda dengan di Jawa.
Meski sudah ada penganut Islam, tetapi masih banyak warga di tempat ini yang melakoni ritual animisme, takhayul, dan khurafat.
Kondisi itu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Habib Idrus Al Jufri. Meski demikian, hatinya tak pernah gamang. Tekadnya bulat untuk mengikis paham sesat yang telanjur berkembang di tempat baru ini. Ikhtiar dengan penuh keikhlasan itu ternyata membuahkan hasil.
Aktivitas dakwahnya dan lembaga pendidikan Al Khairaat yang didirikannya terus berkembang ke seluruh wilayah Sulawesi Tengah, lalu menyebar ke kawasan Indonesia Timur, termasuk Papua.
Dari Gelar Pahlawan Hingga Nama Bandara
Sang ulama Palu ini di anugerahkan gelar pahlawan serta menjadikan namanya sebagai nama bandara di Sulawesi Tengah. Yaitu bandara Mutiara Sis Al Jufri.
Keinginan untuk memberikan gelar pahlawan kepada Guru Tua dibantu oleh Menteri Sosial dari partai PKS, Salim Segaf Al Jufri, yang juga salah satu cucu Habib Idrus.
Tetapi, sebagai pihak keluarga, ia juga menyerahkan keputusan itu kepada masyarakat.
“Kalau kami dari keluarga menyerahkannya kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Karena apa yang dilakukan Habib Guru Tua itu secara ikhlas, tanpa pamrih,” katanya.
Titah untuk memberikan gelar pahlawan, diakui Mensos Salim Segaf Al Jufri, berada di bawah kewenangannya. Tetapi, ia tak mau mengintervensi.
“Memang ada sekitar enam bulan di meja saya, tetapi saya sengaja tidak proses,” tuturnya.
Selain gelar pahlawan, nama Habib Idrus Al Jufri juga diusulkan untuk menjadi nama bandara di Sulawesi Tengah, yang sebelumnya bernama Mutiara.
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, mengusulkan penganugerahan gelar pahlawan kepada Habib Idrus Al Jufri yang berjasa menyebarkan Islam di wilayah Sulawesi Tengah, juga Indonesia Timur.
Habib Idrus Al Jufri berjasa pula mendirikan lembaga pendidikan Islam Al Khairat.
“Apa yang dia lakukan sangat berpengaruh bagi perkembangan umat dan kemajuan pendidikan. Jadi, beliau sangat pantas disebut pahlawan,” kata Menteri Agama itu.
Selain gelar pahlawan, nama Habib Idrus Al Jufri juga diusulkan untuk menjadi nama bandara di Sulawesi Tengah, yang sebelumnya bernama Mutiara.
Usulan tersebut kembali ditegaskan oleh Walikota Palu, Rusdy Mastura, pada peringatan haul ke-44 Guru Tua di Palu.
“Saya sudah mengusulkannya kepada DPRD agar nama lapangan terbang (bandara) Mutiara ditambah menjadi Mutiara Sayyidi Idrus bin Salim (SIS) Al Jufri. Insya Allah bisa cepat terwujud,” katanya.
Anggota MPR RI, Shaleh Muhammad Al Jufri, juga sudah menyampaikan usulan tersebut kepada pejabat setempat.
Nama Mutiara itu untuk menghargai Presiden Soekarno sebagai pihak yang memberikan nama Bandara Mutiara.
“Bagi kami, Habib Idrus Al Jufri adalah mutiara yang memancarkan sinarnya untuk Sulawesi Tengah sehingga nama tersebut cukup tepat,” kata MPR RI, Shaleh.
Disadur : MJTarhim.com/AbahZaky