Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Bahkan boleh jadi lebih jauh lagi dari 500 tahun yang lalu.
Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.
Di Jakarta juga ditemukan Prasasti Tugu ditemukan di Cilincing, Jakarta Utara Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Pulau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Ciaruten.
Setelah Tarumanegara hancur oleh Sriwijaya, menurut sejarah, pada abad ke 14, Jakarta menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran. Sebuah kerajaan Hindu yang pusatnya terletak di Bogor.
Sunda Kelapa dipimpin oleh Sanghyang Surawisesa yang setahun sebelumnya pernah diutus oleh ayahandanya, Sri Baduga (Ratu Jayadewata) Raja Pakuan Pajajaran, untuk pergi ke Malaka meminta bantuan Portugis, Alfonso d Albuquerque menghadapi pengaruh kerajaan Islam Demak dan Cirebon.
Menurut Pires, saat itu hanya sedikit pedagang Muslim yang diperbolehkan masuk ke Sunda Kelapa. Ekspedisi Portugis kedua pada 1522 dipimpin oleh Enrique Leme yang menjalin perjanjian persahabatan dan monopoli perdagangan lada dengan Surawisesa pemimpin Sunda Kelapa.
Koalisi Sunda-Portugis ini ditandai dengan prasasti batu Padrao tertanggal 21 Agustus 1522 yang ditanam di tepi pantai. Batu Padrao ditemukan di Jalan Cengkeh persis di samping rel kereta api pada 1918, dan kini disimpan di Museum Nasional. Isi perjanjian Padrao berupa persahabatan militer dan ekonomi antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran.
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Bandar ini menjadi pelabuhan perantara paling ramai dikunjungi para pedagang Arab, India, Cina, dan para pedagang Nusantara setelah Malaka.
Ekspansi Islam Kerajaan Demak
Kawasan Jawa Barat sampai tahun 1526 yang dikuasai Pajajaran menjadi fokus politik ekspansi Kerajaan Demak dengan tujuan melakukan islamisasi di wilayah itu. Menancapkan pengaruh secara politis dan mengontrol kegiatan perdagangan di pantai Utara Jawa bagian Barat dan Selat Sunda merupakan tujuan utamanya.
Politik ekspansi ini berarti berhadapan dengan Kerajaan Pajajaran yang sejak tahun 1522 telah menjalin persekutuan dengan Portugis, yang merupakan musuh besar Demak.
Disamping itu, Portugis dan Demak berpacu dengan waktu untuk segera menduduki Sunda Kelapa. Pada tahun 1526, Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.
Pada tahun yang sama, Sultan Trenggono dari kerajaan Islam Demak mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit dibawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa.
Fatahillah sendiri memiliki nama kebesaran. Portugis menyebut nama Fatahillah dengan “Falatehan”. Sultan Demak menggelarnya “Orang agung dari Pase”. Dalam versi yang lain orang Portugis memanggilnya Fatahillah Khan. Masyarakat jawa yang hidup semasanya memanggilnya “Ki Fatahillah”, yang berarti orang terhormat karena kealiman dan ketokohan dalam masyarakat Jawa. Dalam versi lain Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati yang dikawinkan oleh Sultan Demak.
Ekspansi armada perang Kerajaan Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.
Berbeda dengan pasukan yang pernah dikirim ke Malaka, prajurit Demak kali ini dipimpin oleh Fatahillah yang merupakan prajurit yang terlatih. Sejumlah perwiranya merupakan veteran pasukan Pati Unus yang terkenal memiliki pengalaman perang laut untuk bagaimana menghadapi kapal-kapal Portugis.
Setelah Cirebon menggabungkan diri dengan Demak, maka Fatahillah tidak langsung menggempur Sunda Kelapa, melainkan mengarahkan armadanya ke Banten yang tidak dipertahankan secara kuat oleh tentara prajurit Kerajaan Pajajaran.
Sehingga, Banten dapat diduduki oleh gabungan pasukan Kerajaan Islam Demak dan Cirebon pada akhir tahun 1526. Penguasa Banten kemudian dipegang oleh Maulana Hasanudin, tokoh penyebar Islam dari Cirebon.
Pada awal januari tahun 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda Kelapa, sementara pasukan Banten pimpinan Maulana Hasanudin secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah Pajajaran dari arah Barat. Sedangkan pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian Timur Jawa Barat.
Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa masih dipertahankan oleh Kerajaan Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut. Pada akhir bulan Februari 1527, armada Fatahillah memasuki perairan Sunda Kelapa dan dihadang oleh kapal-kapal Pajajaran yang dari segi teknologi persenjataan dan pengalaman masih dibawah armada Demak. Kapal-kapal Demak melakukan taktik bombardemen jarak jauh dengan meriam, kemudian diikuti lontaran bola api dan anak panah ke arah kapal-kapal Kerajaan Pajajaran.
Kemudian dituntaskan oleh penguasaan prajurit yang berayun dari kapal sendiri ke kapal musuh. Armada Demak dengan mudah melumpukan armada kapal perang Kerajaan Pajajaran, yang kemudian segera merapat ke pelabuhan dibawah hujan peluru meriam dari pantai yang selalu meleset karena kurangnya keterampilan prajurit pengawaknya.
Seluruh pasukan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Adipati Keling dan Adipati Cangkuang dari Cirebon berhasil didaratkan dan langsung berhadapan dengan pasukan darat Kerajaan Pajajaran yang dipimpin Sri Baduga Maharaja.
Dalam waktu sehari Sunda Kelapa dapat dikuasai oleh pasukan Fatahillah. Oleh karena itu, Sultan Trenggono mempercayakan Fatahillah sebagai penguasa Sunda Kelapa yang baru.
Kapal-kapal dan prajurit Kerajaan Demak yang disertakan dalam ekspedisi itu tetap dipertahankan di Sunda Kelapa untuk mendukung gerakan pasukan Islam yang sedang bergerak ke kawasan Pakuan (daerah Bogor) yang menjadi ibu kota Pajajaran. Selain itu, disiapkan untuk menghadapi kedatangan armada Portugis yang diketahui sedang bergerak ke arah Jawa bagian barat.
Kemenangan Maritim Fatahillah, Munculnya Nama Jayakarta
Perkembangan politik di Sunda Kelapa ternyata tidak diketahui oleh armada Portugis. Pada bulan Juni 1527 kapal-kapal Portugis sudah terlanjur berada di Teluk Sunda Kelapa.
Dimana sebuah kapal Portugis sedang ditugaskan merapat di pelabuhan dan menurunkan pasukan bersenjata lengkap untuk merealisasikan perjanjian membangun loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng pertahanan) antara Portugis dengan Kerajaan Pajajaran pada tahun 21 Agustus 1522.
Dalam perjanjian itu, Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Pajajaran akan memberikan Portugis seribu keranjang lada sebagai tanda persahabatan.
Fatahillah sebagai penguasa baru Sunda Kelapa tentu saja menolak maksud Portugis itu yang berakhir dengan pertempuran di Kota Sunda Kelapa. Kekuatan yang tidak seimbang membuat pasukan Portugis mundur kembali ke kapalnya.
Kapal Portugis yang naas itu gagal meninggalkan perairan Sunda Kelapa dan tenggelam karena dihujani tembakan meriam dari pantai dan dikepung kapal-kapal armada Kerajaan Demak yang ternyata lebih lincah untuk pertempuran pantai.
Kapal-kapal Portugis lainnya membentuk formasi di perairan terbuka untuk menghadang kedatangan armada Kerajaan Demak yang diperkirakan akan muncul dari Teluk Sunda Kelapa. Fatahillah sengaja menahan armadanya untuk tetap bertahan di teluk lantaran mempertahankan Sunda Kelapa menjadi tujuan utamanya.
Hal ini didasarkan pada dua perkiraan, yaitu Pertama kapal-kapal Kerajaan Demak akan sulit menghadapi armada Portugis di laut terbuka karena ketertinggalan teknologi senjata dalam hal jangkauan meriam dan menggiring Portugis untuk memaksakan pertempuran pantai yang memang menjadi spesialisasi kapal dan prajurit Demak.
Kedua, pada saat itu sedang terjadi badai di perairan terbuka yang membahayakan pelayaran kapal-kapal Demak karena tonase dan ukurannya relatif kecil. Namun juga akan menjadi kerugian pasukan Portugis.
Dalam suasana yang serba mencekam dan tidak pasti itu, sebuah kapal perang Portugis mencoba memasuki teluk untuk menghindari badai. Namun, kehadiran kapal itu segera dikepung dan ditenggelamkan oleh kapal-kapal Kerajaan Demak yang mampu mengarahkan meriam dan bola api tepat di lambung dan geladak kapal yang naas itu.
Empat kapal Portugis lainnya tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih menghadapi badai. Tenggelamnya dua kapal ini membuat Fransisco de Sa memerintahkan armadanya kembali ke Malaka.
Kemenangan pertempuran ini menunjukkan kehebatan pasukan kerajaan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah. Atas kemenangan ini, kemudian Fatahillah diangkat sebagai Gubernur di Sunda Kelapa.
Untuk memperingati kemenangan armada Kerajaan Demak dalam merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, dan mempertahankannya dari Portugis.
Maka pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah mengubah nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta yang berarti Kota Kemenangan. Sehingga, setiap tanggal 22 juni diperingati sebagai ulang tahun kota Jakarta, yang sekarang menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa dengan nama yang diambil dari Al-Qur’an, yaitu Fatham Mubina yang artinya Jayakarta. Kemudian disingkat menjadi Jakarta. Walau sempat diubah Belanda menjadi nama Batavia, yang berasal dari wilayah nenek moyang Belanda. Jepang yang membenci nama Eropa, juga andil mengubah nama Batavia menjadi nama Jakarta kembali. Saat itu dinamakan “Jakarta Tokubetshu Shi”, yang artinya Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
*Yang perlu dicatat :
Kemenangan Fatahillah itu karena pandai memainkan strategi maritim dalam menguasai kondisi dan geografis Sunda Kelapa. Meskipun peralatannya terbatas tetapi semangat pasukan Demak yang dijiwai dengan semangat jihad fi sabililliah, mampu mengalahkan kekuatan Portugis yang juga menggunakan strategi maritim.
Selain itu tidak dipungkiri kemenangan itu juga ditopang oleh keberpihakan alam, di mana saat itu Teluk Sunda Kelapa sedang dirundung badai sehingga banyak kapal Portugis yang hancur akibat badai itu.
Tentu semua karena izin Allah Swt, Tuhan Semesta Alam yang memberikan setiap kemenangan bagi umatnya yang berperang di atas jalan-Nya. Dengan kemenangan itu, maka Jayakarta menjadi pusat penyebaran Islam untuk daerah Jawa Barat dan Sumatera bagian selatan.
Sumber : Jurnal Maritim, Sunda Andy, Babat Caruban Cirebon (1720 M), Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Indonesia (1980), H.M. Zainuddin dalam Tariekh Aceh dan Nusantara, Strategi Maritim dalam Perang Laut Nusantara oleh Laksada Hery Setianegara terbitan Pusjarah TNI.