Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
 
Salah satu sebab perkembangan ushul fiqih terkesan mandeg adalah bahwa wilayah disiplin ilmu ini seakan terbatas pada wilayah hukum saja. Padahal wilayahnya sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan. Jika kita kembalikan makna fiqih secara bahasa yang berarti paham [1] maka seharusnya ushul fiqih bermakna ilmu yang membahas methode, dasar-dasar pendekatan untuk memahami segala sesuatu.
Selaras dengan semangat Syeikh Al-Qardhawi dalam merekonstruksi makna fiqih. Menurut beliau bahwa fiqih adalah sebuah pemahaman yang komprehensif dan utuh terhadap Islam [2]. Anggapan bahwa wilayah cakupan ushul fiqih terbatas pada wilayah hukum saja, dan seolah-olah disiplin ilmu lain tidak butuh ushul fiqih.
Menurut Minhaji [3], hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, karena Imam Syafi’i sebagai pendiri ilmu ini dikenal sebagai ahli hukum. Kedua, hukum Islam dipandang sebagai salah satu ajaran pokok dalam Islam. Ketiga, pada masa pra modern, hukum Islam terutama terkait permasalahan madzahib ditengarai sebagai penyebab kemunduran umat Islam, karena itu para pengkaji Islam merasa apriori dan memandang sebelah mata bahkan phobi pada semua hal terkait dengan hukum Islam, terutama  ushul fiqih.
Dengan demikian secara otomatis metode dan pendekatan dalam wilayah kajian ushul fiqih harus diperluas. Hal ini merupakan tantangan para ahli dan akademisi untuk membuat semacam metode komsprehensif, utuh, holistik dan kemudian dari metode ini melahirkan kurikulum yang aplikatif, dinamis, komprehensif, utuh/kulli dan fungsional.
Urgensi Standarisasi Kurikulum Ushul Fiqih dalam Menjaga Aqidah dan Pemikiran
Pada tataran teoritis dan konseptual, kita dapatkan sangat sedikitnya seorang akademisi yang secara serius mendalami ilmu ushul fiqih sebagai basic landasan berpikir bagi disiplin cabang ilmu yang dia tekuni. Kebanyakan adalah para pakar pendidikan, pakar ekonomi, pakar hadist dan lain-lain yang fasih berbicara tentang ilmu yang dia tekuni tetapi awam dalam ushul fiqih. Sebaliknya juga banyak pakar yang mahir ushul fiqih tetapi tidak paham tentang cara penerapan ilmu ushul fiqih dalam masalah kontemporer.
Sebagai contoh kasus adalah terkait konsep qath’i dan zhanni. Qath’i dan zhanni adalah pembahasan ushul fiqih menyangkut persoalan al-tsubut (ketetapan) atau al-wurud (datangnya sumber), dan al-dalalah (penunjukan kandungan makna). Maka jika di katakan sebuah nash qath’iyatu al-tsubut artinya bahwa nash tersebut qath’i (pasti) datangnya dari sumber yang sama sekali tidak diragukan, karena pasti kebenarannya. Jika dikatakan sebuah nash qath’iyatu al-dalalah maka teksnya menunjukkan pada makna tertentu yang dapat dipahami darinya, tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, dan tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari makna tekstualnya.
Banyak para akademisi kita yang notabene sudah bergelar guru besar sekalipun belum mapan dalam memahami konsep qath’i dan zhanni. Mereka merasa bingung atau bahkan imma’ah (membeo) dengan pendapat para oreantalis, yang kita semua tahu bahwa para oreantalis mempelajari Islam bukan untuk khidmah terhadap Islam akan tetapi untuk menghancurkan Islam dari pondasinya. Dan hasilnya mereka, para mahasiswa dan akademisi kita menggugat nash-nash Al Qur’an yang qath’iyatu al-dalalah, yang maknanya sudah jelas dan pasti tidak mengandung makna lain selainnya. Mereka menggugat ayat-ayat waris, jilbab, poligami, gender, zakat, kepemimpinan dan ayat-ayat lain. Mereka beralasan demi keadilan, kemashlahatan maka ayat-ayat tersebut harus ditafsir ulang versi mereka.
Persoalan ini memang bukan hanya persoalan akademik yang solusinya harus melibatkan perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus pengajaran usul fiqih, akan tetapi juga persoalan-persoalan birokrasi dan political will, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang ada.
Ketika menjadi persoalan akademik, maka peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam pemecahannya. Untuk menjaga aqidah dan pemikiran mahasiswa dan akademisi kita, perguruan tinggi dituntut menyiapkan pengembangan kurikulum dan perumusan silabus yang standar, tepat dan memadai, sehingga mampu menjamin output lulusannya memiliki basis/pondasi aqidah dan pemikiran yang benar.
Dengan dibukanya berbagi program studi keislaman di perguruan tinggi, maka ushul fiqih harusnya menjadi bagian integral dari sistem pengajaran fakultas dan jurusan itu. Dan sudah menjadi keharusan bagi institusi perguruan tinggi untuk mempersiapkan output lulusannya. Lulusan perguruan tinggi Islam harus memiliki kualitas yang memenuhi kualifikasi yang standar pada ilmu ushul fiqih dan aplikasinya khususnya pada kompetensi bidang ilmu yang dia tekuni.
Untuk menjawab tantangan tersebut pemerintah harus berupaya secara sistematis, baik Diknas maupun Depag khususnya yang menangani pendidikan tinggi Islam dengan menyediakan kurikulum ushul fiqih untuk level program studi sarjana S-1, S-2 dan S3. Upaya perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus dalam sistem pendidikan ushul fiqih harus melibatkan semua elemen institusi pendidikan pada perguruan tinggi Islam termasuklan birokrasi dan political will. Karena jika hal ini di lakukan secara terpisah (masing-masing) oleh seluruh  Perguruan Tinggi hal tersebut  menimbulkan perbedaan kurikulum yang diajarkan, padahal standar yang ingin dicapai sama, yaitu  kurikulum standar yang menjadi acuan bersama.
Saat ini penyusunan kurikulum ushul fiqih oleh masing-masing perguruan tinggi Islam secara sendiri-sendiri dilakukan berdasarkan latar belakang akademik para pengajarnya semata. Bahkan, kurikulum tersebut kadang disusun oleh yang bukan ahlinya. Misalnya disusun oleh ahli pendidikan atau ahli ilmu sosial atau pemikiran Islam. Mereka sama sekali tidak mendalami apalagi memahami ushul fiqih. Hasilnya kurikulum ushul fiqih kurang diimbangi dengan penelitian, analisis dan aplikasi terhadap perkembangan masalah-masalah kontemporer dan kebutuhan kompetensi dari intsitusi-instusi terhadap lulusan perguruan tinggi.
Untuk merumuskan  kurikulum nasional ushul fiqih yang standar yang bisa menjadi acuan perguruan tinggi tersebut, para pakar baik dari kalangan akademisi maupun  praktisi dari kalangan ulama harus terlibat aktif melakukan analisa komprehensif terhadap kurikulum ushul fiqih melalui studi data primer dan studi data sekunder. Dan melakukan kajian, komparasi  dan analisis terhadap kurikulum beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia dan luar negeri. Dari upaya ini akan lahir sebuah kurikulum nasional ushul fiqih yang dapat menjadi acuan (standar)  yang mampu menjawab tantangan dan kemajuan zaman khususnya isu-isu pemikiran kontemporer.
Referensi :
[1] Fiqih scara bahasa berarti paham, lihat Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal 23, sedangkan fiqih secara istilah berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci. Lihat : Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25
[2] Yusuf Qardhawi. Aulawiyat al-ahkam fi al-marhalah al-Qadimah. Muasasah Risalah:Beirut 1997, hal.26
[3] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal.23