Oleh : Sayyid Sabiq
Abu Hanifah, Syafi’i, dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya, sedangkan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa. Ahmad berpendapat bahwa berbuka lebih utama. Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang lebih utama adalah yang lebih mudah. Jika ia kesulitan dalam mengqadha dan lebih mudah jika berpuasa di hari-hari Ramadhan, maka ia lebih baik berpuasa.
Syaukani berpendapat, jika berpuasa akan memberatkannya atau membahayakan keselamatannya, maka tidak berpuasa lebih baik baginya. Begitu juga dengan orang yang menolak menerima rukhshah, tidak berpuasa lebih baik baginya. Demikian juga dengan orang yang khawatir akan merasa ujub atau riya jika berpuasa saat musafir, maka ia lebih baik tidak puasa. Namun, jika semua hal di atas bisa dihindari, maka ia lebih baik berpuasa.
Jika seorang musafir meniatkan puasa di malam hari, lalu pagi harinya ia sudah mulai puasa, tidak mengapa jika setelah itu ia membatalkan puasanya. Jabir bin Abdullah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pergi ke Mekah pada saat Penaklukan Mekah. Beliau berpuasa hingga tiba ke dekat lembah  Ghamime (sebuah lembah dekat perkampungan Asfan) dan orang-orang pun ikut berpuasa. Lalu ada yang berkata kepada Nabi,
Orang-orang keberatan jika harus meneruskan puasa. Mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan.” Maka Nabi saw. meminta segelas air, lalu meminumnya. Ini terjadi setelah ashar. Melihat Nabi membatalkan puasanya, ada yang ikut membatalkan puasa mereka dan ada yang melanjutkan puasa mereka. Ketika Nabi mendengar bahwa ada yang masih berpuasa, beliau bersabda, “Mereka itu para pembangkang.” (H.R. Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi) Tirmidzi menshahihkan riwayat ini.
Adapun jika berniat puasa saat mukim, lalu melakukan perjalanan (musafir) di siang hari, maka jumhur ulama berpendapat, “Ia tidak boleh membatalkan puasanya.”
Sementara itu, Ahmad dan Ishaq membolehkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Muhammad bin Ka’ab meriwayatkan, “Pada bulan Ramadhan, aku datang kepada Anas bin Malik yang hendak musafir. Kendaraannya telah siap, dan ia juga telah mengenakan pakaian musafir. Ia minta disediakan makanan, lalu ia makan. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah ini sunah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Kemudian ia menaiki kendaraannya.
Ubaid bin Jubair menceritakan, “Di suatu bulan Ramadhan, aku berlayar dengan sebuah kapal bersama Abu Bashrah Al-Ghifari dari kota Fustot (Mesir kuno). Ia mengemudikan perahu layarnya. Kemudian ia mendekatkan makan siangnya. Ia berkata,
Mendekatlah.’ Aku bertanya, ‘ Bukankah engkau masih berada di perkampungan?’ Abu Basrah menjawab, ‘Apakah engkau membenci ajaran Rasulullah saw.?'” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud) Sanadnya terdiri dari orang-orang yang terpercaya.
Syaukani berkata, “Kedua hadits di atas menegaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan membatalkan puasanya sebelum keluar dari kampungnya. Ibnu Arabi berkata, “Hadits Anas di atas shahih, yang berarti boleh membatalkan puasa bagi orang yang benar-benar sudah siap berangkat melakukan perjalanan jauh.’ Inilah pendapat yang benar.”
Perjalanan jauh (safar) yang diperbolehkan tidak puasa adalah safar yang diperbolehkan shalat qashar. Begitu juga jangka waktu dibolehkannya tidak puasa adalah sama dengan jangka waktu dibolehkannya shalat qashar.
Mansur Al-Kalbi meriwayatkan bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan, Dihyah bin Khalifah berpergian dari sebuah kampung di Damaskus. Jarak tempuh perjalanannya sama dengan jarak antara Fustot ke Uqbah (kurang lebih satu farsakh). Saat itu, ia membatalkan puasanya. Sebagian rombongan ikut membatalkan puasa, namun sebagian yang lain tidak mau membatalkan puasa mereka. Ketika sudah sampai di kampungnya, ia berkata,
Hari ini aku melihat satu perkara. Aku tidak mengira akan melihatnya. Ada sekelompok orang yang tidak suka dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.” Ia mengatakannya kepada mereka yang tetap berpuasa. Setelah itu ia berkata, “Ya Allah, kembalikan aku kepada-Mu.” (Semua perawi hadits ini dapat dipercaya, kecuali Manshur Al-Kalbi. Tetapi Al-Ajali menegaskan bahwa ia bisa dipercaya)
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat