Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa berdasarkan hikmah-Nya yang mendalam dan rahmat Nya yang luas, Allah SWT tidak membiarkan manusia begitu saja, dan tidak meninggalkan mereka dengan sia-sia. Akan tetapi, Dia mengutus kepada mereka sejumlah Rasul yang memberikan kabar gembira dan peringatan.
“Tidak ada satu umatpun melainkan pada mereka ada orang yang memberikan peringatan” (Q.S. Fathir : 48)
Al Qur’an menetapkan bahwa Allah tidak menghisab dan menghukum manusia kecuali setelah menegakkan hujjah dengan mengirimkan seorang Rasul-Nya yang menyampaikan dakwah dan kewajiban kepada Tuhan.
“Kami tidak memberikan siksa sebelum mengutus seorang rasul” (Q.S. Al Isra : 15)
Karena itu sejumlah ulama menegaskan bahwa hujjah dan siksa baru diberikan kepada kaum kafir setelah dakwah Islam sampai kepada mereka. Adapun apabila dakwah tersebut sampai dalam bentuk cacat dan buram maka hujjah tidak bisa ditegakkan atas orang yang lalai dan berseberangan.
Yang pasti seluruh manusia senantiasa membutuhkan risalah para Nabi yang telah Allah muliakan diantara seluruh makhluk-Nya. Mereka adalah orang-orang yang paling suci karakternya, paling mulia akhlaknya, serta paling cerdas dan bijak.
“Allah lebih mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya” (Q.S. Al An’am : 124).
Akal semata tidak cukup untuk menampilkan seluruh hakikat kebenaran. Terutama yang terkait dengan sesuatu yang Allah sukai dan ridhai dari hamba-Nya. Karena itu, akal membutuhkan pembantu yang bisa meluruskannya ketika keliru dan mengingatkannya ketika menyimpang. Pembantu tersebut adalah wahyu baginya ibarat cahaya diatas cahaya.
Tugas para Rasul adalah mengantar manusia menuju jalan Allah yang lurus yang menampung seluruh makhluk yang Allah cintai. Mereka juga bertugas menerangkan kepada manusia yang adil terkait dengan berbagai persoalan besar yang akan manusia kerapkali berbeda pandangannya didalamnya. Allah berfirman
“Kami telah mengutus para Rasul Kami dengan membawa petunjuk. Kami turunkan bersama mereka kitab suci dan timbangan agar manusia tegak di atas keadilan” (Q.S. al Hadid : 25).
Sejarah dan pengalaman umat manusia menegaskan bahwa manusia membutuhkan referensi hukum yang lebih tinggi yang mengantarkan mereka menuju kebaikan dan kemashlahatan, tanpa membiarkan mereka kepada akal semata. Seringkali mereka mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Namun kemudian nafsu, syahwat, kepentingan pribadi dan bersifat sementara mengalahkan mereka sehingga akhirnya mereka menetapkan undang-undang dan aturan yang berbahaya.
Hal ini seperti yang kita saksikan di Amerika ketika sejumlah negara bagian berusaha mengharamkan minuman keras karena bahaya sudah diketahui bersama. Namun, mereka dikalahkan oleh hawa nafsu sehingga mengeluarkan undang-undang yang membolehkannya untuk diproduksi, disebarkan, diminum, dan diperdagangkan.
Sesuai dengan hikmah-Nya, Allah menghendaki setiap Rasul diutus kepada kaumnya dan risalahnya bersifat sementara untuk jangka waktu tertentu sampai diutus Nabi yang lain. Sejalan dengan itu, Allah menghapus hukum-hukum yang ada berdasarkan kehendak-Nya sesuai dengan waktu dan tempatnya. Allah berfirman
“Untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (Q.S. Al Maidah : 53).
Bisa saja Nabi tersebut mengamalkan syariat sebelumnya sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar Nabi Bani Israil.
Ini berlaku sampai Allah SWT mengutus Rasul penutup, Nabi Muhammad, dengan membawa risalah yang bersifat umum, kekal, dan komprehensif. Ia mencakup semua tempat, kekal sepanjang zaman, dan komprehensif meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Sebagaimana firman Allah
“Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta” (Q.S. Al Anbiya).
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kalian. Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi” (Q.S. Al Ahzab : 40).
“Kami turunkan kepadmu Al Kitab (Al Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yangberserah diri” (Q.S. An Nahl : 89).
Allah SWT mengetahui bahwa umat manusia telah mencapai masa kematangannya dan Rasul terakhir layak dikirim kepada mereka dengan membawa kitab dan syariat yang terakhir. Syariat tersebut memuat berbagai prinsip dasar yang membuatnya layak berlaku untuk setiap waktu dan tempat.
Dia tanamkan pada syariat tersebut berbagai faktor yang membuatnya abadi, luas, dan lentur sehingga selalu sesuai dengan perkembangan yang ada. Didalamnya Dia juga memberikan formula bagi setiap penyakit dari apotek Islam itu sendiri. Disamping itu, khazanahnya demikian kaya sehingga mampu menjawab semua persoalan serta mampu keluar dari setiap dilema dengan cara yang mudah dan sederhana.
Ciri dari aqidah Islam adalah ia memandang keimanan terhadap seluruh kitab suci yang Allah turunkan dan semua Rasul yang Dia utus sebagai salah satu pilarnya. Dengannya keimanan baru menjadi benar.
“Katakanlah (wahai orang-orang mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, berikut apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, juga aoa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Q.S. Al Baqarah: 136).
Islam adalah akidah yang membangun, bukan menghancurkan. Ia menyempurnakan, meluruskan dan membenarkan ajaran sebelumnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)