Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Perbedaan merupakan rahmat Allah swt terhadap manusia. Seandainya syariat hanya berupa satu pandangan tentu akan menyulitkan umat. Perbedaan menjadi khazanah kekayaan pemahaman dan kelapangan bagi umat. Keragaman pandangan membuka ruang untuk memilih dalil yang paling kuat, jalan yang paling tepat, serta yang paling sesuai untuk mewujudkan sejumlah tujuan syariat dan kemashlahatan makhluk. Kita telah melihat bagaimana umat demikian lapang menerima berbagai mazhab dan pandangan.
Perbedaan yang ada mengarah kepada kekayaan dan variasi, bukan perbedaan yang mengarah kepada konflik dan pertentangan. Kita semua juga harus komitmen dengan etika berbeda pendapat dan mengetahui fiqih ikhtilaf atau yang dikenal fiqih i’tilaf (fiqih persatuan). Maksudnya pandangan boleh berbeda, tetapi hati kita tidak boleh berbeda.
Dalam menghadapi berbagai persoalan umat yang besar ini kita harus berdiri dalam satu barisan seperti satu bangunan yang kokoh saling menguatkan. Kita tidak boleh memberikan celah untuk musuh yang sedang menunggu kesempatan guna mencerai beraikan persatuan dan memecah belah kita. Terutama dalam kurun waktu yang sulit ini dimana umat dihadapkan pada makar yang paling hebat dan agamanya sedang dihadapkan pada bahaya.
Persatuan umat harus diawali diantara para ulama yang memimpin umat lewat hukum-hukum syariat diatas landasan. Yang kita tuju adalah adanya dialog yang konstruktif yang bertujuan memperlihatkan kebenaran dan membuka pintu kerjasama dalam kebaikan. Dialog tersebut pertama-tama harus terwujud diantara para ulama dan pemikir dalam suasana persaudaraan serta dibawah kerangka ilmiah dan sikap objektif, jauh dari lontaran pemikiran yang membabi buta.
Selanjutnya kita meyakini bahwa hubungan antara muslim dan saudara sesama muslim berdasarkan prasangka yang baik serta mengantarkan menuju kebaikan. Seorang muslim tidak boleh memposisikan saudaranya sebagai orang yang berdosa, fasik, dan ahli bid’ah kecuali dengan dalil qath’i. Dan hal terburuk adalah mengkafirkan tanpa hujjah dan bukti yang jelas.
Hadist-hadist shahih yang demikian banyak mengingatkan kita untuk tidak mengkafirkan antar kaum muslimin. Hal ini tak boleh dipandang remeh agar setiap kelompok tidak mudah mengkafirkan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Nabi saw bersabda,
“Siapa yang menyebut seseorang sebagai kafir atau mengatakan, “Musuh Allah!” padahal tidak demikian, maka kondisi tersebut kembali kepadanya.” (H.R. Muslim dan Ahmad dari Abu Dzarr al Ghifari ra.)
“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, Wahai orang kafir!” maka kekafiran melekat pada salah satu dari keduanya jika ia memang seperti yang dikatakan. Namun, jika tidak ia kembali kepada yang mengucapkannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar)
Sikap mengkafirkan adalah dosa agama, kesalahan ilmiah, dan sebuah kejahatan sosial. Sebab ia memicu perpecahan umat dan bisa memicu munculnya kondisi yang diperingatkan oleh Rasulullah saw.,
“Janganlah sesudah kepergianku kalian kembali saling membunuh.”
Meskipun tindakan mengkafirkan diperbolehkan jika disertai dengan bukti-bukti nyata, namun ia harus ditujukan kepada jenis perbuatannya bukan kepada orangnya. Misalnya dengan berkata, “Siapa yang mengucapkan ini dan itu berarti ia telah kafir. Siapa yang berbuat demikian berarti ia kafir. Siapa yang mengingkari ini berarti ia kafir.” Jadi tidak boleh menyebutkan orangnya dengan berkata, “Fulan kafir”, kecuali setelah adanya interogasi, penelitian, dan pemeriksaan tanpa disertai keraguan sedikitpun. Ini hanya dapat dilakukan oleh peradilan.
Amal yang paling utama disisi Allah adalah berusaha merekatkan kaum muslimin, memperbaiki hubungan diantara mereka, menghilangkan sebab-sebab perpecahan diantara kelompok dan golongan mereka.
“Orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al Hujurat : 10)
Dengan melihat kepada kesamaan akidah, syariat dan tujuan mereka dikumpulkan oleh persaudaraan atas landasan iman, maka Islam memberikan kepada persaudaraan ini sejumlah hak yang tetap dalam hal pembelaan solidaritas dan perlindungan.
“Muslim yang satu saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya dizalimi.”
Kaum muslimin adalah bersaudara. Mereka disatukan oleh akidah yang sama, kiblat yang sama, iman kepada kitab yang sama, rasul yang sama, dan syariat yang sama. Mereka harus menghilangkan seluruh faktor yang bisa memecah belah kesatuan mereka. Entah itu berupa sikap fanatisme ras dan teritorial, sikap mengekor, sikap mengikuti hawa nafsu, dan egoisme yang menginjak-injak kepentingan umat dan bahkan menampakkan loyalitas kepada musuh umat Islam.
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu. Maka sembahlah Aku” (Q.S. Al Anbiya : 92)
Mereka harus merelaisasikan solidaritas Islam dari sebatas wacana kepada amal yang nyata. Mereka harus saling mendukung secara politis diberbagai blok dunia. Umat Islam layak menjadi sebuah blok terbesar jika mereka mau merespon seruan Tuhan.
“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan jangan berpecah belah” (Q.S. Ali Imran : 103)
Kaum muslimin harus bahu membahu untuk membebaskan negeri Islam dari para perampasnya sesuai dengan orientasi untuk meraih kemashlahatan Islam yang paling tinggi, serta kebutuhan dan tuntutan dibidang militer, ekonomi,dan kemanusiaan. Aktivitas mereka dalam hal ini merupakan jihad yang paling utama dalam Islam. Siapa yang tidak mampu seorang diri melawan agresor dan memerdekakan negerinya, maka seluruh kaum muslimin berkewajiban menolongnya semampu mungkin.
“Janganlah kalian saling bertikai! Jika demikian kalian pasti gagal dan kehilangan kekuatan” Q.S. Al Anfal : 46
Palestina khususnya menjadi tempat jihad kaum muslimin pada saat ini. Ia adalah tanah air kenabian, tempat Isra Mi’raj Nabi saw, serta negeri tempat Masjidil Aqsa. Ia adalah persoalan setiap muslim. Karena itu, seluruh umat Islam harus membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduknya agar negeri mereka yang terampas bisa merdeka, agar rakyatnya bisa mendapatkan haknya kembali, serta agar mereka bisa menegakkan negara yang merdeka ditanah airnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)