0878 8077 4762 [email protected]

Adab Terhadap Rambut (bagian 3)

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
3. Larangan Mencukur Rambut Dengan Cara Qaza’
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ القَزَعِ
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang qaza’.” [1]
Apakah Qaza’?
Nafi’ –seorang tabi’in dan pelayan Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma menjelaskan:
يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِيِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ
Kepala bayi yang dicukur sebagian dan dibiarkan sebagian lainnya“. [2]
Contoh qaza’ adalah seorang yang membiarkan bagian depan kepala, tapi mencukur bagian belakangnya, atau yang tengah dibiarkan tapi kanan kirinya dicukur. Inilah yang kita lihat dari model-model rambut orang kafir yang ditiru remaja Islam. Kadang ada orang tua yang mencukur anaknya seperti ini lalu dibuat buntut, sekedar untuk lucu-lucuan.
[Baca juga: Adab Terhadap Rambut (bagian 1)]
Hal ini dilarang karena bertentangan dengan prinsip keadilan Islam, sampai-sampai dalam masalah yang dianggap sepele ini Islam tidak mengkehendaki adanya kezaliman.
Ada penjelasan yang bagus dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, sebagaimana dikutip oleh murid kesayangannya, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, sebagai berikut:
قَالَ شَيخنَا وَهَذَا من كَمَال محبَّة الله وَرَسُوله للعدل فَإِنَّهُ أَمر بِهِ حَتَّى فِي شَأْن الانسان مَعَ نَفسه فَنَهَاهُ أَن يحلق بعض رَأسه وَيتْرك بعضه لِأَنَّهُ ظلم للرأس حَيْثُ ترك بعضه كاسيا وَبَعضه عَارِيا وَنَظِير هَذَا أَنه نهى عَن الْجُلُوس بَين الشَّمْس والظل فَإِنَّهُ ظلم لبَعض بدنه وَنَظِيره نهى أَن يمشي الرجل فِي نعل وَاحِدَة بل إِمَّا أَن ينعلهما أَو يحفيهما
“Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) mengatakan: Ini merupakan bagian dari kesempurnaan kecintaan Allah dan rasul-Nya terhadap keadilan. Hal itu diperintahkan sampai-sampai urusan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Maka, larangan mencukur sebagian kepala dan membiarkan yang lain lantaran itu merupakan kezaliman terhadap kepala ketika dia dibiarkan sebagian tertutup rambut dan sebagian lain terbuka. Sepadan dengan ini adalah larangan duduk di antara matahari dan tempat berteduh, karena itu merupakan kezaliman atas sebagian badannya. Seperti ini juga adalah larangan bagi seseorang bejalan dengan satu sendal, tetapi hendaknya dia memakai keduanya atau melepaskan keduanya”. [3]
Larangan ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak, tapi juga orang dewasa.
Wallahu A’lam.
*bersambung
[(Baca juga: Adab Terhadap Rambut (bagian 2)]
 
[1] HR. Bukhari No. 5921 dan Muslim No. 2120
[2] Shahih Muslim No. 2120
[3] Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Hal. 100

Adab Terhadap Rambut (bagian 2)

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
2. Memotong Rambut Bagi Wanita
Tidak apa-apa memotong rambut bagi wanita selama tidak menyerupai orang kafir dan tidak menyerupai laki-laki. Sebagaimana riwayat berikut:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami“. [1]
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَالْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالَ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat  wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita“. [2]
Bagi wanita hanya dibolehkan memendekkan (at taqshir) saja, tidak dibolehkan menggundulinya. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ ، إِنَّمَا عَلَى النِّسَاءِ التَّقْصِيْرُ
Wanita tidaklah dicukur habis rambutnya, tetapi hanyalah dipendekkan  saja“. [3]
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
نهى أن تحلق المرأة رأسها
Nabi melarang kaum wanita menggunduli kepalanya“. [4]
Menurut Imam At Tirmdizi  sanad hadits ini  idhtirab – guncang, [5] sehingga dia dhaif (lemah). Idhtirab-nya sanad hadits ini karena Hamam meriwayatkannya kadang  katanya dari Ali, kadang dari ‘Aisyah. Lalu, hadits ini juga terputus sanadnya (munqathi’) antara Qatadah kepada Aisyah, bahwa Qatadah tidaklah mendengarkan hadits ini dari ‘Aisyah. [6]
Namun, demikian hadits ini telah diamalkan oleh para ulama sebagaimana dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi sendiri, sebagai berikut:
والعمل على هذا عند أهل العلم لا يرون على المرأة حلقا، ويرون أن عليها التقصير.
Para ulama mengamalkan hadits ini, bagi mereka tidak boleh wanita menggunduli kepalanya, bagi mereka yang benar adalah memendekkan saja. [7]
Wallahu A’lam.
*bersambung
[Baca juga: Adab Terhadap Rambut (bagian 1)]
[1] HR. At Tirmdizi No. 2695. Ath Thabrani, Musnad Asy Syamiyyin No. 503, juga dalam Al Awsath No. 7380, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No.1191, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 5434
[2] HR. Ahmad No. 2006. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnad-nya shahih sesuai standar Imam Al Bukhari. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 2006
[3] HR. Abu Daud No. 1983, Ad Darimi No. 1936, Ad Daruquthni No. 2666, 2667, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 9404, Ath Thabarani, Al Kabir No. 13018. Syaikh Husein Salim Asad Ad Darani mengatakan dalam tahqiqnya atas Sunan Ad Darimi: isnadnya shahih. Syaikh Al Albani juga menshahihkan. Lihat Shahihul Jami’ No. 5403
[4] HR. At Tirmidzi No. 915
[5] Ibid
[6] Silsilah Adh Dha’ifah No. 278
[7] Sunan At Tirmidzi No. 915

Adab Terhadap Rambut (bagian 1)

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
Berikut ini adab-adab terhadap rambut:
1. Larangan Meniru Model Rambut Kaum Kuffar dan Ahli Maksiat
Kita lihat, tidak sedikit umat Islam –baik muslim dan muslimah- yang model rambutnya meniru-niru orang kafir. Seperti model spike, mohawk, dan lainnya. Awal 90-an kaum wanita di landa demam model rambut Demi More, dengan memendekkan seperti kaum laki-laki.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”  (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf  No.33016, dll)
Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215).
Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.  (Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.   (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, Aunul Ma’bud, 9/54). Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4031).
[Baca juga: Adab Menuntut Ilmu Syar’i (3-akhir)]
Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan lahiriyah mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, 11/51).
Wallahu A’lam*bersambung

Adab Menuntut Ilmu Syar’i (3-Akhir)

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
5. Mengembalikan urusan dan kesulitannya dengan bertanya kepada ahlinya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43).
Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?
Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:
وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب
Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ Ats Turats Al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَة
Jika urusan dikembalikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari  No. 59, 6496. Ibnu Hibban No. 104, Ahmad No. 8729, Al Baghawi No. 4232).
Wallahu A’lam.
Baca juga:
Adab Menuntut Ilmu Syar’i (1)
Adab Menuntut Ilmu Syar’i (2)

Adab Menuntut Ilmu Syar’i (2)

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
4. Jangan menyibukkan diri dalam perkara dan pertanyaan yang tidak produktif, tidak melahirkan ilmu, iman, dan amal shalih.
Bahkan perkara tersebut membawa kekesatan hati dan pikiran. Seperti menanyakan Ruyatul Hilal awal Ramadhan bagi orang yang tinggal di bulan bagaimana? Mendebatkan kelebihan sahabat Nabi yang satu di atas yang lainnya, dan berlama-lama dalam menyibukkan diri dalam perkara khilafiyah padahal dia bukan ahlinya.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra (17): 36).
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Di antara baiknya kualitas Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
(HR. At Tirmidzi No. 2317, Ibnu Majah No. 3976, Ibnu Hibban No. 229,  Ahmad No. 1732, dari  Al Husein bin Ali, Syaikh Syu’aib Al Arna-uth mengatakan: hadits hasan lisyawahidih (hadits hasan karena beberapa penguatnya). Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 884, dari Zaid bin Tsabit. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 191. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 4839).
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
Apa-apa yang saya larang untuk kalian, jauhilah. Apa-apa yang saya perintahkan untuk kalian, kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya manusia sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan mereka dan berselisihanya mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari No.  6858,  Muslim No. 1337,  Ibnu Majah No. 2, An Nasai No. 2619, At Tirmidzi No. 2679, Ibnu Hibban No. 2105, Ibnu Khuzaimah No. 2508, Ahmad No. 10531, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8768, Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 1693, 13368).
Al Imam Ibnu Daqiq Al Id Rahimahullah menjelaskan:
أراد: لا تكثروا السؤال فربما يكثر الجواب عليه فيضاهي ذلك قصة بني إسرائيل لما قيل لهم: “اذبحوا بقرة” فإنهم لو اقتصروا على ما يصدق عليه اللفظ وبادروا إلى ذبح أي بقرة كانت أجزأت عنهم لكن لما أكثروا السؤال وشددوا شدد عليهم وذموا على ذلك فخاف النبي صلى الله عليه وسلم مثل ذلك على أمته.
“Maksudnya ialah janganlah kalian banyak bertanya sehingga  melahirkan beragam jawaban, ini menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi betina yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi tersebut,  niscaya hal itu cukup bagi mereka dikatakan telah menaatinya. Tetapi, karena mereka banyak bertanya dan memberatkan diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya. (Imam Ibnu Daqiq Al Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 58. Maktabah Misykah).
Al Imam Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:
وكل مسألة لا ينبني عليها عمل فالخوض فيها من التكلف الذي نهينا عنه شرعا , ومن ذلك كثرة التفريعات للأحكام التي لم تقع , والخوض في معاني الآيات القرآنية الكريمة التي لم يصل إليها العلم بعد ، والكلام في المفاضلة بين الأصحاب رضوان الله عليهم وما شجر بينهم من خلاف , ولكل منهم فضل صحبته وجزاء نيته وفي التأول مندوحة
“Setiap masalah yang amal tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Quran yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan pahala niatnya) Dengan tawil (menafsiri baik perilaku para sahabat) kita terlepas dari persoalan”. (Ushul Isyrin No. 9). *bersambung
Baca juga: Adab Menuntut Ilmu Syar’i (1)