Ummu Ma'bad Al-Khuza'iyyah: Pemilik Domba yang Penuh Berkah (1)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Keberhasilan Islam membangun fondasi sebuah negara di tengah padang pasir yang dikelilingi oleh kekafiran dan kejahiliyahan merupakan pencapaian yang sangat monumental sejak geliat dakwah Islam dimulai.
Seluruh kaum muslimin dari setiap pelosok saling memanggil “Ayo, kita pergi ke Yastrib!”. Tetapi, hijrah bukan hanya sekedar menyelamatkan diri dari kekacauan dan penghinaan, melainkan juga kerja sama antara semua kaum muslimin untuk membangun sebuah masyarakat baru di tempat yang aman.
Hijrah di masa itu berarti pemaksaan terhadap orang yang aman di tengah keluarganya dan memiliki latar belakang keluarga yang kuat di tempat kelahirannya agar secara sukarela mengorbankan segala kepentingan dan harta kekayaannya, dengan hanya diperbolehkan membawa badannya saja. Di saat ia dipaksa meninggalkan segala yang dimilikinya, ia juga akan merasa terancam karena tidak ada yang menjamin diri dan hartanya akan selamat. Ia bisa saja mati diawal atau akhir perjalanannya.
Dia berjalan menuju masa depan yang tidak jelas dan tidak tahu sebesar apakah kepedihan dan kegetiran yang akan ditanggungnya.
Seandainya perjalanan itu dianggap sebuah petualangan, maka dia akan dikatakan, “petualang ceroboh”. Bagaimana dia memutuskan untuk melintasi jarak yang begitu jauh dengan membawa istri dan anak-anaknya? Bagaimana dia merasakan perjalanan itu dengan senang hati dan gembira?!
Jawaban dari semua itu adalah iman yang lebih daripada gunung! Tetapi iman kepada siapa? Tentunya adalah iman kepada Allah yang memiliki segala sesuatu di langit dan  bumi. Dialah yang pantas dipuji di dunia dan di akhirat.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 3-Akhir)]
Kegetiran dan kepedihan hijrah hanya dapat ditanggung oleh orang-orang yang beriman saja. Sedangkan orang yang penakut, pengecut dan suka mengeluh tidak akan melakukannya sama sekali, karena termasuk orang-orang yang dinyatakan sifatnya oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.” (QS. An-Nisa’ : 66).
Mengenal Lebih Jauh Perempuan yang Penuh Berkah Ini
Diantara orang-orang yang namanya terkait erat dengan peristiwa besar ini (hijrah) adalah seseorang yang penuh berkah, yaitu, Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah ra.
Tidak banyak orang yang mengenalnya di masa jahiliyah, karena memang dia bukanlah seorang tokoh yang terkenal. Ia hanyalah seorang wanita yang tinggal di pedalaman padang pasir yang serba sederhana. Ia hanya dikenal oleh lingkungan kemah dan sanak keluarganya yang ada di sekitarnya saja. Akan tetapi pada masa Islam, ia menjadi wanita yang sangat terkenal karena Nabi saw pernah menjadi tamunya ketika sedang dalam perjalanan hijrah yang penuh berkah ke kota Madinah.
Nama asli Ummu Ma’bad adalah ‘Atikah binti Khalid bin Munqidz. Ia adalah saudara wanita dari Khunais bin Khalid Al-Khuza’i Al-Ka’bi, seorang sahabat Rasulullah saw yang cukup terkemuka.
[Baca juga: Ummu Aiman: Sang Ibu Asuh Rasulullah (1)]
Khunais adalah seorang ksatria gagah berani yang terlibat dalam proses pembebasan kota Makkah. Saat itu, ia tergabung dengan rombongan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid ra. Dan terbunuh pada hari itu juga sebagai syahid. Semoga Allah meridhainya.
Kisahnya dalam Rentetan Perjalanan Hijrah Nabi Saw 
Setelah tokoh-tokoh Quraisy membuat keputusan zalim untuk membunuh Nabi saw, Jibril as turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan wahyu Allah SWT yang membongkar konspirasi jahat Quraisy sekaligus memberi izin kepada Rasulullah saw untuk meninggalkan Makkah dan menjelaskan waktu keberangkatannya. Jibril as berkata “Janganlah kamu tidur malam ini diatas kasurmu yang biasa engkau gunakan untuk tidur”.
Tepat di siang hari Rasulullah saw menemui Abu Bakar ra. Beliau berkata “Suruhlah orang-orang yang ada di dalam rumah agar keluar.” Abu Bakar ra. menjawab “Wahai Rasulullah, mereka adalah keluargamu juga. Rasulullah saw melanjutkan “Allah telah mengizinkanku untuk keluar (hijrah)”. *bersambung

X