Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 3-Akhir)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Sosok Fatimah binti Asad Dimata Para Sahabat Nabi SAW
Setelah Ali bin Abu Thalib menikah dengan Fatimah putri Rasulullah saw, Fatimah binti Asad menjalankan tugas sebagai ibu kandung dan ibu mertua dengan baik. Ia sangat menyayangi menantunya. Bahkan, ia membantu Fatimah binti Muhammad dalam menyelesaikan ekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kali, Ali bin Abu Thalib ra. menuturkan, “Aku pernah berkata kepada ibuku (Fatimah binti Asad), ‘Biarkan Fatimah yang mengambil air dan berbelanja, ibu yang  membuat tepung dan bubur’.”
Saatnya Berpisah
Fatimah binti Asad menjalani  hidupnya dengan iman dan tauhid. Ia adalah seorang wanita yang taat lagi rajin beribadah. Hingga akhirnya Allah memanggilnya kembali pada-Nya. Fatimah binti Asad ra. meninggal dunia. Ia dimakamkan di Madinah dan Rasulullah sendiri yang masuk ke dalam liang lahatnya dan menguburkannya. Sungguh ini merupakan satu kemuliaan tersendiri.
Rasulullah begitu kehilangan atas kepergian Fatimah binti Asad yang beliau sebut sebagai  Ibu keduanya itu.
Tapi begitu indahnya kepribadian dan akhlak Rasulullah saw, ia ingin menunjukkan sikap balas budi terhadap Fatimah binti Asad yang telah merawatnya sejak kecil.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)]
Ibnu Abbas ra. menuturkan, “Ketika Fatimah ibunya Ali bin Abu Thalib wafat, Nabi melepas gamisnya dan memakaikan kepadanya. Beliau rebahan di dalam kuburannya. Ketika beliau menimbunnya dengan tanah, sebagian sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, belum pernah engkau melakukan ini sebelumnya”. Beliau menjawab “Gamisku kupakaikan kepadanya supaya dia memakai pakaian surga. Aku rebahan di dalam kubur di sisinya, agar dia diringankan dari tekanan kubur. Selain Abu Thalib, tiada yang lebih baik  perlakuannya terhadapku daripada dia.” (HR.Thabrani) .
Begitulah kisah mulia dari seorang wanita mulia, berakhlak surga dengan segala keindahan imannya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al Mishry.

Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Silahkan, pilih dari anak-anakku asalkan jangan Aqil”. kata Abu Thalib.
Muhammad muda memilih Ali dan Abbas memilih Ja’far. Ali tinggal di rumah Muhammad, hingga beliau diangkat menjadi Nabi saw. dan Ali langsung mengimani apa yang Rasulullah dakwahkan.
Kebahagiaan Itu Datang Juga 
Detik-detik yang ditunggu oleh alam semesta akhirnya datang juga. Muhammad diutus sebagai Nabi untuk menyebarkan cahaya dan kebaikan. Muhammad diangkat sebagai Nabi untuk menyelamatkan manusia dari kehinaan syirik dan kekafiran.
Ketika Allah menurunkan firman-Nya, “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. As-Syuara’: 214). Rasulullah langsung menyeru keluarga beliau kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Dan Fatimah binti Asad termasuk orang-orang yang tidak ragu mengikuti seruan Rasulullah saw. Ia ucapkan dua kalimat syahadat, “Laa Ilaaha Illallah, Muhammadur Rasulullah“. Sementara suaminya, Abu Thalib meminta maaf karena belum bisa masuk Islam. Semua anak Fatimah masuk Islam, tidak ketinggalan Ali bin Abu Thalib.
Allah Mengubah yang Sulit Menjadi Mudah 
Fatimah binti Asad menjalani kehidupan yang penuh berkah. Ia dengan sabar dan penuh kasih sayang dalam merawat Nabi saw sejak Nabi saw kecil. Ajaran-ajaran Islam pun ia terima dengan baik sehingga ia benar-benar merasakan kebahagiaannya.
Akan tetapi musuh-musuh Islam selalu mengintai kondisi kaum muslimin. Mereka marah karena keyakinan mereka diusik. Mereka menumpahkan kemarahannya pada kaum muslimin. Semakin hari kondisi kaum muslimin semakin tersiksa oleh kaum kafir Quraisy. Sampai akhirnya Rasulullah mengetahui hal ini dan mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah. Di sinilah ujian datang kepada Fatimah binti Asad ra. Ia harus melepas kepergian Ja’far putranya yang diangkat sebagai ketua rombongan muslim yang hijrah ke Habasyah. Ia sangat sedih manakala harus berpisah dengan putranya itu, namun ia tetap tegar. Ja’far hijrah ke Habasyah bersama istrinya.
Kaum kafir Quraisy sadar bahwa upaya menghambat perkembangan Islam selama ini kurang membuahkan hasil, maka kaum Quraisy menempuh cara baru yaitu mengisolasi keluarga besar Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Orang-orang lain dilarang berhubungan dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Kaum muslimin, termasuk Fatimah binti Asad ra. menghadapi pengucilan ini dengan sabar dan mengharap keridhaan Allah semata. Penderitaan yang dialami kaum muslimin sangatlah berat, hingga mereka harus memakan dedaunan agar tetap bertahan hidup. Isolasi terhadap kaum muslimin ini berlangsung selama 3 tahun.
Begitu kuat dan kokohnya Fatimah binti Asad ra. dan seluruh kaum muslimin tetap bersabar atas ujian yang mereka hadapi.
Sejarawan Ibnu Sa’d menuturkan, “Ketika orang-orang Quraisy mengetahui ketegaran kaum muslimin, mereka tertunduk lesu dan isolasi pun berakhir di tahun ke-7 kenabian”.
Pada tahun ke-7 kenabian inilah, Ummul Mukminin Khadijah ra. (istri Rasul) meninggal dunia. Kemudian disusul oleh Abu Thalib (paman Rasul). Dua orang inilah yang selama ini melindungi Rasul dari keganasan orang-orang Quraisy. Meninggalnya  mereka membuat kaum Quraisy semakin garang terhadap kaum muslimin. Hingga Allah mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Madinah.
Setelah berada di Madinah, Fatimah binti Asad ra. disambut hangat oleh muslimah di Madinah. Hari demi haripun keimanannya semakin mantap.
Nabi saw sangat sayang terhadap Fatimah binti Asad ra. Beliau sering mengunjunginya dan memberinya hadiah layaknya seorang anak yang rindu dan sayang kepada ibunya.
Ali ra. menceritakan, “Nabi memberiku kain brokat dan berkata, jadikan beberapa penutup kepala untuk para Fatimah”. Lalu kujadikan empat penutup kepala. Satu untuk Fatimah putri Rasulullah, satu untuk Fatimah binti Asad, satu untuk Fatimah binti Hamzah.” Ali tidak menyebutkan Fatimah yang keempat. *bersambung
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 1)]

Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 1)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Sekarang saatnya kita mengenal shahabiyah yang teramat mulia dan banyak memiliki keistimewaan yang Allah berikan padanya. Apa saja keistimewaan itu?
Dialah wanita yang mendidik Rasulullah saw setelah Abdul Muthalib (kakek Rasul) meninggal dunia. Dialah ibu dari pejuang gagah berani, khalifah keempat, Ali bin Abu Thalib ra. Dialah nenek dari dua pemuda pemimpin para pemuda surga, Hasan ra. dan Husain ra. Dialah ibu dari pahlawan gagah berani yang gugur sebagai syahid lalu Rasulullah saw meihatnya terbang dengan dua sayap di surga, satu dari tiga panglima perang Mu’tah, yaitu Ja’far bin Abu Thalib ra. Dia juga mertua dari wanita terbaik di zamannya, Fatimah binti Rasulullah saw.
Siapakah Wanita yang Mulia Ini?
Dialah shahabiyah agung yang bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Hasimiyah. Ia termasuk ke dalam salah satu rombongan pertama yang hijrah untuk memeluk Islam. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang penuh kasih sayang terhadap anak yatim piatu. Dan inilah awal mula bagaimana seorang wanita mulia Fatimah binti Asad ra. memulai perjalanan berkah dalam kehidupannya.
Selepas kedua orang tua Nabi saw meninggal dunia, Nabi saw dirawat oleh kakeknya yaitu Abdul Muthalib, namun kebersamaan Nabi saw dengan kakeknya hanyalah sebentar, setelah Abdul Muthalib merasa yakin bahwasanya Nabi saw akan bisa dijaga dan dirawat dengan baik oleh anaknya, yaitu Abu Thalib. Akhirnya Abdul Muthalib meninggal dunia, dan semenjak itu Nabi saw tinggal bersama pamannya, Abu Thalib dan istrinya Fatimah binti Asad ra.
Di rumah itu Rasulullah mendapatkan kasih sayang dari wanita yang mulia ini, bahkan Rasulullah menganggap Fatimah binti Asad adalah ibu keduanya. Fatimah binti Asad menyayangi dan merawat Rasulullah melebihi anak kandungnya sendiri.
Berkah Mulai Dirasakan oleh Keluarga Abu Thalib
Abu Thalib dan keluarganya hidup serba kekurangan. Namun, setelah Nabi tinggal bersama mereka, kondisi kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik.
(Baca juga: Mulianya Aisyah binti Abu Bakar di Dalam Islam)
Terutama pada saat makan, Nabi ikut makan bersama keluarga Abu Thalib. Makanan yang terlihat hanya sedikit, namun mampu membuat seluruh keluarga merasa kenyang.
Jika mereka makan tanpa adanya Nabi, mereka tidak merasakan kenyang. Berbeda ketika Nabi ikut makan bersama. Oleh sebab itu, Abu Thalib melarang seluruh anggota keluarganya makan sebelum Nabi memulainya.
Jika mereka sedang minum susu, maka Nabi dipersilahkan meminum susu itu terlebih dahulu. Meskipun susu itu hanya satu gelas, cukup untuk mengenyangkan seluruh anggota keluarga.
Itulah berkah yang Allah berikan kepada keluarga Abu Thalib saat Nabi tinggal bersama mereka.
Kasih Sayang Semakin Bertambah
Fatimah binti Asad ra. merasakan betapa besar berkah yang ia rasakan bersama keluarganya karena kehadiran Nabi saw dirumahnya. Ini pun membuat dirinya semakin menyayangi keponakannya itu. Ia merawat Nabi saw. Sejak Nabi kanak-kanak hingga menjadi pemuda, dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan. Hingga Nabi menikah dengan Khadijah.
Permata Hatinya di Rumah Rasulullah SAW 
Lihatlah bagaimana Fatimah binti Asad mendorong anaknya (Ali bin Abu Thalib) untuk tinggal bersama Rasulullah saw. Ia melihat bahwa sebelum ini Rasulullah sangat perhatian dan menyayangi Ali.
Sejarawan Ibnu Ishaq menulis, “Diantara nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah kepada Ali ra. adalah tercukupinya kebutuhannya, padahal Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Ketika itu,orang-orang Quraisy ditimpa paceklik. Muhammad muda berkata kepada Abbas (satu dari pamannya) yang hidup berkecukupan, “Paman Abbas, paman Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Dan paman tahu, ini masa paceklik. Bagaimana kalau kita meringankan beban paman Abu Thalib. Aku menanggung satu anaknya, paman Abbas menanggung satu anaknya?” Abbas setuju.
(Baca juga: Ummu Kultsum binti Uqbah: Wanita yang Diselamatkan Al Quran (bagian 1)]
Lalu mereka datang ke rumah Abu Thalib dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Dan Abu Thalib pun menyetujuinya seraya berkata “Terima kasih atas kebaikan kalian”. *bersambung

X