3 Tingkatan Ibadah

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra berkata: ada tiga tingkatan kualitas Ibadah seseorang,
1. Ibadah at-Tujjar : Orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang.
Jika kita berpikir akan dapat pahala apa atau dapat untung berapa ketika hendak bersedekah, itu artinya kita beribadah dengan cara pedagang.
2. Ibadah al-‘Abid : Orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya.
Jika kita baru terpanggil untuk beribadah karena takut masuk neraka, itu berarti kita termasuk kelompok kedua, beribadah cara budak.
3. Ibadah al-Arifin : Orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.
Yang ketiga ini, adalah cara beribadahnya orang-orang yang berjiwa merdeka, tulus karena Allah. Orang seperti ini melaksanakan shalat bukan lantaran takut neraka, tetapi semata-mata karena sadar Allah satu-satunya yang patut disembah.
Ibaratnya, ada atau tidak ada polisi, orang seperti ini akan tetap menggunakan helm demi menghindari bahaya.
Orang-orang seperti ini akan lebih konsisten dalam beribadah karena merasa sudah teramat banyak nikmat Allah yang mereka terima dan patut mereka syukuri.
Sebesar apa pun derita yang dialami, mereka lebih memandang kenikmatan yang ada di balik itu. Sesuatu yang patut mereka syukuri sehingga terdorong untuk terus beribadah.
Orang yang beribadah dengan cara pedagang dan budak, biasanya bersikap itung-itungan. Dia cenderung hanya mengerjakan ibadah wajib. Sudah merasa cukup kalau sudah melaksanakan shalat lima waktu. Sudah merasa cukup kalau sudah puasa Ramadhan.
Tetapi, orang yang beribadah dengan jiwa bebas akan selalu terdorong untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Sebab, orang seperti ini yakin sekali, nikmat Allah yang harus disyukuri pun begitu amat banyak, bahkan tak terhitung.
Dari sinilah kita bisa memahami,  mengapa Rasulullah selalu bangun malam, shalat tahajud, dan witir sampai kaki beliau bengkak.
Ketika ditanya Aisyah mengapa masih saja berpayah-payah bangun malam, padahal Allah SWT sudah mengampuni dosanya,
Beliau saw menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”
Rasa ingin bersyukur itulah yang mendorong beliau melakukan banyak sekali ibadah. Dengan kata lain, ibadah yang beliau lakukan itu merupakan wujud dari kesyukuran kepada Allah atas berbagai karunia-Nya.
Dari sini pula kita bisa memahami ungkapan Sayyidina Ali  yang lain ketika beliau bermunajat kepada Allah. “Ya Allah! Aku menyembah-Mu bukan karena takut siksa-Mu, juga bukan karena aku ingin pahala-Mu, tetapi aku menyembah-Mu semata-mata karena Engkau memang layak dan patut untuk disembah.”
Beribadah karena mengharap balasan (at-Tujjar) dan karena takut siksa (al Abid) tidaklah dilarang, hanya kualitasnya yang perlu di tingkatkan sehingga sampai pada tingkatan al-Arifin.

Ibadah Para Ulama yang Luar Biasa

Para alim Ulama melakukan ibadah karena telah merasakan nikmatnya ibadah, fisik yang kuat, dan berharap ridho rahmat Allah dunia dan akhirat. Lihatlah berapa banyak ibadah mereka dan kualitas yang terjaga.
1. Imam Malik.
Sholat sunah setiap hari 800 rakaat, puasa Daud selama 60 th
“Imam Malik bin Anas selalu istiqamah selama 60 tahun melakukan puasa daud, puasa sehari dan tidak puasa sehari. Dan setiap hari, beliau shalat 800 rakaat. (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/61)
2. Imam Syafii
Beliau setiap hari khatam Al Quran, membagi waktu malam menjadi 3 : menulis, sholat dan tidur. Sehingga tidur hanya 2,3 jam.
3. Imam Ahmad bin Hambal
Sholat sunah 300 rakaat tiap hari
Ayahku melakukan shalat dalam sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Ketika beliau sakit karena dicambuk penguasa dzalim dan mulai lemah, dalam sehari semalam beliau melakukan shalat 150 rakaat. Sementara usia beliau sudah mendekati 80 tahun. (Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/399)
Dalam kegiatan shalatnya, Imam Ahmad selalu mendoakan gurunya Imam as-Syafii
Beliau membaca doa,

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بنِ إِدْريسَ الشَّافِعِى

“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan untuk Muhammad bin Idris as-Syafii.” (Manaqib asy-Syafii, al-Baihaqi, 2/254)
4. Imam Bisyr bin Mufadlal
Sholat sunah 400 rakaat tiap hari
“Imam Ahmad berkomentar tentang Bisyr bin Mufadzal al-Raqqasyi: Kepadanyalah puncak kesahihan di kota Bashrah. Beliau shalat setiap hari sebanyak 400 rakaat, berpuasa sehari dan tidak puasa sehari. Beliau terpercaya dan memiliki banyak hadis, wafat th. 180 H” (Thabaqat al-Huffadz, as-Suyuthi, 1/24)
5. Imam Zainul Abidin.
Sholat sunah 1.000 rakaat tiap hari
“Pemilik benjolan di lutut, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, hiasan ahli ibadah (Zainul Abidin), disebut demikian karena dalam sehari beliau shalat 1000 rakaat, sehingga di lututnya terdapat benjolan seperti benjolan onta” (Tahdzib al-Asma’, al-Hafidz al-Mizzi, 35/41)
6. Syeikh Bisyr bin Manshur
Sholat 500 rakaat dan wirid 1/3 al-Quran
Saya tidak melihat seseorang yang paling takut kepada Allah selain Basyar bin Manshur. Beliau shalat dalam sehari 500 rakaat, wiridannya adalah 1/3 al-Quran” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 1/403)
7. Syeikh Ibnu Qudamah
Sholat 100 rakaat sehari
“Ibnu Qudamah tidak mendengar tentang salat kecuali ia lakukan. Ia tidak mendengar 1 hadis kecuali ia amalkan. Ia shalat bersama dengan orang lain di malam Nishfu Sya’ban 100 rakaat, padahal ia sudah tua” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/203)
8. Al-Qadhi Abu Yusuf – murid senior Abu Hanifah
Setelah beliau pensiun sebagai qadhi (hakim), beliau terbiasa shalat dalam sehari 200 rakaat. (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 1/214)
9. Imam Bukhari
Sholat 2 rakaat setiap menulis 1 hadits. Total hadits yang beliau tulis 7460-an, sehingga beliau sholat sunah sekitar 15 ribu dlm 16 tahun.
Itulah sebagian amalan para ulama, mereka merasakan cinta kpd Allah (nasabah), takut kpd Allah (khauf), roja’ (yakin akan balasan Allah)
 
Yuk kita contoh semoga kita dapat meningkatkan kualitas ilmu dan ibadah seperti para alim Ulama.
Kita buang kebiasaan banyak tidur, banyak nonton, banyak bermain, banyak bengong, dll.
Semoga Allah memberikan balasan ridho rahmatNya di dunia dan akhirat. Aamiin
 
Oleh : Herman Budianto
Sumber : Spiritkehidupan.com

Agar Mudik Bernilai Ibadah

Selain sebagai fitrah manusia, mudik adalah pada hakekatnya adalah Perjalanan Ibadah. Di negara Islam, tradisi unik “mudik” ini hanya ada di Indonesia. Di Cina taktala Hari Raya Imlek, dimana rakyat Cina di perkotaan pulang mudik ke daerah asal mereka.
Di negara maju seperti Amerika Serikat-pun, budaya mudik ke Kampung halaman atau ke orangtua dan berkumpul dengan sanak saudara itu juga ada, yaitu pada “Hari Pengucapan Syukur (Thanksgiving Day)”.
Ibarat pedang bermata 2, mudik bisa menjadi Ibadah bisa pula tidak berarti Ibadah sama-sekali, sekedar jalan-jalan saja malah bisa jadi pamer (riya’). Semuanya akan bergantung kepada niat kita dan sikap kita selama mudik ke kampung halaman.
Meskipun tidak dicontohkan persis oleh Rasulullah SAW, mudik-pun bisa menjadi ibadah, dengan terus melaksanakan ibadah wajib dan perintah-perintah Agama. Nah bagaimana agar mudik kita bisa menjadi Ibadah?
1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ,” kemudian berdo’a:
“سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ،
“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu.” (H.R. Muslim)
Salah satu tata cara bepergian yang diajarkan Islam (dari sekian banyak adabnya), yaitu seseorang mengawali perjalanannya dengan membaca doa safar yang mengandung makna yang sangat penting dan amat dalam.
Seorang Muslim selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla dimanapun ia berada. Selain memohon keselamatan dan kesehatan selama perjalanan. Berdoa ketika momen perjalanan memiliki nilai khusus yang tidak boleh dianggap remeh; karena termasuk salah satu waktu doa dikabulkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Tiga doa yang dikabulkan, tidak ada keraguan padanya, yaitu : doa orang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya.” [HR. at-Tirmidzi]
2. Jika mudik tersebut ada “Birrul Walidain” atau berbakti kepada kedua orangtua kita (jika mereka masih hidup).
Ayah dan ibu adalah dua orang yang sangat berjasa kepada kita. Lewat keduanyalah kita terlahir di dunia ini. Keduanya menjadi sebab seorang anak bisa mencapai Surga. Do’a mereka ampuh. Al Qur’an memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orangtua kita.
Allah swt berfirman : “Dan Kami wajibkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua..” (Al Ankabut : 8)
Rasulullah saw memerintahkan kepada kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Rasulullah saw bersabda : “Ridha Allah terletak pada ridla orang tua. Dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan orang tua.”( HR. Tirmidzi 1899) •
3. Jika Mudik Menyambung Tali Silaturahim
Di dalam tradisi mudik, pada umumnya juga ada silaturahmi yaitu saling berkunjung ke kerabat usai shalat idul fitri.
Kita bisa saling mengunjungi sanak saudara bahkan tetangga atau teman sejawat, atasan dan bawahan. Terkadang kita secara sengaja mudik, bepergian jauh, beratus kilometer bahkan mungkin beribu kilometer, hanya sekedar untuk menjumpai orang tua atau sanak famili.
Sekedar untuk menjumpainya dan bersilaturahmi, menyegarkan ikatan kekerabatan, menyambung dan mempererat tali persaudaraan.
Tentang menyambung tali silaturahmi, dalam hadist diriwayatkan Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.” (Shahih Muslim No.4636)
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi)”. (Shahih Muslim No.4638)
Ada janji Rasulullah yang patut untuk direnungkan agar mudik kita bernilai ibadah, maka mudik kita harus kita niatkan dalam rangka menyambung tali silaturahmi antar sanak saudara dan keluarga.
4. Jika Mudik kita Ada Saling Bermaaf-maafan
’Umumnya dalam mudik Idul Fitri juga ada tradisi bermaaf-maafan yang dilakukan usai shalat ‘Idul Fitri, dimana tua muda laki-laki dan perempuan saling bermaaf-maafan, sembari berkunjung untuk meminta maaf sebagai sesama Insan yang tidak luput dari salah dan silap yang pernah dilakukan.
Pada hari yang mulia tersebut jangan ragu-ragu untuk mengakui kekhilafan dan kesalahan yang mungkin pernah kita lakukan kepada sesama saudara kita muslim atau bukan.
Mungkin ada perasaan hasad dengki, khianat, ataupun berbagai kejahatan dan penganiaayaan yang pernah kita lakukan, maka mohonkanlah maaf.
Insya-Allah dihari baik dan bulan baik ini orang akan mudah memaafkannya.
Rasulullah saw bersabda, “Maukah kamu aku beri tahu tentang derajat yang lebih utama, dari derajat sholat, puasa dan sedekah?”
Para sahabat menjawab: “Bahkan mau” Rasulullah bersabda: “Mendamaikan antara dua orang yang berselisih, karena perselisihan antara dua manusia itulah yang membawa kehancuran.” (H.R.Abu Daud dan Tirmizi)
5. Jika Mudik Saling Berbagi Rezeki (sedekah)
Dalam mudik, biasanya orang kota menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk ia sedekahkan di kampung halamannya.
Jadi dalam tradisi mudik kita saling berbagi rezeki kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Bahkan menurut laporan pemerintah dana sebesar 20 Triliun mengalir dari kota ke desa-desa.
Dari Abu Umamah r.a., Nabi saw. bersabda, “Wahai anak Adam, seandainya engkau berikan kelebihan dari hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu. Dan seandainya engkau kikir, yang demikian itu buruk bagimu. Menyimpan sekadar untuk keperluan tidaklah dicela, dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Allah swt. akan menambah kemuliaan kepada hamba-Nya yang pemaaf. Dan bagi hamba yang tawadhu’ karena Allah swt., Allah swt. akan mengangkat (derajatnya). (HR. Muslim)
Dalam hadist Qudsi Allah Tabaraka wata’ala berfirman: “Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu.” (HR. Muslim)
 
Oleh : Imam Puji Hartono
Edited : Aliman

Kesempurnaan Ibadah Shalat

Shalat adalah komunikasi dan munajat (permohonan) seorang hamba kepada Allah. Diperlukan persiapan hati dan tata cara yang baik agar shalat bisa menjadi komunikasi dan munajat yg optimal kepada Allah.
Selain mempersiapkam dengan bersegera menjalankan shalat ketika sudah masuk waktunya. Maka dilanjutkan dengan wudhu yang terbaik sehingga menghadap Allah dengan suci dan juga harum, karena sunah memakai parfum.
Hal terpenting dalam shalat agar khusyu adalah tuma’ninah yaitu melakukan gerakan shalat sampai seluruh anggota badan menempati posisinya seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah
“Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tuma’ninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma’ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu” (HR Bukhari 757 dan Muslim 397 dari sahabat Abu Hurairah)
Rasulullah memberikan contoh shalat yang tidak tuma’ninah dan dapat membahayakan bagi pelakunya.
Abu Abdillah Al-Asy’ari berkata: “(suatu ketika) Rasulullah shalat bersama sahabatnya kemudian beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan berdiri menunaikan shalat. Orang itu ruku’ lalu sujud dengan cara mematuk (shalatnya cepat sekali -red)
Maka Rasulullah bersabda : “Apakah kalian menyaksikan orang ini? Barang siapa meninggal dalam keadaan seperti ini (shalatnya), maka dia meninggal dalam keadaan di luar agama Muhammad. Ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah.
Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dan mematuk dalam sujudnya bagaikan orang lapar yang tidak makan kecuali sebutir atau dua butir kurma, bagaimana ia bisa merasa cukup (kenyang) dengannya” (HR. Ibnu Khuzaimah 1/ 332)
Bila kita tuma’ninah dalam shalat maka Allah akan menghapus doa-doa kita bagaikan orang yang mandi bersih sebanyak lima kali dalam sehari.
Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian, seandainya ada sebuah sungai di dekat pintu salah seorang di antara kalian, lalu ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali, apakah akan tersisa kotorannya walau sedikit?”
Para sahabat menjawab, “Tidak akan tersisa sedikit pun kotorannya.” Beliau berkata, “Maka begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika shalat sudah dilakukan dengan benar dan khusyu’,  maka akan menghasilkan perilaku yang baik, jauh dari maksiat dan selalu mengajak kepada kebaikan.
Allah berfirman dalam surat Al Ankabut ayat 45, bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Kemudian dalam Al Baqarah ayat 45, disebutkan bahwa sabar dan shalat sarana untuk memohon pertolongam Allah dengan syarat dilakukan dengan khusyu’.
Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba yang khusyu’ dalam shalat. Sehingga menambah keimanan dan ketaqwaan, serta semakin bagus akhlaq kita kepada siapapun. Aamiin
 
Salam santun
Spirit Kehidupan
Ustad Herman Budianto

Sedekah di Hari Jumat

Hari Jum’at adalah hari terbaik selama sepekan. Allah siapkan ampunan, pengabulan doa, dan pahala besar bagi hamba-hamba beriman. Hendaknya mereka meningkatkan amal shalih dan ketaatan.
Salah satu amal shalih yang mendapat perhatian para ulama adalah sedekah. Yakni mengeluarkan infak dan sedekah di hari yang Allah limpahkan karunia dan kebaikan kepada para hamba-Nya. Sedekah yang diberikan akan bermanfaat bagi banyak orang dan menjadi amal yang baik.
 
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya shadaqah pada hari Jum’at itu memiliki kelebihan dari hari-hari lainnya. Shadaqah pada hari itu dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, seperti shadaqah pada bulan Ramadhan jika dibandingkan dengan seluruh bulan lainnya.”
Lebih lanjut, Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Aku pernah menyaksikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, jika berangkat menunaikan shalat Jum’at membawa apa yang terdapat di rumahnya, baik itu roti atau yang lainnya untuk dia shadaqahkan selama dalam perjalanannya itu secara sembunyi-sembunyi.”
Aku pun, lanjut Ibnul Qayyim, pernah mendengar gurunya mengatakan, “Jika Allah telah memerintahkan kepada kita untuk bershadaqah di hadapan seruan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka shadaqah di hadapan seruan Allah Ta’ala jelas lebih afdhal dan lebih utama fadhilahnya.”
Disebutkan dalam hadits Ka’ab,
والصدقة فيه أعظم من الصدقة في سائر الأيام
Sedekah di dalamnya lebih besar pahalanya daripada semua hari.” (HR. Abdurrazaq di Mushannafnya no 5558, hadits mauquf shahih dan memiliki hukum marfu’)
Begitulah kemuliaan Jumat yang dilakukan para ‘alim ulama. Fadhilah sedekah dihari Jumat yang dilakukan ulama shalih untuk menjadi acuan tabungan akhirat dalam kebaikan bagi seluruh umat Islam di dunia.

X