Wahai Umar, Kenapa Engkau Diam Saja ketika Dicaci Pemabuk Itu?

Umar bin khaththab, manusia terbaik setelah Abu Bakar ash-Shiddiq, adalah sahabat Rasulullah yang berhak mewarisi surgaNya Allah.
Alkisah, dalam sebuah inspeksi Umar bin Khaththab bertemu dengan salah satu rakyatnya yang tengah mabuk. Umar pun menangkapnya dan akan memberinya hukuman
Namun, ketika pemabuk itu ditangkap dan akan dihukum, orang itu tidak menerima. Pemabuk itu marah-marah, hingga Umar dijadikannya sebagai sasaran kemarahan.
Lantaran tak sadarkan diri akibat mabuk, keluarlah kalimat sumpah serapah, hinaan, caci maki, umpatan dan kalimat sampah lainnya dari mulut si pemabuk itu kepada Khalifah.
Namun, Umar justru diam ketika dirinya dicaci dan dimaki-maki. Umar bermurah hati, tak menanggapi perkataan pemabuk itu. Tak lama kemudian, Umar segera membebaskannya.
Melihat kejadian yang tak llumrah itu, seorang rakyatnya bertanya kepada Sang Khalifah, “Ya Amirul Mukminin, mengapa setelah dicaci, engkau justru melepaskan orang itu?”
“Aku membiarkannya karena ia telah membuatku marah,” jawab Umar datar
“Andai aku tetap menghukumnya,” lanjutnya kemudian, “berarti amarahku telah mengalahkan jiwaku.”
Umar sengaja melepaskannya, karena ia tak mau mengotori dirinya dengan dendam dan kebencian. Ia telah keluar dari sifat kebinatangan menuju sifat mulia yang tak dimiliki oleh kebanyakan manusia lainnya.
“Aku tak ingin,” lanjut Umar agak berat, “jika aku memukul seorang muslim,” hentinya sejenak, “terdapat nafsuku di dalamnya.”
Sumber : Kisah Hikmah

Menyikapi Suami Pemabuk dan Pemarah

Assalamualaikum. Saya adalah seorang istri. Suami saya tidak sholat dan pemabok. Dia kalau mabok sering marah-marah dan main tangan. Dulu waktu menikah dia janji akan berubah. Tapi sampai sekarang tidak berubah. Kami sudah 5 tahun menikah. Apakah dosa kalau saya pergi meninggalkan suami. Jazakallah. Wassalamualaikum.
 
Jawaban:
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah harus dibangun di atas pondasi takwa kepada Allah SWT. Karena itu, suami dan isteri harus berusaha menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta menunaikan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai dengan tuntunan syariat. Islam juga memposisikan pernikahan dan ikatan suami isteri sebagai ikatan suci yang harus dipelihara dan dirawat dengan baik; bukan ikatan yang mudah diurai dan dilepas kapan saja mereka inginkan.
Oleh sebab itu, tidak boleh seorang suami dengan tanpa sebab menceraikan isterinya dengan sesuka hati. Demikian pula seorang isteri tidak boleh meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan. Bahkan Rasul SAW bersabda, “Wanita manapun yang meminta cerai pada suaminya tanpa alasan mendesak, maka haram bagi sang isteri mencium bau surga.”
Namun demikian, bila terdapat satu kondisi yang menjadikan kondisi keluarga tidak lagi diliputi oleh sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta setelah berbagai usaha untuk menjaga keutuhan rumah tangga telah dijalankan, maka boleh bagi suami menceraikan isterinya dan juga boleh bagi isteri untuk menuntut cerai suaminya. Terkait dengan dengan kondisi suami yang tidak mau shalat dan suka mabuk, maka seorang isteri harus berusaha mengingatkan, menasihati, dan mendoakan. Jika semua sudah dilakukan, namun suami tetap dengan kondisinya tersebut, maka boleh bagi isteri untuk menuntut cerai; bukan lari dari rumah tanpa ada kejelasan status.
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, apabila seorang wanita tidak lagi menyukai suaminya lantaran akhlaknya, agamanya kondisinya yang tua dan lemah, serta si wanita tersebut khawatir tidak dapat menunaikan tugas untuk taat, maka boleh baginya melakukan khulu’ dengan mengembalikan mahar yang sudah diberikan berdasarkan firman Allah pada surat al-Baqarah: 229.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb
Ustadz Fauzi Bahreisy


 
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini