by Danu Wijaya danuw | Apr 4, 2017 | Nasional
Dr Zakir Naik, pendakwah asal India, mengatakan Islam sebagai agama merupakan ajaran hidup penganutnya. Islam itu agama, ‘way of life‘ (cara untuk hidup).
Menurutnya, dalam Islam kita diajarkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Oleh karenanya, dalam berpolitik pun seharusnya demikian pula.
“Harus menganut pada apa yang sudah diajarkan oleh Islam,” jelasnya dalam konferensi pers di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, lansir Gontor News, Senin (3/4/2017).
Ia menyayangkan bahwa banyak politisi dan pemimpin Muslim yang membedakan faktor Islam dengan politik, dengan alasan takut kehilangan jabatan.
“Mereka lupa, jika mereka berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, mereka dapat memiliki kedudukan di akhirat. Tetapi mereka lebih takut pada kursi (kedudukan) di dunia daripada kursi (jabatan) di akhirat,” jelasnya.
“Permasalahannya, kita sekarang tidak memiliki pemimpin yang mengimplementasikan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah,” katanya.
Hingga saat ini, tidak ada pemimpin yang sempurna menyerupai kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
“Hanya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang menjalankan politik sesuai syariat Islam. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah contoh kepemimpinan yang terbaik. Politik saat ini sudah kotor dan tidak ada yang seperti kepemimpinan di zaman itu,” pungkasnya.
by Danu Wijaya danuw | Sep 9, 2016 | Artikel, Dakwah
Al Ghazali menyebut keengganan Muslim berpolitik menyebabkan beberapa pemimpin dari non Muslim. Politik menyentuh sisi terluas kehidupan komunal, insan berilmu jangan sampai rabun tak sadar digunakan orang lain untuk kejahatan. Sebab kuasa politik jahat akan menebar kerusakan dimuka bumi.
Kesadaran politik (Political Awareness) harus tercapai tahap demi tahap dengan tujuan kuasa keshalihan yang melayani. Kita bisa melihat contoh Hijrah muslim dulu ke Habasyah. Mengapa yang berhijrah justru para bangsawan seperti Ja’far, Ustman dan lainnya. Bukan bilal dan sekawan dengannya yang tertindas? Sebab ada tujuan politik kaum muslim kala itu.
- Pertama, mengguncang kuasa tribalistik Quraisy. Makkah termenung saat warga terhormatnya pergi.
- Kedua, mengeksiskan muhajirin. Andai yang pergi para budak, duta besar quraisy akan mudah mendeportasi mereka dengan alasan lari.
- Ketiga, menyiarkan kehadiran Islam pada dunia. Habasyah sebagai subordinat Romawi yang istimewa itu, menjadi isu yang menyebar di seluruh kekaisaran.
- Keempat, Raja Habasyah bernama Najasyi dikenal adil dan uskup-uskupnya berpengaruh. Interaksi muhajirin dengan mereka adalah pembelajaran berharga.
Demikianlah ujar Al Ghadban, tiap langkah dakwah Nabi menunjukkan mendalamnya political awareness beliau, analisa maupun tindakan. Politik mulia asal akhlak dijaga. Terobosan besar seperti cita-cita khilafah biasanya tak datang dari materi pendalaman semata, melainkan dari terbukanya pola pikir dan maju dalam politik.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Apr 8, 2016 | Artikel
Oleh: DR. Yusuf Al-Qardhawi
Tema utama yang sering dihembuskan oleh kaum sekuler adalah bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka politik tersebut akan terkekang olehnya. Agama akan membatasi ruang geraknya, terlebih lagi jika agama dimaknai sebagai sebuah bentuk komitmen secara menyeluruh terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pasalnya, politik membutuhkan ruang gerak yang luas dengan segala pertimbangan maslahat dan mudharat.
Selain itu, politik sangat membutuhkan strategi dan tipu daya melawan musuh, sedangkan agama seringkali menutup celah ini. Akibatnya, para musuh agamalah yang mendapatkan kemenangan, sebab mereka terbebas dari segala bentuk ikatan dan aturan agama. Adapun umat Islam terus tertawan dalam aturan-aturan perintah dan larangan.
Oleh sebab itulah, kaum sekuler berpendapat mengambil jalan lain dalam memaknai agama, yaitu dengan cara melihat pada maqashid (tujuan-tujuan) umum dari agama, bukan dengan melihat pada dalil-dalil saja. Mereka menganggap, ini adalah metode yang juga dipakai oleh Umar bin Khattab, dimana ia telah membatalkan beberapa dalil demi terciptanya kemaslahatan bagi kaum muslimin. Jika tidak demikian, maka agama akan menjadi penghalang dan batu sandungan dalam berpolitik, terutama dalam sistem politik modern.
Tentu ucapan itu penuh dengan kerancuan dan kesesatan. Inilah anggapan yang diyakini oleh mereka kaum sekuler. Jika kita benar-benar memahami syari’at Islam, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa ia bukanlah sebuah penghalang, akan tetapi ia adalah pelita.
Syari’at Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim adalah aturan yang adil dan bijak serta mengandung kemaslahatan yang luas. Maka, setiap aturan yang menjauhkan manusia dari rasa keadilan menuju kezaliman, dari kemaslahatan menuju kerusakan, dan dari manfaat menuju kesia-siaan, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, meskipun ada yang memaksakannya masuk menjadi bagian dari syariat dengan cara ditakwil [1].
Oleh sebab itu, mengajak manusia untuk memahami Islam dan syariatnya secara benar merupakan bagian dari dakwah, bukan dengan menjauhkan mereka dari syariat agar menjadi bebas merdeka. Sebagian manusia ada yang berpandangan bahwa Islam adalah sebuah teori yang bersifat idealis namun tak bisa direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Ini adalah cara pandang yang keliru, sebab Islam dengan teorinya yang bersifat idealis, ia juga dapat menjadi solusi dalam kehidupan yang nyata.
Islam juga membolehkan umatnya untuk mempergunakan siasat dan tipuan disaat berhadapan dengan kelompok yang juga melakukan makar dan tipuan. Sebagaimana dalam sebuah hadits Bukhari, “Perang adalah sebuah tipuan.”
Islam juga menerapkan kaidah bahwa “Kondisi darurat memperbolehkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang terlarang.”
Begitu juga dengan kaidah, “Memilih salah satu diantara dua hal yang lebih ringan mudharatnya dan lebih kecil keburukannya. Diperbolehkan menanggung mudharat yang bersifat khusus untuk menghindar dari mudharat yang bersifat umum. Dan diperbolehkan juga untuk mengambil mudharat yang lebih kecil untuk menjauh dari mudharat yang lebih besar, sebagaimana diperbolehkan juga untuk membuang kemashlahatan yang lebih kecil demi terwujudnya kemashlahatan yang lebih besar.”
Semua teori tersebut merupakan teori terapan yang menjadi salah satu karakteristik dari syari’at Islam. Selain itu, syariat Islam berada juga mengusung teori orientatif, bahkan ia berada di garis terdepan diantara aturan lainnya.
Akan tetapi, kita selalu memperingatkan jangan sampai orientasi dan kemashlahatan menjadi alat untuk menggugurkan nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah, terutama jika nash-nash tersebut bersifat muhkamah dan pasti. “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. (QS. al-Ahzab : 36).
Kita selalu mengajak agar bisa menempatkan antara tujuan-tujuan dari syariat dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah secara seimbang. Kita tidak boleh membenturkan antara yang satu dengan yang lainnya, sebab mereka saling melengkapi bukan saling bertentangan. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ijma’ ulama, bahwa kemaslahatan yang hakiki tidak akan pernah bertentangan dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.
Apabila ada anggapan bahwa keduanya ada pertentangan, maka ada dua kemungkinan.
Pertama, boleh jadi kemaslahatan tersebut hanya bersifat dugaan saja dan belum pasti. Contohnya adalah kemaslahatan dalam riba agar menarik investor atau kemaslahatan khamr untuk menarik para turis, atau yang lainnya yang mana semua itu hanyalah dugaan-dugaan saja.
Kedua, atau bisa juga nash tersebut tidak bersifat qath’i (pasti). Hal ini biasanya terjadi manakala nash-nash tersebut dikaji dan dianalisa oleh kalangan orang-orang yang tidak memahami syariat Islam, semisal pakar ekonomi, politisi, dan lainnya yang mana mereka mengira bahwa nash tersebut bersifat qath’i padahal tidaklah demikian.
Dengan demikian, politik Islam bersifat luwes karena ia selalu memandang kemaslahatan yang akan diwujudkan dalam setiap sikap berpolitik, dengan tetap memegang teguh nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pijakan dan landasan utamanya. Maka dari itu, tidak ada benturan antara syari’at Islam dengan politik, karena keduanya akan membawa kemaslahatan yang hakiki terhadap kehidupan manusia secara utuh.
Referensi :
[1] I’lam Al-Muwaqqi’in (3/3)
*Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
**Sumber: http://iumsonline.org