by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jul 29, 2017 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sebagaimana fitrah manusia menghendaki kedamaian dan ketenangan, begitu juga dengan ajaran agama Islam.
Ia selalu mengajak manusia dan mengajarkan mereka untuk hidup secara damai dan penuh kasih sayang. Tidak ada satupun dari ajaran agama Islam yang mengarahkan umatnya untuk berbuat teror dan kerusakan di muka bumi.
Bahkan, Islam sangat mengecam dan mencela para pelaku kerusakan dan kejahatan. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” (QS. al-A’raaf: 56).
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Dilarang bagi kalian mengarahkan senjatanya kepada saudaranya walaupun hanya bercanda, sebab ia tidak tahu bisa jadi setan menghempaskannya dari tangannya, sehingga dia pun jtuh ke dalam jurang neraka.” (Muttafaq ’alaih).
Pernah terjadi salah seorang sahabat Nabi SAW sedang tidur, datanglah seseorang mengambil cambuknya dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut.
Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk membuat rasa takut muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud).
Maka dari itu, agama Islam mengajarkan amalan-amalan yang dapat membawa kedamaian bagi kehidupan manusia.
Diantaranya ialah membudayakan ucapan salam setiap kali kita bertemu dengan saudara kita atau saat kita masuk ke dalam rumah.
Rasulullah SAW bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan pada sebuah amalan yang dapat menumbuhkan rasa cinta sesama kalian? Tebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim.)
Rasulullah juga menganjurkan agar kita untuk terbiasa tersenyum. Sebab hal itu akan membawa ketentraman bagi orang yang kita jumpai.
Islam juga mengajarkan kepada kita untuk saling tolong menolong, baik itu secara fisik, harta, pemikiran, dan lain-lainnya.
Semua itu tidak lain bertujuan agar tercipta kehidupan yang aman dan damai tanpa ada permusuhan dan pertikaian.
Tidak hanya kepada sesama muslim, islam juga menuntut kita untuk berbuat baik kepada non muslim selama ia tidak dalam posisi memerangi Islam.
Bahkan dalam berbagai riwayat kita temukan Rasulullah memberikan bantuan kepada non muslim. Diantaranya ialah kepada orang Yahudi yang biasa mencela Rasulullah.
Beliau menjenguk orang Yahudi tersebut saat ia jatuh sakit, padahal sebelumnya ia adalah orang yang sehari-harinya mencaci bahkan melemparkan kotoran kepada beliau.
Sikap Rasulullah SAW adalah bukti bahwa Islam mengajarkan kepada untuk bersikap baik kepada sesama manusia, bukan menakut-nakuti dan memerangi mereka walaupun mereka adalah non muslim.
Sangat jelas bagaimana Islam menginginkan kehidupan yang baik dan aman sesama manusia. Tidak saling memusuhi dan menyakiti diantara mereka.
Bahkan bukan hanya kepada sesama manusia, terhadap binatang sekalipun Islam mengajarkan kasih sayang padanya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Dalam setiap makhluk yang bernyawa ada pahala di dalamnya.” (Muttafaq ‘alaih).
Sikap kasih sayang ini tidak hanya berlaku di saat aman saja, bahkan saat terjadi peperangan sekalipun Islam memberikan rambu-rambu untuk tidak membunuh orang yang tidak berhak dibunuh.
Islam melarang membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan lain-lain. Islam juga melarang untuk menghancurkan pohon, tempat ibadah, binatang dan sebagainya.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang zalim dan mengajarkan kekerasan dan peperangan. Sebab peperangan yang diwajibkan oleh Islam ialah manakala kita dalam kondisi diperangi atau terzalimi.
Oleh sebab itu, segala bentuk teror dan ancaman yang dilakukan oleh siapapun juga, tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam walaupun hal itu dilakukan oleh mereka yang mengaku dari kelompok Islam.
Al-Qur’an dan Sunnah berlepas diri dari tindakan yang mereka lakukan. Termasuk apa yang kita saksikan beberapa waktu yang lalu dalam peristiwa bom yang terjadi di Jakarta. Perbuatan tersebut sangat menyimpang dari ajaran Islam.
Kalaupun itu dilakukan oleh orang Islam, maka Islam yang pertama kali menolak tindakan tersebut. Dengan demikian, tuduhan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama teror dan perang, sangatlah tidak benar.
Sebaliknya, Islam mengajarkan kasih sayang, saling cinta mencintai, dan kedamaian. Wallahu a’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 358 – 29 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jul 24, 2017 | Artikel, Dakwah
Manusia senantiasa dituntut untuk selalu melakukan perubahan dan perbaikan dalam kehidupannya. Dalam setiap pergantian hari harus ada upaya untuk memperbaiki diri dan kembali menuju kepada Allah SWT. Proses perbaikan diri ini membutuhkan sarana untuk membantu kita dalam menjalani perubahan ini.
Ada dua hal penting yang saya yakini bahwa ia adalah wasilah yang penting dalam proses tarbiyyah diri. Namun, kedua hal ini seringkali kita abaikan dan tidak kita perhatikan, yaitu Dzikir dan Istighfar. Dalam kesempatan kali ini, kita akan sama-sama merenungkan hakikat dzikir kepada Allah SWT.
Urgensi Berdzikir Kepada Allah
Dzikir adalah sebuah amalan yang paling dibutuhkan oleh hati seorang mukmin. Ia dapat membantunya untuk merasakan lezatnya iman dan mengantarkannya dari iman yang hanya tertanam dalam akal menuju iman yang tertancap kuat dalam hati, sehingga ia akan memancarkan buahnya dalam sikap dan perilaku.
Yang dinamakan dengan dzikir bukanlah sebatas kalimat yang diucapkan oleh lisan, akan tetapi harus disertai dengan kesadaran diri akan kebersamaan kita dengan Allah SWT. Boleh jadi lisan kita berdzikir, akan tetapi hati tetap lalai dari-Nya. Dan bisa juga lisan ini tidak mengucapkan dzikir, namun hati ini tetap berdzikir dan menggerakkannya untuk mencari ridha Allah dan cinta-Nya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa keutamaan dzikir tidak hanya terdapat pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan sejenisnya saja, akan tetapi semua amal yang dilandasi pada ketaatan kepada Allah termasuk dalam kategori dzikir”
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan juga oleh Sa’id bin Jubair ra dan ulama lainnya, yaitu menghendaki seorang muslim agar senantiasa mengingat Allah SWT. Selama ia menghadirkan hatinya dalam setiap kondisi, baik dalam berucap dan bersikap, disertai dengan niat untuk taat dan beribadah kepada-Nya, maka ia termasuk dalam kategori orang yang sedang berdzikir.
Ini pula yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah, baik laki-laki atau wanita.” (QS. al-Ahzaab: 35).
Dan juga firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak. Dan bertasbihlah pada pagi dan petang hari.” (QS. al-Ahzaab: 41-41).
Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Abbas saat mengomentari ayat tadi, “Maksudnya ialah mereka berdzikir kepada Allah setiap selesai dari shalatnya, di pagi hari dan petang hari, di tempat tidurnya, saat ia bangun dari tidurnya, dan setiap kali pergi keluar dari rumahnya.”
Jika secara lafadz yang dimaksud dengan dzikir adalah ucapan lisan yang berupa do’a, tasbih, tahmid, dan semacamnya, maka ia juga memiliki bentuk yang lainnya yaitu berupa sikap dan perilaku dengan cara menjaga adab dalam setiap kondisi.
Misalnya saja masuk ke dalam masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan keluar dengan kaki kiri, atau masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri kemudian keluar dengan kaki kanan, makan menggunakan tangan kanan, dan adab-adab yang lain. Banyak yang mengira bahwa itu hanyalah sebatas kebiasaan saja, padahal hal itu merupakan salah satu cara untuk menyadarkan hati.
Buah dari Berdzikir Kepada Allah
Buah dari selalu ingat kepada Allah terwujud dengan turunnya rahmat Allah. Ia akan memberikan kekuatan tekad dan keistiqomahan.
Hal ini disebabkan karena dua hal;
Pertama, Dzikir merupakan benteng yang melindungi manusia dari godaan dan tipu daya setan.
Kedua, Orang yang berdzikir kepada Allah dapat menjadikan hati selalu hadir bersama Allah SWT. Ia akan menjadikannya semakin cinta dan takut kepada-Nya.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits qudsi, dimana Allah SWT berfirman, “Aku adalah teman dekat orang yang selalu mengingatku (berdzikir), dan aku selalu bersamanya saat ia mengingatku.”
Berdzikir akan memudahkan turunnya ampunan dari Allah. Ia adalah nutrisi yang dapat memperkuat rasa cinta dan takut kepada Allah. Yang demikian ini akan menjadikan manusia semakin berkomitmen untuk berada di jalan syariatnya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ia juga menjadi sebab datangnya ketenangan dalam hati. Inilah yang selalu dicari-cari oleh seluruh manusia, bahkan ini adalah perkara yang paling diimpikan oleh manusia, yaitu ketenangan hidup.
Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber: www.naseemalsham.com
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Apr 30, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Haram) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan.
Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah seperti ketika di pasar, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali meriwayatkan beberapa kondisi salaf (ulama shalih terdahulu) saat memasuki bulan Sya’ban :
Anas berkata : “Jika kaum muslimin sudah memasuki bulan Sya’ban, mereka berbondong-bondong membuka mushafnya dan selalu membacanya.
Mereka juga memberikan sedekah yang banyak kepada fakir miskin agar mereka juga mampu melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.”
Salamah bin Khulail berkata, “Bulan Sya’ban biasa juga disebut bulan qurra’ (para pembaca Al Qur’an).”
Jika bulan Sya’ban sudah masuk, Hubaib bin Abi Tsabit berkata, “Inilah bulannya pembaca Al Qur’an.”
Berusahalah untuk menyerupai orang-orang hebat, walaupun engkau tak sama dengan mereka. Sebab hal itu mengantarkanmu pada keberuntungan.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 1, 2017 | Artikel, Dakwah
Oleh: Ust. Fahmi Bahreisy, Lc
Tidak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat dan saat ini kita berada di penghujung tahun 2016 masehi. Tahun 2016 akan menjadi kenangan dan cerita, kemudian tahun 2017 akan datang menyambut kita semua. Malam pergantian tahun merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan warga dunia.
Berbagai macam persiapan diatur sebaik mungkin untuk menyambut datangnya tahun baru. Mereka rela berlarut malam agar tidak kehilangan momentum ini. Ratusan miliyar bahkan triliyunan mereka keluarkan demi suksesnya acara pergantian tahun. Tidak sedikit yang menjadikan malam pergantian tahun sebagai ajang untuk melakukan pelanggaran dan kemaksiatan.
Sungguh hal ini merupakan sebuah kondisi yang menyedihkan dan jauh dari syariat Islam, terlebih lagi hal itu dilakukan juga oleh sebagian besar kaum muslimin. Lantas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi tahun baru masehi ini?
Ada dua sikap utama yang harus dimiliki oleh setiap muslim dalam menghadapi momen pergantian tahun. Yang pertama ialah bersyukur kepada Allah atas kesempatan yang Ia berikan kepada kita. Kesempatan untuk memperbaiki diri dan bertaubat kepada-Nya. Kesempatan untuk menambah amal shaleh dan memperbanyak pahala.
Pasalnya, nikmat waktu atau kesempatan merupakan salah satu kenikmatan terbesar yang Allah berikan kepada kita. Waktu yang Allah sediakan untuk kita merupakan sarana untuk melakukan berbagai macam aktifitas kebaikan. Namun, nikmat ini pula yang sering dilupakan dan diabaikan oleh manusia sebagaimana yang terjadi saat pergantian tahun. Rasulullah saw bersabda, “Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia; kesehatan dan waktu luang.”
Banyak kaum muslimin yang tidak menyadari bahwa tahun baru adalah kenikmatan yang seharusnya dihadapi dengan rasa syukur kepada Allah, bukan dengan kemaksiatan dan kegiatan yang bisa melalaikan dirinya dari Allah. Ia habiskan waktu dan hartanya hanya untuk bersenang di dalamnya, padahal perbuatan yang seperti itu merupakan perbuatan yang sangat dicela dan dimurkai oleh Allah SWT.
Sikap yang kedua ialah melakukan muhasabah atau evaluasi diri, baik itu dilakukan secara individu atau secara berjama’ah. Sebab, proses untuk melakukan perbaikan diri harus diawali dengan muhasabah. Terjadinya pergantian tahun seharusnya menjadi momen yang paling tepat bagi kita untuk melakukan introspeksi diri atas apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Meskipun proses muhasabah ini sebenarnya sudah menjadi rutinitas seorang muslim yang baik.
Bahkan para salaf telah mencontohkan kepada kita bagaimana menjadikan muhasabah sebagai aktifitas rutin mereka setiap hari. Salah seorang salaf berkata, “Setiap kali aku akan mulai tidur, aku menghitung-hitung amalanku. Jika yang kudapatkan adalah kebaikan, maka aku bersyukur. Dan jika aku dapatkan amalanku adalah keburukan aku beristighfar kepada Allah.”
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Hibban yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a. disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dalam shuhuf Ibrahim a.s. tertulis: Orang yang berakal wajib membagi waktunya menjadi berikut ini; Waktu untuk bermunajat kepada-Nya, waktu untuk melakukan muhasabah, waktu untuk merenungkan ciptaan-Nya, dan waktu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Oleh sebab itu, muhasabah merupakan kegiatan rutin yang harusnya dimiliki oleh setiap muslim agar ia menjadi hamba yang lebih baik lagi, terlebih lagi dalam momen pergantian tahun. Sebagaimana seorang direktur setiap pekan atau bulan atau setiap tahun melakukan evaluasi terhadap pekerjaan dan karyawannya agar bisnisnya semakin baik, begitu pula seorang muslim ia harus melakukan evaluasi diri.
Apalagi proses muhasabah yang dilakukan oleh seorang muslim tidak hanya akan membawa kebaikan baginya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Semakin dia rajin melakukan muhasabah, maka akan ia akan semakin menghargai waktu yang diberikan oleh Allah, dan akan semakin sadar bahwa ia akan dimintai pertanggung jawaban atas nikmat waktu tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat kelak sampai ia ditanyakan akan empat hal; Tentang umur ia habiskan untuk apa?, tentang masa mudanya ia pergunakan untuk apa, dan hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, serta ilmunya untuk apa ia amalkan?”
Inilah dua hal yang hendaknya kita lakukan pada malam pergantian tahun, agar pada tahun berikutnya kehidupan kita semakin diberkahi dan berguna. Tidak lupa dalam momen pergantian tahun ini hendaknya kita mengingat sebuah ucapan dari imam Hasan al-Bashri rahimahullah, “Sesungguhnya engkau itu adalah hari, jika harimu telah berlalu, maka itu berarti sebagian dari dirimu telah tiada.”
Pergantian tahun menandakan bahwa sebagian dari diri kita telah hilang dan tiada. Maka, sikapilah momentum pergantian tahun dengan bijak agar kita menjadi orang-orang yang beruntung.
Wallahu a’lam
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Nov 12, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Seorang ulama hanabillah dari Baghdad, Abul Wafa’ Ali bin Aqil -rahimahullah- (531 H) berkata : “Jika engkau ingin melihat bagaimana posisi Islam dalam diri seseorang,
Jangan kau nilai saat dia berada di masjid atau saat ia mengucapkan “labaikallahumma labbaik” pada waktu wukuf.
Akan tetapi perhatikanlah bagaimana sikap dia terhadap pembenci syariah.”
Seringkalinya seorang muslim yang melindungi dan berkasih sayang pada orang-orang pembenci syariah Islam merupakan cerminan diri kemunafikan.