0878 8077 4762 [email protected]

Syuraih, Hakim Adil yang Berani Menetapkan Khalifah Umar "Bersalah"

Siapa yang sangka dibalik sikap tegas dalam memimpin umat Islam, Khalifah Umar bin Al-Kathab ra yang berwatak keras, tertegun melihat keputusan seorang qadhi (hakim) dari kalangan thabi’in yang bernama Syuraih.
Kisah klasik itu bermula ketika Umar tengah melakukan perjalanan ke beberapa dusun di wilayah Madinah. Dalam perjalanan syiar agamanya itu, Umar tertarik dengan seekor kuda yang tengah di pajang di salah satu sudut dusun di Madinah.
Melihat cocok dengan penampakan luar kuda itu, Umar tertarik untuk memilikinya. Usai kesepakatan dengan si penjual, Umar langsung menunggangi kuda itu seraya menuju pulang ke rumahnya yang juga berada di wilayah Madinah.
Namun berjalan belum jauh dengan kuda itu, tiba-tiba kuda itu menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan.
Merasa tertipu, Umar pun membawanya kembali kepada penjual kuda tersebut. Dengan maksud menukar dengan kuda yang baru.
“Aku kembalikan kudamu ini karena dia cacat,” kata Umar kepada si penjual kuda.
Merasa tak ada yang salah dalam barang dagangannya, si penjual itu kekeuh tak mau menukar kudanya yang telah di jual ke Umar.
“Tidak wahai Amirul Mukminin, tadi aku menjualnya dalam keadaan baik,” jawab si penjual kuda.
“Baiklah, kalau begitu kita cari orang yang akan memutuskan permasalahan ini,” ucap Umar.
“Aku setuju, aku ingin Syuraih bin Al Harits al Kindi menjadi qadhi bagi kita berdua,” ujar si penjual kuda menimpali tantangan Umar.
Sudah kepalang tanggung dengan ucapannya, Umar pun mengajak si penjual kuda menemui qadhi (hakim) yang bernama Syuraih.
Dalam pertemuan yang dilakukan di rumah Syuraih, Umar lebih dulu menjelaskan duduk persoalannya.
Kepada Syuraih, Umar menuturkan kekecewaannya lantaran merasa tertipu dengan warga dusun itu.
Giliran si penjual kuda yang menuturkan kejadian salah paham itu. Namun dalam pertemuan ini, keduanya tidak menemui titik terang.
Umar merasa dirinya berhak mengembalikan kuda itu. Sementara penjual kuda itu merasa tak ada yang salah dengan kuda yang dijualnya.
Merasa menghormati Umar sebagai khalifah tetapi demi melihat kondisi untuk menemukan solusi, Syuraih bertanya kepada Khalifah Umar Bin Khattab.
“Wahai amirul Mukminin, apakah engkau mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?” tanya Syuraih kepada Umar.
“Benar,” jawab Umar.
“Ambillah yang telah engkau beli, wahai Amirul Mukminin atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan seperti tatkala engkau membelinya,” terang Syuraih.
Melihat pendapat Syuraih itu Umar terdiam. Umar tak menyangka bakal mendapat keputusan seperti itu. Meski sempat tidak puas dalam hatinya, Umar tetap menerima putusan itu bahwa pendapatnya salah.
“Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat dan hukum yang adil. Berangkatlah ke Kufah Irak, karena aku mengangkatmu menjadi Qadhi (hakim) di sana,” kata Umar kepada Syuraih.
Sejak itulah Syuraih menjadi hakim di Kuffah, Irak. Bagi masyarakat Madinah sosok Syuraih dikenal dengan kecerdasannya.
Ketika menjadi hakim di Irak, dia dikenal dengan keputusannya yang selalu bersikap netral dan terkenal bersih dalam upaya sogokan.

Keindahan Hukum di Zaman Ali

Kasus hukum zaman Ali menarik jua, sengketa penguasa vs minoritas. Baju besi milik Ali bin Abi Thalib satu waktu lenyap saat persiapan tempur. Berikutnya ia terlihat dipakai oleh seorang Yahudi. Ali sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah si Yahudi dengan santun, “Saudara, setelan dzir’a itu milikku!”
“Jika ia melekat pada tubuhku,” tukas si Yahudi berkacak pinggang, “maka ia adalah milikku. Anda tak bisa mengaku sembarangan.”
“Sebab aku sangat mengenali milikku, dan kau hanya mengaku dengan bukti lekatnya ia ditubuhmu, bagaimana kalau kita ber-tahkim?” balas Ali.
“Apakah dia bisa berbuat adil, dimana aku seorang Ahli Kitab, sedangkan engkau Amirul Mukminin?” selidik si Yahudi.
“Demi Musa yang mengutus Taurat,” ujar Ali, “aku yang pertama-tama meluruskannya dengan pedang jika dia bengkok.”
Maka pergilah mereka pada Hakim Syuraih. “Selamat datang Amirul Mukminin!” sambut Syuraih. Kemudian sidangpun berjalan.
“Sudah tiga kali ketidakadilan kurasakan sejak masuk majelismu hai Syuraih!” tegur Ali. “Luruskanlah atau kelayakanmu dalam mengadili batal!” Pertama, kau panggil aku dengan gelar, sementara dia hanya nama. Kedua, kau dudukkan aku disisimu, sementara dia dihadapan kita. Ketiga, kau biarkan aku menjawab tanpa bantahan, sedangkan jawaban dia kau pertanyakan lagi.” Si Yahudi heran dengan keberatan Ali.
Setelah beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata, “Amirul Mukminin, ini memang baju besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq. Tetapi untuk memutuskan bahwa ini memang milikmu,” lanjut Syuraih, “aku tetap membutuhkan kesaksian dua orang lelaki adil.”
“Maka inilah Hasan dan pelayanku Qanbur sebagai saksiku!” ujar Ali. “Qanbur bisa kuterima,” jawab Syuraih, “tapi Hasan tidak. Kesaksian seorang anak untuk ayahnya tidak dapat diterima oleh pengadilan ini!” tegas Syuraih. Ali tercenung sejenak.
“Tapi tidakkah engkau mendengar,” sanggah Ali, “Umar berkata bahwa Rasul bersabda, “Al-Hasan dan Al-Husein itu penghulu pemuda surga.”
” Maaf,” kata Syuraih sambil tersenyum, “aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu bisa mengecualikan dalam hak persaksian.”
Maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu menjadi milik si Yahudi, sebab Ali gagal menghadirkan dua orang saksi untuk pengakuannya. Tersentuh, si Yahudi masuk Islam dan hendak mengembalikan baju besi yang memang adalah milik Ali itu.
Ali menolak. “Tidak,” katanya, “kau sekarang saudaraku, maka itu juga kuda ini hadiah dariku agar tumbuh cinta diantara kita.
 
Sumber :

  • Hilyatul Auliya (Abu Nu’aim), Subulus Salam (Ash-Shan’ani), Akhbarul Qudhah (Muhammad bin Khalaf), dan lain-lain.
  • Beberapa Ulama hadis Muta’akhirin enggan menerimanya sebab meski terdapat tiga jalur periwayatan hadis, ada sedikit cela pada sanadnya.
  • Abul A’la Al-Maududi mengatakan, Andai standar penshahihan hadis diterapkan untuk tarikh (sejarah), kita akan kehilangan 3/4 sejarah Islam. Maka sanad kisah ini masih ‘termaafkan’.