by Danu Wijaya danuw | Aug 6, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Ormas Islam Muhammadiyah membuktikan toleransi bukan pada hanya koar-koar dan klaim paling kebhinekaan atau nkri, tapi bukti.
Salah satu buktinya adalah kiprah Muhammadiyah di Papua, NTT, dan lain-lain. Muhammadiyah mendidik warga Kristen Papua di sekolah-sekolah Muhammadiyah, mereka juga disediakan guru agama Kristen.
SMK Muhammadiyah Serui, Kecamatan Yapen Selatan, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, memiliki murid yang mayoritas beragama Kristen.
Menurut Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’ti, hal tersebut bukan hal baru bagi Muhammadiyah.
Mu’ti mengatakan SMK Muhammadiyah Serui sejak pertama berdiri pada 2005 memang lebih banyak diisi oleh murid beragama Kristen.
Tak hanya di Serui, di beberapa wilayah juga ada beberapa sekolah dan universitas Muhammadiyah yang sebagian besar muridnya beragama Kristen.
“Itu bukan sesuatu yang baru. Dari dulu murid yang beragama Kristen memang banyak. Di beberapa daerah, seperti Papua, NTT, Kalbar, sebagian besar (muridnya) beragama Nasrani,” ujar Mu’ti ketika dihubungi, Senin (31/7/2017).
Untuk mengakomodasi para murid yang beragama Kristen, lanjut Mu’ti, pihak sekolah menyediakan guru agama Kristen untuk membimbing para murid. Guru tersebut berasal dari guru tetap Muhammadiyah.
“Dan selama belajar, mereka mendapat pelajaran agama Kristen dari guru. Gurunya itu guru tetap di Muhammadiyah,” ucapnya.
Mu’ti juga menyebut tidak pernah ada masalah antara murid beragama Islam dan murid beragama Kristen di sekolah Muhammadiyah.
“Nggak pernah ada masalah sama sekali. Malah guru agamanya datang ke daerah untuk mengajak belajar di Muhammadiyah,” ujarnya.
Sumber : Sang Pencerah
by Danu Wijaya danuw | Mar 29, 2017 | Artikel, Dakwah
Praktik toleransi sudah terawat secara turun temurun di Desa Tanon, Kecamatan Papar, Kediri, Jawa Timur (Jatim).
Kebiasaan saling menjaga saat perayaan Nyepi sudah dilakukan antarpemeluk agama Islam dan Hindu sejak zaman kakek buyut mereka.
Saat ritual mengarak ogoh-ogoh dalam menyambut perayaan Nyepi kemarin, puluhan remaja masjid Desa Tanon terlihat ikut di antara rombongan pengarak ogoh-ogoh.
“Rutin setiap ada acara keagamaan kami, selalu keamanannya dari remaja masjid,” kata Sekretaris Panitia Hari Raya Nyepi Desa Tanon, Ristan Arga Hendrawan kepadaTribun Bali, Senin (27/3/2017) malam.
Pun demikian, saat Hari Raya Idul Fitri petugas keamanan dari warga Hindu juga berperan aktif saat acara takbir keliling.
“Besok setelah Nyepi warga Muslim juga berdatangan ke rumah kami saling berkunjung,” imbuhnya.
Karena saling menjaga inilah, kata dia, setiap perayaan agama apapun di kampung ini selalu damai dan berjalan lancar.
“Saat mengarak ogoh-ogoh tidak pernah namanya ada ribut,” tegasnya.
Tradisi toleransi ini juga terjaga sampai lingkup keluarga.
“Paman saya Muslim, jadi untuk menghormati tetangga kami yang muslim juga lampu rumah tetap kami nyalakan,”terangnya.
Hal yang sama juga berlaku di keluarga yang lain. Di kampung ini tidak jarang ada keluarga yang berlainan agama dalam satu rumah.
“Karena itulah sebagai toleransi kami lampu tetap menyala. Tapi bagi kami yang Hindu tetap melaksanakan puasa dan menyepi di kamar,” ungkap pria yang menjadi tokoh pemuda Hindu ini.
Di Desa Tanon jumlah warga Hindu menjadi terbesar nomor dua setelah Islam.
“Ada sekitar 160 kepala keluarga (KK) dari sekitar 800 an KK warga di Desa Tanon, ada juga protestan di sini,” jelas dia saat ditemui di Pura Sri Aji Joyoboyo. (TribunNews)
by Danu Wijaya danuw | Dec 26, 2016 | Artikel, Dakwah
Setiap tibanya hari Natal selalu saja kita ‘diganggu’ dengan kata sakti ‘toleransi’. Seakan kalau tidak mengucap “Selamat hari Natal” atau memakai atribut Natal, kita tidak toleransi terhadap penganut agama lain yang dalam hal ini kaum Kristiani. Ini memang fenomena kekinian.
Dalam konteks ide, Natal juga dijadikan sebagai salah satu cara menyebarkan virus pluralisme yaitu mengajarkan bahwa semua agama itu sama dan mengajak umat Islam agar mengakui ‘kebenaran’ agama lain. Diantara produknya campurannya ialah pernikahan beda agama, atau perayaan natal diisi doa maulid nabi.
Toleransi Yang Benar
Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir, hal. 702, cet. 14). Namun toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut (Ajad Sudrajat dkk, Din Al-Islam. UNY Press. 2009).
Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi itu membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi itu tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Dalam masalah muamalah, Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah berbisnis dengan non-Muslim secara adil dan jujur, selama bukan jual-beli barang haram. An-Nawawi mengatakan, “Kaum Muslimin bersepakat bolehnya bermuamalah (jual beli, sewa, dll.) dengan non Muslim.” (Syarh Nawawi untuk Shahih Muslim, 10/218).
Rasulullah juga menjenguk tetangga non-Muslim beliau yang sakit (HR. Bukhari no. 2363 & Muslim no. 2244). Rasul juga bersikap dan berbuat baik kepada non-Muslim. Rasul Shallallhu ‘alaihi Wassallam bersabda:
“Barangsiapa yang menyakiti kafir Dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara denganku, maka aku akan memperkarakannya pada hari kiamat.” (HR. As-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shagîr, no. 8270).
Toleransi yang dijalankan Islam ini, menjadi contoh bagi masyarakat peradaban lain. Bahkan toleransi Islam, langgeng terasa hingga era akhir Khilafah Utsmaniyah.
Seorang Orientalis Inggris, Thomas W.A. berkata: “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of Greece- exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe…” [Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani– telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…] (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hal. 134).
Intoleran dalam Pengetahuan
Sejak zaman Perang Salib hingga penjajahan negara-negara berpenduduk Islam di berbagai belahan dunia, orang-orang Barat gemar mencuri kitab-kitab orang Islam untuk dibawa ke negaranya masing-masing.
Banyak perpustakaan raksasa baik di Inggris, Amerika, Prancis, Jerman, Belanda, Rusia dan lain sebagainya yang menyimpan ribuan kitab-kitab penting para ulama dahulu yang masih tidak diizinkan diakses oleh orang-orang Islam sendiri. Mungkin itu bagian dari sikap yang intoleransi mereka.
Selain itu, tidak seperti ulama Islam yang terbiasa jujur menyebut sumber rujukan, misalnya ketika menyelamatkan karya-karya Yunani, para ulama menyebutkan nama Plato, Aristoteles dan lain sebagainya. Tidak demikian dengan orang-orang Barat. Mereka tidak pernah mau jujur bahwa yang mereka pelajari itu berasal dari Islam yang dibaratkan. Mereka jadikan kitab-kitab ulama yang penting-penting itu sebagai kurikulum pendidikan mereka. Lalu mereka menulis buku versi mereka tanpa merasa perlu menyebut dari mana mereka mempelajarinya. Ini sikap intoleransi lainnya dalam keilmuan Barat.
Sumber : Hidayatullah