Apa yang terjadi di Aleppo belum lama ini sebenarnya merupakan musibah bagi umat Islam. Pasalnya, ketika Kota Aleppo dibom oleh tentara Bashar al-Assad dengan sekutunya, media Barat yang getol mengangkat isu HAM justru bungkam jika pelanggaran HAM mendera kaum Muslim.
Pemimpin Muslim sendiri kebanyakan berpangku tangan atas tragedi ini, bahkan media mainstream dalam negeri pun seakan jengah melansir berita riilnya, padahal korban yang berjatuhan kebanyakan warga sipil.
Tragedi Aleppo yang memakan banyak korban dewasa ini, mengingatkan kita pada peristiwa tragis kejatuhan Aleppo di tangan Mongolia.
Saat itu Hulaghu Khan dan bala tentaranya sampai di Aleppo, 2 Shafar, 658 Hijriah (al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/253), kondisi kota begitu mencekam. Hulaghu mengerahkan tentaranya untuk mengepung Aleppo. Ketika itu, Tauransyah, Paman al-Nâshir Yusuf diamanahi memegang kendali kepemimpinan Aleppo. Sedangkan al-Nâshir sendiri, menjauh dari Aleppo.
Syahdan, alat berat manjaniq (mangonel atau manganon, sebagai senjata untuk melempar batu besar (di zaman sekarang barangkali serupa tank) dipasang di sekeliling Aleppo. Mulailah tentara Mongolia membombardir benteng Aleppo (dalam Qishhatu al-Tatar min al-Bidâyah ilâ `Ain Jâlût, 187).
Di saat bersamaan, daerah Miyafarqin (sekarang bernama Silvan, di wilayah Turki) di bawah komando al-Kamil Muhammad al-Ayyubi bisa diruntuhkan, hal ini semakin menciutkan nyali penduduk Aleppo.
Semakin beringaslah serbuan tentara Tatar ketika mendengar keruntuhan Miyafarqin. Pengepungan Kota Aleppo berlangsung selama tujuh hari penuh (al-Bidayah, 13/253). Di saat genting itu, Hulaghu memberi tawaran kepada penduduk Aleppo, bagi yang mau membukakan pintu gerbang, maka akan dijamin keamanannya. Masyarakat pun bingung. Ada yang tak setuju (seperti Turansyah dan pengikutnya yang ingin tetap melawan), tapi kebanyakan masyarakat setuju kemudian membukakan pintu gerbang.
Janji pun diingkari (memang demikian karakter mereka sepanjang sejarah). Hulaghu menitahkan pada prajuritnya agar semua penduduk dibunuh, kecuali orang Nashrani. Terjadilah tragedi memilikukan dalam sejarah.
Para bapak, ibu, dan anak-anak disembelih dengan sangat sadis. Sampai akhirnya, Tauransyah pun yang berlindung di dalam Benteng Aleppo bersama prajuritnya, bisa ditaklukkan dalam jangka empat Minggu. Semua dimusnahkan, kecuali Turansyah, karena alasan politik tertentu yang sedang dijalankan Hulaghu. Inilah akhir tragis penduduk Aleppo pada tahun 658 H, di tangan Mongolia.
 
Bila kita mengamati kondisi Aleppo saat ini, dengan kondisi Aleppo saat ditaklukkan Hulaghu Khan, ada beberapa  kesamaan.
Pertama, pada waktu itu Aleppo mengalami krisis kepemimpinan. Saat itu Aleppo dipimpin oleh Emir keturunan Shalahuddin al-Ayyubi bernama al-Nâshir Yusuf.
Tidak seperti kakeknya yang dikenal pemberani dan peduli terhadap urusan umat, dia justru menjadi duri dalam daging umat. Perangainya begitu rendah dan hina, karena lebih mementingkan nafsu pribadi dibanding urusan umat.
Dalam sejarah, ia tercatat sebagai orang yang bersekongkol dengan Raja Luwis IX untuk memberi bantuan memerangi Mesir dengan imbalan Baitul Maqdis. Dia pula yang memudahkan langkah tentara Mongolia menginvasi Baghdad; memberi ucapan selamat kepada Hulaghu saat mendapatkan kemenangan gemilang; bahkan enggan membantu al-Kâmil Muhammad al-Ayyûbi selaku Emir Miyafarqin walau sekadar bantuan makanan.
Ironisnya, saat Aleppo dibombardir oleh tentara Mongolia, dirinya justru berada di Damaskus yang berjarak sekitar 300 kilo meter dari Aleppo.
Di waktu lain, al-Nâshir Yusuf pernah mengutus anaknya yang bernama al-`Azîz memimpin pasukan Muslim Aleppo untuk bergabung dengan pasukan Tatar menyerang Miyafarqin, bahkan memberikan hadiah kepada Hulaghu (Syamsuddin Adz-Dzahabi, dalam Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A`lâm,48/28).
Bayangkan, demi kepentingan pribadi, saudara sesama Muslim pun bisa dikorbankan. Pemimpin beginilah yang kala itu menguasai Aleppo. Persis seperti pemimpin Suriah sekarang, demi kepentingan pribadi dan golongan, akhirnya rakyat menjadi korban.
Kedua, secara umum umat Islam pada waktu itu kondisi umat terpecah belah. Ketiga, banyak terjadi perselisihan dan persengketaan.Keempat, perebutan kekuasaan di internal umat begitu menggejala, perang saudara pun tak dapat dihindarkan.
Kejadian ini persis dengan kondisi umat Islam sekarang yang kebanyakan terpecah belah, berebut kekuasaan, bermusuhan, bahkan tak jarang terjadi perang saudara antara sesama negara Muslim.
 
Oleh: Mahmud Budi Setiawan (Penulis alumni Al Azhar Mesir, peminat masalah sejarah)
Sumber : Hidayatullah

X