Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
 
Saat ini, kurikulum ushul fiqih yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam masih berkutat dengan isu-isu pemikiran beberapa abad silam, sangat sedikit berbicara tentang isu-isu kontemporer. Literatur ushul fiqih kita lebih didominasi contoh kasus-kasus ibadah, jinayah, munakahat. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqh yang diajarkan tidak bisa menjawab dan merespon isu-isu pemikiran dan problem serta sejumlah kasus-kasus kontemporer yang terus bermunculan.
Kesenjangan ini pada gilirannya tidak mampu mengantar seorang akademisi kepada pemahaman metodologi istinbath yang benar terhadap problem kontemporer khususnya isu-isu pemikiran yang terus berkembang dan semakin kompleks. Akibatnya banyaknya kita temui produk produk pemikiran para akademisi kita yang aneh, asing dan jauh dari kaidah-kaidah istinbath (penggalian) hukum yang benar.
Kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan dengan isu-isu pemikiran kontemporer tidak boleh dibiarkan berlangsung. Kemandulan pada ushul fiqh dalam merespon isu pemikiran kontemporer akan membuka peluang pemikiran bahwa ushul fiqh tidak fungsional, tidak aplikatif dan tidak mampu berbicara pada kasus kasus tersebut, dan lebih jauh lagi muncul anggapan bahwa ushul fiqh hanya fasih berbicara masalah ritual peribadahan saja tetapi mandul ketika harus merespon isu-isu pemikiran kontemporer.
Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih
Neraca untuk menilai sesuatu itu urgen atau tidak adalah dengan melihat sisi manfaatnya, semakin besar manfaatnya maka sesuatu itu akan semakin penting dan begitu juga sebaliknya. Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan  keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[1].
Inilah kemudian mengapa semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[2].
Ushul fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika pemikiran dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan kurangnya penguasaan kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita kesulitan dan bahkan gagal untuk membuat produk fiqih yang benar. Atau sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita terhadap tuntutan inovasi produk, sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to date, fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan menjawab setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum saja tapi pada semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan manusia.
Referensi:
[1] I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.), h. 452